Peluklah dan Tertawalah

Saat putra kami lahir dua tahun silam, beberapa teman sempat berkunjung ke rumah untuk turut berbahagia. Lazimnya dalam sebuah acara kumpul bersama, maka terjadilah percakapan dan tukar ide sebagai sesama orang tua. Ada teman yang mengatakan bahwa masa berat mengasuh anak adalah 3 bulan pertama karena orang tua baru harus siap begadang atau rela tak nyenyak tidurnya demi menjaga si bayi yang kerap bangun karena haus atau buang air. Syukurlah, anak kami ternyata cuma dua minggu sering terbangun di malam hari.

Ada lagi yang berpendapat bahwa periode sulit akan lewat setelah bayi berusia 1 tahun sebab pada usia ini bayi sudah bisa mendapat asupan makanan tambahan dan relatif bisa diajak berkomunikasi, serta cukup nyaman saat digendong. Apalagi biasanya pada usia setahun kebanyakan bayi biasanya sudah mampu berjalan. Sementara yang lain lagi berpendapat bahwa masa-masa sulit baru akan berakhir ketika anak mencapai usia 5 tahun sebab rentang 0–5 tahun biasanya rawan cobaan kesehatan fisik.

Saya tak coba membantah atau mementahkan pendapat mereka. Mereka tentu saja berniat baik. Dan selama kami menjalani masa dua tahun sebagai orang tua, memang cobaan dan ujian melalui si anak selalu ada dan beragam bentuknya.

Cobaan yang kami rasakan paling berat adalah ketika Rumi putra kami mengalami tantrum. Pada periode sulit ini ia biasanya mendadak menangis tanpa sebab, tak jarang diselingi dengan teriakan atau hentakan kemarahan. Sejauh ini kami telah dua kali dihadapkan pada tantrum yang cukup membuat kami kewalahan dan stres. Pertama adalah ketika ia menginjak usia setahun, dan tantrum kedua terjadi saat ia akan genap berusia dua tahun–yakni beberapa minggu yang lalu.

Menjelang ultahnya yang kedua, ia terserang pilek dan demam. Setelah demam dan pileknya berangsur pergi, hadirlah batuk yang cukup menyiksa dirinya sampai-sampai ia tak bisa tidur tiga hari berturut-turut. Hingga pada suatu pagi, kira-kira pukul setengah 5 pagi, saya yang memang sudah semalaman begadang terpaksa terbangun oleh tangisannya. Saya lihat istri saya sudah tak berdaya menangani Rumi. Dia terus menangis walau kami telah mencoba cara apa pun untuk meredakan tangisnya. Dalam kondisi didera kantuk dan pikiran kalut, saya pun akhirnya membentak Rumi yang tidak juga menghentikan tangisnya. Bentakan saya ternyata tidak membuatnya jera untuk segera diam. Kami pun sepakat membiarkannya selama beberapa lama. Lalu ia meminta secangkir air putih (padahal sebelumnya ia menolak kami tawarkan sekotak susu UHT kesukaannya); ia tenggak habis dan kembali tidur. Saya memandangnya dengan penuh penyesalan: mengapa saya begitu tega membentaknya? 😦

Hari berikutnya, tepatnya pukul 11 malam, Rumi kembali menguji kesabaran kami. Entah apa yang membuatnya menangis dan rungsing, kami gagal memahami keinginannya walau telah coba ber’negosiasi’. Kami pun memutuskan untuk diam dan tidak menggubris apa pun yang ia inginkan atau keluhkan. Nyatanya, setelah kami coba baik-baik mengenali kemauannya, tangisnya justru semakin menjadi. Awalnya ia minta A tapi tiba-tiba minta B saat benda A kami bawakan untuk dia. Saat B kami kabulkan, ternyata hal lain lagi yang ia kehendaki: kami putus asa!

Hingga pukul 00.00 dini hari ia terus menangis dan tenggelam dalam tantrum. Kami tetap bergeming melihat tingkah lakunya. Saya sudah berjanji untuk tidak membentaknya lagi. Namun saya ternyata tak sanggup memegang janji sendiri. Ketika seorang satpam mengetuk pagar kami, dengan tujuan mencari tahu ada apakah gerangan anak kami terus menangis, saya kembali terbawa emosi. Istri saya segera membuka pintu dan menceritakan kepada petugas keamanan tersebut bahwa anak kami memang sedang sakit sehingga agak rewel. Seorang tetangga samping kiri sempat pula keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi di luar. Rumi tak juga diam, maka saya pun reflek membentaknya! Dia pun lalu meminta segelas air putih; lalu ia meminumnya dan segera merebahkan diri untuk tidur. Saya kembali merutuk dan menyalahkan diri sendiri akibat tak sanggup menahan diri untuk tidak membentak. Menyesal untuk kedua kali (masihkah ada guna? 😦

Setelah beres-beres rumah, pagi itu saya duduk bersama istri untuk berdiskusi tentang Rumi dan perilakunya belakangan ini. Saat bercakap-cakap, saya mencomot satu buku yang tampaknya bisa membantu persoalan kami. Buku itu saya dapat dari seorang sahabat beberapa hari sebelumnya. Entah kenapa belum saya sentuh juga buku berjudul Successful Parenting karya Andyda Meliala itu. Pada bab 4 di halaman 16 penulis mengangkat tema tentang dampak negatif kemarahan orang tua terhadap anak. Saya seolah ditampar saat membaca poin terakhir, yaitu bahwa

Orang tua pemarah akan berpotensi menghasilkan anak-anak yang mengalami kesulitan hingga masa dewasa, termasuk depresi, dikucilkan, menyiksa pasangan, serta prestasi karier dan finansial yang rendah.

Pikiran saya secara otomatis menghadirkan sosok Raka, putra angkat Rano Karno, yang terlibat kasus narkoba. Menurut berita yang saya baca, Raka kerap menderita depresi akibat ejekan teman-teman sekolahnya yang mengungkit statusnya sebagai anak angkat Rano. Depresi itulah barangkali yang mendorongnya untuk mengonsumsi obat-obatan terlarang.

Saya khawatir bahwa bentakan saya sebanyak dua kali kepada Rumi akan berimbas pada kepribadiannya kelak. Saya cemas kalau-kalau bentakan itu ditasfirkan oleh Rumi sebagai ekspresi kemarahan yang justru akan mempersulit kehidupan sosialnya saat dewasa. Saya takut jangan-jangan anak saya akan menganggap bahwa saya tidak menyayanginya akibat bentakan yang sangat saya sesali itu. Semoga tidak.

Dari kasus ini saya belajar bahwa orang tua harus bisa lebih sabar menghadapi anak, terutama memahami keinginan mereka. Saya sendiri kerap lupa bahwa Rumi hanyalah anak kecil, sedangkan saya mencoba mengerti dia dari sudut pandang orang dewasa. Sungguh tidak fair dan tidak seimbang! Kali lain jika Rumi mengalami tantrum, saya sudah tahu kiatnya: saya akan memeluk, menggendongnya, dan mencoba lebih bersabar dalam mengidentifikasi kemauannya. Singkat tapi tentu saja tak mudah :p

Pada halaman 20, Andyda menyarankan agar kita tertawa kala anak memancing kemarahan kita. Dengan demikian, kita tidak akan terbawa atmosfir kemarahan yang melingkupi kita. Suasana justru akan cair dan tidak tegang. Dokter kandungan istri saya–yang kami kunjungi sehari setelah kejadian–juga mengatakan hal yang sama; ketika kita memarahi anak saat ia tantrum, ia justru akan stres, dan bukannya malah diam. Maka jangan lupa tertawa saat anak-anak marah atau menangis tak jelas maunya. Ternyata tertawa bisa menjadi jurus ampuh! Dalam poin yang lain, Andyda juga meminta kita untuk membayangkan andai saja kita dilihat oleh sekelompok audiens atau penonton; apakah kita akan tetap semarah yang kita mau? Kiat ini saya pikir juga cukup membantu.

Sekarang setiap akan marah kepada Rumi, saya teringat sajak Kahlil Gibran bahwa anak saya pada hakikatnya bukanlah milik saya. Ia hanya dititipkan kepada kami untuk kami siapkan menjadi anak panah yang melesat ke sasaran tepat dengan bantuan Tuhan. Dan yang lebih penting lagi, ada begitu banyak pasangan yang tidak dikaruniai keturunan dan berjuang dengan segala cara demi memperoleh anak dari rahim mereka sendiri. Ada yang berhasil, ada pula yang nihil. Mereka berkorban harta dan pikiran, juga hati, demi mendapatkan generasi penerus. Lalu mengapa orang-orang yang diberi kepercayaan oleh Tuhan membesarkan dan mengasuh anak justru dengan mudah meledak dalam kemarahan? Dengan membentak Rumi, saya merasa telah menjadi hamba yang tidak bersyukur. Setiap teringat hal ini, air mata kami spontan menetes. Bulir demi bulir. Semoga air mata yang terakhir atas kebodohan kami dalam memahami anak-anak titipan Tuhan.

Tulisan ini terpilih sebagai pemenang kedua dalam rangka kontes GOLDEN MOMENT WITH YOUR CHILD yang diadakan oleh penerbit byPASS

30 Comments

  1. Salam kenal. Aku baru tahu nama tantrum (maklum, aku tidak terlalu banyak baca buku parenting 🙂 ). Informasinya sangat bermanfaat. Jadi, terima kasih atas informasinya, ya.

    Kalau anakku (namanya afra, umur 4 tahun 5 bulan), pernah marah-marah sambil menjejakkan kaki keras-keras ke tanah dan membanting pintu.

    Aku : “Kenapa marah?”
    Afra : “Kesssseeel (nadanya berat tersendat)”
    Aku : “Ya udah, berhenti marahnya, terus kesel ma siapa? Sini cerita ma ibu.”
    Afra : “INI AKU JUGA GA KEPENGIN MARAH, TAPI MARAHNYA GA BISA BERHENTI. DADANYA SESEK. KENAPA GA BISA BERHENTI SIH MARAHNYA?” (Afra ngomong sambil teriak dan mulai berlinang air mata. Sebenernya aku jadi geli sendiri. Itu artinya dia punya keinginan ga pengen marah tapi ga bisa mengendalikan keinginannya tersebut. Karena geli aku suka keliatan senyum pas dia marah. Kalo aku keliatan senyum, dia tambah marah. Jadi, aku peluk Afra, sambil senyum-senyum gak ketahuan sama dia. Afra malah nangis dan air matanya semakin banyak, tapi dia menangis tanpa bersuara.)

    Setelah kemarahannya reda, baru aku tanya hal yang membuatnya marah. Semenjak adiknya lahir, memang menurutku, Afra jadi ‘darah tinggi’. Gampang marah. Hal sepele dapat membuatnya marah. Misalnya, marah karena adiknya ditegur orang lain, marah karena mencari mainan ga ketemu, marah karena ada temannya dikasih tau jangan makan chiki malah makan, marah karena temannya lagi ga mau main sama dia padahal biasanya mau. Aku khawatir, apa ‘sifat darah tingginya’ ini bakalan sampai besar? Tapi dari kecil dia ga seperti ini.

    Apa pelukan, lama-lama dapat menghilangkan ‘sifat darah tingginya’ ini ya?
    Kadang ada rasa khawatir, kalo ga dimarahi malah jadi gampang marah. Soalnya hal sepele (menurut aku) aja bisa bikin dia marah.Kalo akunya lagi kesel, aku malah cuekin aja, dipeluk nggak, diomelin nggak, ditegur juga nggak. Aku pura-pura ga denger dia marah. Bagus tidak kalau dicuekin?

    Like

    1. Mbak Andriani, salam kenal juga. Yang saya tahu, tantrum ini wajar ditemui pada anak-anak, biasanya umur 2 tahunan. Menurut artikel yang pernah saya baca, tantrum terjadi salah satunya karena anak-anak gagal mendapatkan apa yang mereka inginkan. Seiring bertambahnya usia, mereka mengenal lebih banyak hal, beragam orang dan tentu saja perkembangan bahasa. Pada saat itu mereka seolah merasa bisa mandiri dan ingin melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang dewasa. Namun ketika ternyata sesuatu itu di luar jangkauan atau kontrol mereka, maka mereka frustrasi, yang diwujudkan dalam bentuk tantrum. Biasanya berupa kemarahan, teriak atau rewel tak jelas. Maksudnya tak jelas dalam pandangan orang dewasa. Maka menurut saya, boleh jadi anak Anda itu masih wajar dan belum mengkhawatirkan. Seiring bertambahnya usia dan pemahaman mereka akan dunia secara lebih baik, maka tantrum akan dengan sendirinya hilang. Memang pada periode anak 2 tahunan ke atas, ada anak yang sering tantrum, ada pula yang jarang.

      terima kasih untuk komentarnya ya. Mengapa tidak ikutan kontes Giveaway yang saya ikuti ini Mbak? Kan lumayan berbagi dengan orang tua yang lain. Salam sukses slalu 🙂

      Like

    2. atau ada pula anak yang marah tanpa sebab apa pun; ia marah karena sekadar ingin menunjukkan bahwa ia bisa marah dan mengalami beragam emosi. Ada anak seperti itu. Waktu ditanya, “Kenapa sih kamu marah?” Enteng dia menjawab. “Pengen marah aja.” Hadewgh!@&*^

      Like

  2. sy lagi byk cari2 tau ttg tantrum ini.. bukan utk anak2 sy sebenernya, krn alhamdulillah mereka belom pernah tantrum.. tp utk keponakan sy yg sejak bayi memang tinggal sm sy tp beberapa kali terutama akhir2 sering tantrum. Cukup bikin bingung, makanya sy lagi byk cari2 info ttg tantrum. Thx ya 🙂

    Like

    1. @Myra: Iya saya sendiri musti banyak belajar juga. Memang setiap anak kondisinya beda kok Bunda, Nanti deh kalo sempet nulis soal tantrum yang lebih panjang. Sama2. Trims juga atas kunjungannya.

      Like

    1. Salam kenal juga. Kapan-kapan saya pengen tulis soal tantrum secara lebih gamblang….semoga sempat 🙂

      Like

  3. iya mas, bener.. dirumah dhe ada 3 buah bocah yang masih kecil, adek dhe dan 2 ponakan dhe.. dan ternyata mereka bener-bener menguji kesabaran.. habis baca ini, jadi semangat untuk lebih bersabar lagi.. mereka anak-anak, dan “marah” bukanlah jalan terbaik karena mereka juga pasti belum mengerti dengan maksud marah kita.. 🙂

    ada hadiah spesial dari gamazoe, diterima yaa http://gamazoe.wordpress.com/2012/03/31/seratus-cinta-gamazoe/ 🙂

    Like

    1. benar sekali, Dhe. KIta harus bisa lebih sabar memahami mereka, sebab mereka baru mencoba mengenal dan memahami dunia baru yang boleh jadi mengecewakan bagi mereka. Btw, trims ya award-nya. Aku terima dan segera kupajang 🙂

      Like

  4. Prilaku tantrum yang umum memang biasa terjadi pada anak batita, tapi memang bila tak bisa diatasi dengan baik, tantrum akan terbawa samapai anak sekolah. Prilaku tantrum pada anak memang bisa sangat memancing emosi, hanya saja bila kita emosi anak malah maik menjadi tak terkendali. Kuncinya ya harus selalu mengasah sabar dan syukur ya…

    Like

    1. Setuju: sabar dan rasa syukur! satu lagi: ikhlas. ketiganya susah luar biasa, tapi tentu bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Ada seorang temen yang pengen banget punya momongan sampai menangis kepada Tuhan: “Beri aku satu saja.” Sungguh anugerah yang tiada terkira bagi kita yang diberi amanah berupa anak. Maka tentunya kita musti malu kalau sampai menyia-nyiakan amanah agung itu dengan tidak bersabar atau tidak mensyukurinya (*soktahumodeon# hehe 🙂

      Like

  5. Walank… sabar ketika anak rewel dan banyak maunya emang susaaaah…

    aku jg seriiiing bgt melakukan kesalahan2 yg aku sesali berkali2.. nggak cuma 2 kali…

    tp aku berusaha membayar kesalahan2 itu dgn mencoba lebih memahami dirinya, berpikir dari sisinya..,. tapi sekali dua kali tetap aja kelepasan… apalagi jk sedang diburu waktu… duuuh… semoga dengan limpahan kasih sayang dari kita orangtuanya.. anak2 tidak membawa trauma sepanjang hidupnya ya.. Amiiiin ya Rabb…

    Like

    1. betul, setuju. semoga mereka memahami bahwa kita benar2 menyayangi mereka, walau kadang kita kelepasan bersikap marah.

      Like

    2. ohya Walank.. dulu kalo Vania lagi tantrum… karena kebetulan aku tinggal dekat orangtua… aku yg udah emosi dan mau marah2 mending menepi, dan vania dipegang sama orangtuaku… mereka jauh lebih sabar…

      kalo emosiku udah reda, baru vania aku pegang lagi…

      tp skrg masalahnya beda lagi nih.. bukan tantrum lg… fuih…

      Like

      1. Memang benar, Lily. Menurut buku parenting yang kusebut di tulisan itu (tepatnya pada Tip ke-5 halaman 19), salah satu teknik atau kiat untuk meredam kemarahan sekaligus melatih kesabaran adalah dengan mengambil break time. Misalnya dengan meninggalkan ruangan selama 5 menit untuk memikirkan solusi atas konflik dengan anak. Bisa pula dengan mengizinkan anak nonton TV atau video selama setengah jam sementara kita mencoba mengembalikan energi dan mendinginkan pikiran. Sepertinya Lily sudah menerapkan salah satu kiat nomor 5 ini, hehehe.

        Btw, kalau boleh tahu sekarang apa isu yang dihadirkan Vania? sampe terdengar putus asa gitu, “Pfuihhh…” 😀

        Like

    1. Makasih Jeng Lidya. Selamat juga Anda masuk sebagai pemenang untuk menerima hadiah buku parenting.

      Like

  6. Belum punya anak, 😀
    tetap menjadi bekal bagi saya, menambah keilmuan saya juga, trims…
    Benar bahwa

    Orang tua pemarah akan berpotensi menghasilkan anak-anak yang mengalami kesulitan hingga masa dewasa, termasuk depresi, dikucilkan, menyiksa pasangan, serta prestasi karier dan finansial yang rendah.

    Like this, 😀

    Like

    1. Sobat Gandi: terima kasih sudah berkenan singgah di rumah sederhana saya. Iya betul, yang jelas kita harus mau terus belajar bila ingin menjadi orang tua yang sukses dan memberi pengaruh positif pada diri anak-anak kita. 🙂

      Like

      1. Pastinya demikian, 🙂
        Sebagai bekal kelak, anak kan titipan Tuhan, jadi harus dirawat sebaik mungkin,..

        Like

  7. saya juga punya seorang adik, sekarang usianya 4 tahun… kisahnya hampir sama ketika umur tiga tahun suka marah sendiri, minta barang X ketika dikasih mintanya Y, tapi ketika dikasih Y dia menolak minta X dst. dulu orang tua saya mencari solusinya ya didiamkan saja tapi kadang dikasih susu botol dia langsung diam

    Like

    1. Salah satu cara memang bisa dengan mendiamkan si anak, Mas. atau ahli biasanya menyebut dengan ‘time out’, pokoknya orang tua sama sekali ga menanggapi ucapan si anak sbg bentuk hukuman. Itu saya lihat di acara televisi. Tapi kalau tidak berhasil ya akhirnya harus cari cara lain yg lebih kreatif. salam 😀

      Like

    1. Urang kampung: sebagai bahan renungan sekaligus belajar..trims atas kunjungannya. semoga segera mengarungi bahtera rumah tangga dan dikaruniai anak2 yang hebat dan menyenangkan…:)

      Like

  8. Mas Rudi, saya baru membaca ini.
    Sepertinya sekarang Rumi sudah melewati masa tantrumnya ya…
    Waktu ketemu kemaren dulu, sepertinya dia anak yang manis.
    Setiap kita mungkin pernah kelepasan memarahi anak dengan keras. Asalkan kita menyadari kesalahan itu semoga bisa menjadi kebaikan buat kita dan anak2.

    Yang sabar ya mas… Rumi dan Bumi masih kecil. Marahi dengan seperlunya.

    Like

Tinggalkan jejak