Energi yang Hilang: Berlimpah Rupiah Tapi Tak Kunjung Bahagia

Judul : Mutiara Al Quran: 59 Langkah Praktis Mengamalkan Sabar, Syukur, Iman, Tawakal, dan Ikhlas
Penulis : Dr. Sultan Abdulhameed
Penerbit : Zaytuna
Tahun : Cetakan I, September 2011
Hal : 389 + x

Salah seorang teman yang tercatat dalam daftar friends akun facebook saya kerap mengabadikan status-status yang berisi keluhan dan menyiratkan pesimisme. Awalnya saya mendiamkan saja status-statusnya karena merasa bahwa itu haknya menuliskan status sesuai dengan apa saja yang ia rasakan. Lambat laun saya mulai terusik dengan jalinan kata-kata suram yang ia bubuhkan di wall fb-nya. Saya baru menyadari bahwa membaca status bernada negatif ternyata dapat menularkan spirit kemuraman dan ruh kebetean yang luar biasa.

Salah satu keluhan yang kerap ia angkat sebagai status adalah tentang kurangnya uang walau ia dan pasangannya sama-sama bekerja. Saya tahu betul bahwa pasangannya bekerja di sebuah perusahaan multinasional yang gajinya lumayan besar karena ia dipercaya mengemban posisi tertentu. Tapi entah apa yang terjadi, ia—dengan atau tanpa sepengetahuan pasangannya—selalu saja mengeluh tentang masalah keuangan; semua itu tercermin dalam status yang menggelisahkan. Alih-alih menghapusnya dari daftar pertemanan, saya pun memutuskan untuk meng-hide aktivitas apa pun yang dikerjakan oleh dia sehingga semua catatan atau aliran statusnya tidak akan pernah muncul di dinding fb saya.

Saya sendiri pernah didera perasaan yang sama. Berapa pun uang dan kepemilikan materi yang saya miliki, selalu saja hati saya terasa ciut, redup dan tidak juga disinggahi kebahagiaan. Dalam bahasa anak zaman sekarang, diri saya tengah galau; hanya saja kali ini kegalauan saya minim tanda dan miskin indikasi tentang sumber keresahan tersebut. Barangkali tidak sedikit pula orang di luar sana yang dirundung kegelisahan serupa. Mereka telah bekerja keras, mengorbankan banyak hal—termasuk kesempatan beribadah—demi meraup harta dan rupiah. Namun ketika mereka berhasil menumpuk benda-benda fisik dan materi telah berlimpah, kebahagiaan justru pupus entah ditelan gerhana dari mana.

Energi yang hilang
Saya baru menemukan jawabannya setelah membaca buku ini. Ternyata ada energi yang telah hilang dari hidup saya. Dengan meminjam salah satu hukum dari ilmu fisika, penulis menguraikan dengan cantik tentang penerapan prinsip keimanan. Menurut hukum entropi, ketidakberaturan akan meningkat dalam suatu sistem seiring berjalannya waktu bila kita tidak menambahkan energi ke dalam sistem tersebut. Contoh yang paling mudah: kehidupan di dunia dapat terus berjalan karena matahari senantiasa menyuntikkan energi ke dalam bumi. Bumi akan membeku, dan semua bentuk kehidupan di dalamnya akan akan berakhir, jika bumi tidak menerima aliran energi dari luar.

Penulis menyatakan bahwa surat Al-‘Ashr jelas membuktikan bahwa hukum entropi juga berlaku pada kehidupan manusia. Kehidupan kita akan tercerai-berai seiring dengan bergulirnya waktu kalau kita tidak menerapkan prinsip-prinsip keimanan secara aktif. Penulis mengingatkan bahwa apa pun filosofi iman yang kita anut, yang perlu dicatat adalah bahwa iman positif selalu diwujudkan dalam ‘amal saleh’, yakni dalam wujud perbuatan baik kepada dunia, kepada orang lain.

Saya pun tersentak membaca uraian ini. Saya menyadari bahwa pengalaman kegelisahan yang pernah mendera saya—begitu juga contoh kasus yang membuka tulisan ini—boleh jadi merupakan indikasi yang jelas tentang energi yang hilang. Yaitu bahwa saya, atau teman yang saya kenal betul tersebut, ternyata masih enggan berbagi dengan orang lain padahal kami telah mendapat kucuran nikmat dari Allah berupa rupiah atau rezeki dalam bentuk lain. Iman saya mandeg, dan berapa pun jumlah rupiah yang saya miliki, saya tetap tak mampu mencicipi manis kebahagiaan akibat ketiadaan manifestasi iman yang positif yakni dengan cara berbagi hal-hal baik atau menciptakan kegembiraan bagi orang lain. Sebuah koreksi penting yang perlu saya tebalkan dan garis bawahi!

Tiga penyakit
Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menjadi pokok masalah atau penyakit manusia modern yang bisa disarikan dari buku ini: kurangnya kesabaran, sedikit sekali rasa syukur, dan lemahnya keimanan/keyakinan, diperparah dengan rendahnya kadar kebijaksanaan yang harusnya mengintegrasikan ketiga komponen itu secara harmonis. Orang yang tidak sabar cenderung melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan, misalnya melakukan korupsi akibat tak kuat menahan terpaan beban ekonomi atau tekanan lingkungan kerja. Orang demikian jarang bisa menghargai hal-hal yang sudah ia miliki karena terlalu berkutat pada pencapaian hasil di luar kapasitas dan otoritasnya. Jika saja ia mau bersyukur dan sejenak menghitung betapa banyak dan besar nikmat yang telah ia terima, maka godaan untuk tidak amanah akan mampu diredam.

Orang-orang yang tidak sabar dan tiada bersyukur biasanya berakar pada lemahnya keyakinan atau keimanan terhadap ketentuan Allah. Mereka tidak yakin bahwa hal baik atau buruk sekecil apa pun akan berdampak pada pelaku sesuai perbuatannya. Setiap perbuatan yang kita kerjakan adalah sebuah langkah yang membangun lintasan sejarah hidup yang akan memberi makna atau petaka pada waktunya. Demikian kira-kira tersirat dalam Sekecil Apa pun akan Dinilai (hal. 9). Kita harus menumbuhkan keyakinan bahwa kita senantiasa memperoleh apa yang kita minta kepada Allah. Andai pun ketika doa atau keinginan kita tak terpenuhi sesuai harapan kita, maka percayalah bahwa hal itu memang yang terbaik bagi kita sesuai rencana-Nya. Bila kita berpegang teguh pada keimanan, maka pada saatnya kelak, kita akan mampu memetik buah yang kita idamkan di lingkungan sekitar (Minta dan Dapatkan, 35-38).

Kekuatan yang belum disadari
Tentang rasa syukur, penulis menurunkan satu esai yang menarik. Dengan menyitir Surah Al-Baqarah/2 ayat 286 yang berbunyi Allah tidak akan membebani orang di luar kesanggupannya, penulis mengelaborasi kutipan ini dengan sebuah kesadaran baru. Bahwa ketika beban yang menimpa kita terasa terlalu berat, itu artinya kita belum menyadari adanya kekuatan dalam diri kita yang sebenarnya sanggup membuat beban itu terasa ringan. Implikasinya: tiada beban yang tidak mungkin kita tanggung dan tiada masalah yang datang tanpa pemecahan. Setiap hambatan/masalah yang datang mendera perlu dipandang sebagai sebuah peringatan bahwa kita memiliki kekuatan yang lebih besar dalam diri kita yang belum tergali, dan hadirnya masalah adalah peluang untuk memunculkan bakat atau kemampuan yang selama ini cuma terpendam. Masalah merupakan kesempatan bagi kita untuk mendedah banyak kemungkinan dan alternatif terhadap suatu hal.

Secara lebih eksplisit lagi penulis memaparkannya dalam Masalah adalah Peluang (hal. 1), bahwa setiap kesulitan senantiasa diapit oleh kemudahan atau solusi sejauh kita berusaha mencarinya. Hal inilah yang telah hilang dari banyak orang modern di mana mereka tak cukup jernih dan sabar menghadapi masalah sehingga akhirnya memilih mengambil ‘jalan pintas’ dan bukan jalan yang pantas sesuai ajaran agama. Keterpurukan dan keterbatasan hidup mendorong mereka melakukan hal-hal yang mendatangkan manfaat bagi mereka secara instan tanpa memedulikan mudaratnya bagi orang lain. Kebanyakan orang cenderung menafsirkan bahwa kebahagiaan identik dengan kepemilikan harta dan benda-benda fisik semata, sehingga mereka rela melakukan apa saja demi pencapaian ‘kebahagiaan’ itu tanpa takut menzalimi hak-hak orang lain.

Dalam esai kesebelas berjudul Jalan menuju Kedamaian Sultan Abdulhameed menegaskan bahwa semua orang sebenarnya terhubung satu sama lain di mana meskipun berbeda dalam penampilan fisik dan pengalaman hidup, namun digerakkan oleh nilai-nilai kebaikan yang sama. Setiap orang menyimpan nilai-nilai ketuhanan sebagai bagian dari proyeksi Tuhan terhadap makhluknya. Memberi adalah sifat mulia yang kita contoh dari Tuhan dan oleh karena itu setiap hari harus kita tumbuh kembangkan sifat positif tersebut demi mencapai kedamaian hidup bersama, karena membantu meringankan beban orang lain adalah bagian dari iman, sebagaimana diulas dalam Jalan Mendaki (hal. 55). Berdasarkan surat Al-Balad ayat 17, Abdulhameed menulis bahwa iman adalah komitmen untuk menolong orang lain. Ibadah yang tidak mengarah pada pemberdayaan dan pengangkatan kehidupan orang lain menuju tempat atau kondisi yang lebih baik disebutnya sebagai kebuntuan spiritual. Tidak sedikit orang yang tekun beribadah secara ritual namun tidak mudah tergerak untuk membantu orang lain, maka orang demikian semakin lama kian terkucil dan menyendiri. Lebih parah lagi, tidak jarang mereka justru menghadirkan masalah bagi orang lain.

Tanah dan kemandegan spiritual
Untuk kasus ini saya mempunyai pengalaman spesifik. Di kampung tempat saya dulu tumbuh dan besar keluarga kami pernah mengelola sebidang tanah. Tanah tersebut bukan milik kami, melainkan pinjaman dari desa sebagai ‘upah’ atas pengabdian bapak sebagai seorang sekretaris desa. Kala itu sekretaris desa belum diangkat menjadi PNS seperti sekarang. Dan gaji yang ia terima adalah berupa pinjaman sepetak sawah untuk diolah sebagai sumber penghasilan jika panen berhasil.

Letak sawah tersebut kebetulan bersebelahan dengan sawah seorang mantan pejabat desa. Orangnya sudah cukup sepuh namun masih dikaruniai fisik yang kuat dan perawakan yang kokoh. Dia bolehlah disebut sebagai ahli ibadah di kampung saya di mana ia hampir tak pernah terlewat mengikuti shalat jemaah lima waktu dan aktif dalam aktivitas ibadah lain. Di masjid ia termasuk rajin membaca Al-Quran dan bahkan tergabung dalam kepengurusan inti DKM. Semua jemaah pun menaruh hormat dan sungkan terhadap beliau. Lucunya, semua orang juga telah memahami bahwa lelaki paruh baya ini juga gemar menggerus tanah orang yang sawahnya bersebelahan dengan sawahnya. Ternyata bukan cuma tanah sawah kami yang menjadi korban, tetapi juga tanah orang-orang yang sawahnya bertetangga dengan dia. Mereka kompak mengeluh bahwa semakin lama tanah perbatasan antarsawah kian hari kian menyempit. Ia tak segan mencaplok tanah sebelahnya untuk dicangkul menjadi tanahnya. Walhasil, gundukan tanah garis pembatas yang biasanya dipakai berjalan untuk memanggul hasil panen menuju ke jalan besar akhirnya hampir sulit dimanfaatkan karena semakin sempit.

Saya yakin bapak yang terkenal temperamental dan sudah bergelar haji ini sepenuhnya paham akan konsekuensi perbuatannya. Dalam hadis disebutkan bahwa orang yang mencaplok sejengkal tanah (orang lain) secara zalim, maka kelak Allah akan himpitkan kepadanya pada hari kiamat (dengan) tujuh lapis bumi”. Ia juga tentu tahu bahwa anaknya yang guru agama itu pasti malu karena memiliki ayah dengan perangai buruk semacam itu. Faktanya, nasihat dari anak-anaknya tidak pernah ia gubris. Contoh ini tentu saja mencederai ajaran Islam yang sesungguhnya dan sekaligus menjadi bukti tulisan Sultan Abdulhameed. Orang itu kini masih terus beribadah dan hidup dalam penghormatan palsu; ia tenggelam dalam kebodohan dirinya sendiri—menunggu panggilan Allah yang pasti akan meminta pertanggungjawabannya.

Klise yang tidak sederhana
Karena tujuan dan motivasi setiap orang adalah memperoleh kebahagiaan, maka buku ini bisa menjadi panduan sederhana menuju perwujudan kebahagiaan itu. Sekalipun terdiri dari tema-tema umum yang mungkin tampak klise dan sederhana, namun dibutuhkan pemikiran, keberanian, dan kesanggupan yang tidak sederhana untuk mengakui dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Buku ini merupakan kumpulan esai yang telah dijadikan sebagai bahan diskusi dalam sebuah forum dan disajikan di aula sebuah gereja, maka isinya tentu bisa dibaca oleh umat beragama lain selain Islam. Setiap tulisan didahului dengan ayat atau sekian ayat yang menjiwai keseluruhan paragraf dalam esai tersebut. Dengan demikian, esai yang mengikuti ayat pembuka bisa diasumsikan sebagai tafsir yang mudah dipahami tanpa istilah-istilah yang terlalu teknis. Setiap esai ditulis dengan lancar, lugas tanpa potensi menimbulkan ambigu, tampil dalam kalimat-kalimat pendek yang relatif memudahkan pemahaman terhadap intisari.

Tema-tema yang ditulis merupakan tema keseharian yang kontekstual, mulai dari sabar, bersyukur, mencapai kebahagiaan, makan sehat, hingga yang paling penting yaitu toleransi beragama dan kepedulian pada kesejahteraan orang lain yang belakangan ini sepertinya makin langka kita jumpai; kemiskinan yang dibiarkan merajalela dan penyerangan umat atau sekte lain yang dianggap sesat.

Setiap tulisan bisa dibaca secara terpisah tanpa harus mengikuti urutan tertentu sehingga pembaca bisa langsung menuju esai dengan tema yang diminatinya. Kendati tulisan bisa dibaca secara acak, namun masing-masing esai sebenarnya menjalin benang merah yang sama dan oleh karena itu seringkali saling berkaitan. Meskipun tema-tema yang diangkat mungkin terkesan ‘terlalu dasar’ bagi pembaca Indonesia atau cenderung khusus bagi pembaca awam mengenai Islam, namun cara memaknai penulis terhadap ayat atau suatu pandangan cukup segar dan menarik sehingga sering menyentuh titik kesadaran kita. Dan dalam hal ini bisa berperan sebagai embun motivasi untuk menggerakkan pembaca menuju kehidupan lebih baik.

Sebagai penutup, kita tentu tidak ingin hidup layaknya anak kecil yang memandang dunia dari kacamatanya sendiri; yaitu bahwa kehidupan ini terpusat pada dirinya sendiri: ia merasa bahwa tugas atau peran orang lain adalah semata-mata memenuhi kebutuhan atau keinginannya. Bila kita mengaku telah berkembang secara emosional dan spiritual, tentunya kita akan meyakini bahwa memberikan kontribusi kepada dunia atau orang lain akan mampu menciptakan makna dan kepuasan yang bertahan lama. Pertanyaannya adalah: bagaimanakah kita menghayati keimanan? Jangan-jangan kita kerap dirundung pilu dan nestapa karena ada energi yang hilang—atau justru banyak energi yang tanpa sadar telah kita buang dan sia-siakan.

33 Comments

    1. terima kasih pak/mas uyip. semoga bermanfaat. Ayo beli bukunya juga 😀 Makasih ya waktu itu udah berkenana saya titipi beli bukunya di pameran…sukses slalu untuk Anda dan bisnisnya.

      Like

  1. Demi masa sesungguhnya manusia sangatlah merugi.. termasuk kehilangan energi salah satunya.. 😀 Mungkin satu hal yang perlu diingat.. Rasa Syukur dan Ikhlas.. Untuk menjadi orang yang ikhlas itu susah lho… Salam kenal juga

    Like

    1. Betul Mas, orang-orang yang merugi–menurut buku ini–adalah mereka yang tidak secara aktif menerapkan prinsip2 keimanan dan tidak berbagi kebajikan dengan sesama. Seperti bunyi surat Al-‘Ashr itu Masbro. Lama-lama kita akan dirundung rasa duka dan kegelisahan karena ada sesuatu yang hilang…padahal itu energi yang penting 🙂 Trims buat kunjungan Anda. Salam 😀

      Like

    1. betul. itu dua hal yang terdengar sederhana tapi butuh perjuangan berat buat menjalankaannya..Btw, thx udah singgah. gi mana dengan perpustakaan di Wonosobo? Semoga sukses dan lancar 🙂

      Like

      1. betul om. . .
        teori banyak, tapi susah diterapkan. . 😉

        perpustakaan sudah peresmian.
        alhamdulillah lancar. .tapi kami masih memantau untuk kemajuannya om. 😉

        Like

  2. Asslm Walank..apa kabar? Semoga sehat selalu ya…:-)
    Emang gampang bgt utk mengeluh tp begitu sulit utk bersyukur… 😦

    Btw..ttg org yg mencaplok tanah org lain, aku pernah diceritakan ttg org yg sangat dikenal keluargaku..memang suka memindahkan patok tanah sehingga ketika meninggal dan akan dikuburkan kakinya menjadi “panjang sekali” jadi seberapapun panjangnya liang kubur, tanahnya selalu “kurang”

    Na’udzubillah… Semoga qta terhindar sari sifat suka mengeluh dan serakah.. Amin..

    Like

    1. Wa’alaikumussalam, kabar baik Bunda Vania. Alhamdulillah. Semoga Vania sekeluarga juga senantiasa diberi kesehatan dan kemudahan dalam segala hal.
      Oh, itu ada kasus nyata ya? Ya, wallahu a’lam soal konsekuensinya, di dunia dan di akhirat. Moga-moga kita dijauhkan dari semua itu.
      Memang sangat berat untuk bisa terus bersyukur sebab biasa kita cenderung terdorong untuk mengeluh gara-gara terlalu fokus pada kelemahan atau kekurangan kita–sehingga mata (hati) kita tertutup dari nikmat-nikmat yang lain.
      Amiin. Salam utk keluarga ya 🙂

      Like

  3. berbagi Kata Kata Bijak Mario Teguh gan
    Semua waktu adalah waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jangan menjadi orang tua yang masih melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan saat muda.

    semoga bermanfaat dah, sukses selalu dah , ku tunggu yah kunjungan baliknya 😀

    Like

    1. Terima kasih atas kunjungan Anda, Gan. Memang betul itu, saya setuju dengan kalimat Pak Mario. Sering kali orang mengatakan akan berbuat sesuatu dengan menunggu waktu yang tepat–padahal semua waktu adalah tepat adanya karena kita sendirilah yang bertugas memanfaatkan dan memberi makna pada momen apa pun. Apakah ukuran atau tanda bahwa sebuah kesempatan adalah waktu yang tepat?

      Baik Gan, nanti saya berkunjung balik ke web juragan. Salam 😀

      Like

  4. berbagi kata kata motivasi gan
    Bercerminlah dari kesalahan orang lain, selain dari kesalahan diri kita sendiri,bercermin pada kesalahan diri sendiri supaya tidak terjatuh pada lubang yang sama, dan dengan bercermin dari kesalahan orang, maka akan lebih memacu kita agar kesalahan itu tidak menimpa kita.
    semoga bermanfaart dan dapat di terima ya,

    Like

    1. setuju Gan, agar kita tidak terjerembab dalam lubang kesalahan yang sama atau kesalahan baru, memang kita mesti belajar dari kesalahan kita serta kesalahan orang lain…terima kasih atas kunjungan Anda 😀

      Like

  5. (kurangnya kesabaran, sedikit sekali rasa syukur, dan lemahnya keimanan/keyakinan,)
    ihhhh serem bgt penyakit itu sob, semoga kita semua di jaukan sama penyakit2 di atas

    Like

  6. urangnya kesabaran, sedikit sekali rasa syukur, dan lemahnya keimanan/keyakinan,
    ihhh serem bgt tiga penyakit di atas, semoga kita semua di jauhkan dari penyakit tersebut..

    Like

    1. betul sob. sangat berbahaya–sebab penyakit itu kronis tapi sering tidak kita sadari 😦 Saya mengamini doa Anda. Makasih sudah berkunjung ke blog belalang cerewet.

      Like

    1. Betul sekali sob. Rasa syukur yang ditunda-tunda sampai mendapat sesuatu tertentu adalah pangkal dari ketersesatan manusia untuk terus merasa kurang dan kurang. “Kalo tar punya mobil mewah dan kapal pesiar, aku mau bersyukur ah..” Hehe..Terima kasih atas kunjungan Anda 🙂

      Like

    1. isinya sangat menarik, tampak sederhana namun membutuhkan penerapa riil yang tidak sederhana..Terima kasih sudah berkunjung. Salam kenal 😀

      Like

  7. berbagi Kata Kata Motivasi
    Senyumlah, tinggalkan sedihmu. Bahagialah, lupakan takutmu. Sakit yg kamu rasa, tak setara dengan bahagia yg akan kamu dapat.
    Air mata tak selalu menunjukkan kesedihan, terkadang karena kita tertawa bahagia bersama sahabat terbaik kita.
    semoga beramanfaat, salam kenal dan di terima 😀

    Like

    1. Terima kasih untuk kata-kata motivasi Anda. Semoga muaranya adalah rasa syukur kita. Sangat bermanfaat dan salam kenal serta sukses selalu! 🙂

      Like

    1. Saya juga akhirnya meng-hide orang2 semacam itu, Bunda Ke2nai. Tapi jarang menghapus karena masih temen deket sebenarnya 🙂 Galau itu nular soalnya 😦 So musti diberantas dengan meminimalisasi atau meniadakan kehadirannya di lingkaran kita ya…

      Like

    1. Betul, Bunda. Tanpa kita sadari ternyata status-status yang bernada negatif atau pesimisme kerap bisa mempengaruhi mood kita untuk beraktivitas pada hari itu. Walau memang tetap saja bergantung pada masing-masing orang ya. Tapi lebih aman ya memang dengan cara meng-hide atau ekstrem lagi ya dengan cara dihapus. Terima kasih sudah berkunjung 🙂

      Like

Tinggalkan jejak