Bogor – Jepang 5 Jam PP: Sebingkis Dongeng dan Senyum yang Retak

Mendongeng di depan anak-anak gempa menjadi pengalaman pertama saya yang cukup menegangkan. Selain jarak ke lokasi terdampak sangat jauh, menghadapi anak-anak yang trauma jelas sangat berbeda dibanding mendongeng di depan anak-anak biasa.

Rabu 20 September telepon yang saya tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Saya diminta datang ke kantor Yatim Mandiri kota Bogor untuk menemui kepala cabangnya. Hari Kamis kami pun berbincang santai di kantor yayasan amal tersebut. Singkat cerita, Sabtu 22 September kru Yatim Mandiri akan mengunjungi Desa Cibunian Kecamatan Pamijahan untuk menyerahkan bantuan kepada para korban gempa—terutama bagi anak-anak yatim. Saya diajak serta karena saya telah berjanji untuk mendonasikan sejumlah buku cerita kepada anak-anak yang membutuhkan. Tentu saja saya menyambut tawaran itu dengan semangat membuncah. Dalam acara tersebut saya juga diberi kesempatan untuk berbagi semangat melalui dongeng agar anak-anak tidak trauma sehabis serangan gempa beberapa pekan sebelumnya. Wah, makin tak sabarlah saya; sudah lama tak mendongeng di depan anak-anak! 😀

Dalam kobaran semangat yang menyala-nyala, saya mendadak dicengkeram keraguan sengit: pertama, karena anak sulung saya Rumi masih belum sembuh betul dari pilek, batuk, dan sakit mata—bisakah saya meninggalkannya di rumah sementara istri saya harus lebih banyak merawat Bumi anak kedua kami yang baru berusia sebulan lebih?; kedua, di rumah tidak ada satu alat peraga pun yang bisa saya pakai untuk mendukung penyampaian dongeng. Wah, dongeng bisa kurang menarik tanpa kehadiran alat pendukung—gumam saya. Sambil berharap bahwa hari Sabtu Rumi sudah jauh lebih baik, saya pun terus berpikir guna mendapatkan ide seputar tema dongeng yang memikat dengan alat peraga yang tepat. Karena waktunya mepet ditambah Rumi yang sedang tidak sehat, maka saya baru bisa keluar berburu bahan Jumat malam selepas Isya. Setelah melakukan ‘badai otak’, akhirnya saya putuskan mengangkat dongeng dari Jepang yang menurut saya cocok untuk anak-anak yang baru saja disambangi bencana. Cerita dari negeri Sakura ini tepat karena mengajarkan tentang rasa syukur–dan yang lebih penting lagi: alat peraga bisa saya buat dengan mudah. (Seperti yang bisa sahabat lihat di sebelah kanan).

Hari Sabtu alhamdulillah Rumi bisa saya tinggal bersama Bunda dan adiknya di rumah. Bila mobilnya muat, saya sebenarnya ingin mengajak mereka turut serta. Namun karena status saya cuma diajak, jadilah saya putuskan berangkat sendiri. Pukul 10 saya langsung meluncur ke Giant Taman Yasmin. Kru Yatim Mandiri akan menjemput saya di sana. Saya memilih Giant Yasmin karena selain mobil akan melewati jalan itu, saya juga bisa menitipkan motor secara GRATIS dan aman sampai malam. Tim yang saya tunggu ternyata terlambat karena terjebak macet, padahal mereka telah mengambil jalan alternatif. Maklumlah, Bogor akhir pekan selalu dibanjiri oleh mobil-mobil berplat luar kota.

Sedianya, kami akan bertolak dari Bogor menuju TKP pukul 9 pagi. Lalu dilanjutkan dengan acara hingga pukul 2 siang. Setelah itu kami kembali ke Bogor. Karena waktu tempuh (menurut kru yang telah melakukan survei seminggu sebelumnya) ke desa tersebut sekitar 2 jam, maka kami akan tiba di sana pukul 11 bila kami berangkat jam 9. Namun akibat macet tersebut, akhirnya saya dan rombongan baru bergerak dari Giant Yasmin pukul 11.30. Perjalanan ternyata sangat mendebarkan. Ini pertama kalinya saya berkunjung ke daerah Pamijahan. Dari pertigaan Cibatok belok kiri dan lurus. Banyak kejutan: jalan kecil, jalan beraspal yang berseling dengan jalan berbatu. Belum lagi kontur dan medan yang berliku-liku–membuat adrenalin (dan juga perut) terguncang-guncang. Pemandangan memang indah: sungai-sungai berbatu dengan aliran air bening nan segar, pohon-pohon hijau, kelapa yang tinggi, juga jajaran sawah yang tersusun indah dalam konfigurasi terasering.

Kami membawa dua kendaraan. Saya menumpang mobil Avanza di depan bersama kepala cabang yang memegang kemudi. Sedangkan satu mobil Yatim Mandiri mengikuti kami di belakang dengan aneka barang yang akan disumbangkan. Semakin masuk semakin sepi. Kami sempat berhenti sejenak untuk membeli satu dus air mineral kemasan. Bukan apa-apa, kami khawatir kami tak akan menjumpai warung serupa di daerah pedalaman. Dan ternyata memang benar: warung-warung yang kami jumpai selanjutnya hanyalah kios kecil yang menjual kopi atau kebutuhan sehari-hari. Setiap mobil kami keluar dari ujung belokan, setiap mata pun memandang. Anak-anak desa terkesiap, seolah takjub dengan mobil yang saya tumpangi. Mirip perilaku saya waktu kecil yang akan bersemangat mengejar mobil apa pun sambil menghirup asapnya yang ‘harum’.

Kami sampai dengan selamat pukul 14.00; pfuihh…perjalanan jauh yang lelah-menyenangkan (kira-kira 2,5 jam dengan istirahat sebentar untuk shalat Zuhur di jalan). Padahal biasanya saya bisa menjangkau Jakarta hanya dalam waktu 1,5 jam dengan mengendarai motor. Sungguh luas Kabupaten Bogor ini, gumam saya, karena kami masih berada di wilayah administratif yang sama padahal telah menempuh perjalanan sejauh 22 km (versi peta) atau 57 km (versi medan sesungguhnya) 😀

(a) pojok kanan ruangan yang terserang gempa; (b) sekolah diniyah tampak dari luar; (c) kerusakan di pojok kanan diambil dari dekat

Setiba di Desa Cibunian, kami langsung digiring menuju sebuah bangunan kecil. Bangunan ini tadinya adalah sekolah diniyah yang juga tak luput dari sergapan gempa sehingga beberapa bagian di dalamnya retak di sana-sini sebagaimana yang bisa Anda lihat dalam foto-foto yang saya tampilkan. Di sinilah acara formal (sambutan dll.) berlangsung–sekaligus tempat saya membagikan buku dan mendongeng. Sesaat sebelum saya harus maju mendongeng, saya berbisik kepada Pak Agus sebagai ketua tim, “Pak, saya cuma butuh anak-anak saat mendongeng. Bapak-bapak silakan keluar saja untuk nurunin barang-barang dari mobil.” Terus terang saya belum pernah menyampaikan dongeng kepada selain anak-anak. Dulu pernah mendongeng di sebuah TK di mana guru-gurunya saya minta keluar agar saya lebih khusyu (walaupun ternyata mereka tetap menjulurkan kepala pada lubang-lubang angin jendela). Saya tak mau itu terulang lagi. Kehadiran orang-orang selain anak-anak jelas membuat saya grogi dan tidak percaya diri.

Ruang kiri untuk bapak-bapak, ruang kanan untuk anak-anak berkumpul

Namun ternyata bapak-bapak tetap betah di tempat duduk mereka masing-masing. Entah apa yang mereka tunggu 😦 Bangunan eks-diniyah ini terdiri dari dua ruang yang dipisahkan oleh dinding selutut sebagai pembatas. Bapak-bapak dan sesepuh desa berada di ruang pertama sedangkan saya mendongeng di ruang lainnya (saya membelakangi mereka–terpaksa! :D) Karena waktu tak banyak tersedia, saya pun segera mendongeng walau awalnya agak rikuh ketika bapak-bapak turut mendengarkan. Alhamdulillah, acara mendongeng berjalan mulus dan lancar. Anak-anak sesekali tertawa (atau tersenyum) walaupun senyum yang mereka kembangkan seolah masih tertahan.


Setengah jam sungguh tak memuaskan; “Semoga kapan-kapan kita bisa berjumpa lagi ya Nak,” ujar saya kepada mereka.

Mungkin mereka masih teringat insiden gempa yang datang seketika. Mereka memang mengulum senyum–tapi senyum mereka tampak retak, belum utuh, dan tak lepas. Sejatinya saya telah menyiapkan beberapa dongeng dengan sejumlah aktivitas interaktif untuk membuat mereka lebih ceria. Namun karena saya hanya mendapat jatah 0,5 jam, maka saya pun segera mengakhiri dongeng berpesan bahwa mereka masih harus bersyukur karena Allah cuma menggetarkan bumi di sana tanpa mengeluarkan isi di dalamnya (sebagaimana tergambar dalam Surah Al-Zalzalah).

Penyerahan bantuan oleh Pak Agus kepada perwakilan korban

Tepat pukul 4 kami pun mohon diri. Karena perjalanan cukup jauh dan SPBU tak akan kami jumpai segera–maka saya meminta izin kepada ketua RT untuk menumpang ke kamar kecil. Saat dipersilakan masuk ke rumah salah satu warga yang mempunyai kios kecil, saya pun tak ragu melangkah. Si ibu menunjukkan letak kamar mandi yang berada tepat di depan dapurnya. Saya langsung masuk dan terkesima oleh dua hal: (1) krannya unik karena hanya berupa ujung selang keras yang mengucurkan air tanpa henti. Ternyata air itu mengalir alami dari mata air pegunungan. Pantas saja tak ada kenop untuk mematikan airnya :); (2) Kamar mandi itu tak berpintu..olalala…saya kontan teringat binatang berkaki empat yang bisa menggonggong itu :D.


Mobil Yatim Mandiri yang mengangkut barang-barang bantuan

Setelah semua tim lengkap, kami lantas melambaikan tangan dan mengucapkan salam perpisahan. Baru beberapa ratus meter, mobil kami dihentikan oleh seorang warga yang berkendara motor. Kala itu kami tepat berada di gigir tebing. Warga tersebut meminta tolong kalau-kalau kami bisa membawa ibu yang akan melahirkan. Jarak bidan yang dituju lumayan jauh karena berada di dekat kantor Kecamatan. Kami pun mengiyakan. Karena mobil kami tak mungkin bergerak mundur, maka kami putuskan untuk menunggu si ibu itu di tempat kami berada. Sejumlah relawan dari Yatim Mandiri lalu diminta pindah ke mobil belakang (yang awalnya mengangkut barang) agar si ibu nanti bisa nyaman berada di mobil Avanza (iklan lagi neh!).

Sambil menunggu kedatangan si ibu, ada insiden buruk yang terjadi. Dari arah depan kami muncullah sebuah motor yang dikendarai oleh seorang ibu dengan membawa dua anak. Jalan berbatu dan menanjak; si ibu pengendara itu hampir jatuh ke kanan karena terlambat mengoper gigi ke posisi terendah. Terlihat oleh kami ia coba menahan motor agar tidak menindih kaki kedua anak yang memboncengnya. Untunglah dia refleks membanting motor ke kanan sebab 1-2 meter ke kiri adalah jurang terjal yang rimbun. Pak Agus yang berada di balik kemudi seketika berteriak, “Pak Rudi, tolong Pak. Coba tolong!!” Saya langsung melompat keluar dari kursi depan dan segera berlari menghampiri si ibu yang hampir terjatuh. Kami mengkhawatirkan anak-anaknya. Untunglah saat itu ada seorang pengendara motor lain yang sigap ikut menolong. Syukur, tak ada yang terluka. Selidik punya selidik, ternyata ibu tersebut hendak menuju tempat acara penyerahan bantuan karena kedua anak tersebut adalah anak yatim. Mereka terlambat datang karena jarak dan waktu tempuh dari RW yang berbeda. Si ibu kemudian membawa kedua anaknya untuk menjemput jatah bantuan berupa beras, telur, sosis bergizi, susu, mi instan, tas dan alat-alat sekolah, serta sejumlah uang.

Masih segar dalam ingatan saya: wajah anak-anak yang ceria penuh semangat menerima bantuan yang kami bawa jauh dari kota. Ada satu anak perempuan yang kuelus kepalanya lalu ia tersenyum. Ternyata anak sekecil itu sudah kelas 1 SMP. Ah, semoga Allah memberikan kemudahan dan keberkahan bagi mereka agar kiranya mereka menjadi manusia berguna bagi alam semesta.

Mendongeng di depan anak-anak korban gempa sungguh menjadi kisah mengesankan yang layak saya kenang. Berangkat dari kota Bogor menuju tempat yang jauh — mendongeng tentang tukang batu dari Jepang — lalu kembali ke kota Bogor kira-kira selama 5 jam perjalanan pergi dan pulang. Bagaimana dengan sahabat? Adakah pengalaman unik serupa atau bahkan lebih menggugah?

30 Comments

  1. Waaahhh… kirain mas Belalang bisa terbang Jepang – Bogor 5 Jam….

    Jadi ada cerita itu dibalik sakit matanya Rumi tempo hari… Akhirnya diobati apa mas…? Jadi beli ke2 macam obat itu…?

    Mengunjungi langsug korban gempa pasti membawa suasana yang mengharu biru ya mas… Jadi ingat waktu gempa yogya dulu, saya sedang di Yogya hamil fanni. Alhamdulillah fanni sehat2 saja, padahal waktu gempa terjadi saya terjatuh cukup keras. Dan suasana mencekam sesudahnya betul2 menimbulkan kepanikan.
    Besoknya kami melihat kondisi rumah bapak saya yg di pinggir pantai sekitar parang tritis. Melihat langsung hancurnya bangunan2 yg kami lewati. Banyak yang bertangis-tangisan. Alhamdulillah rumah bapak baik-baik saja, walau barang2 didalamnya hancur berantakan. Kami lalu mengungsi ke Magelang (kerumah om), sebab gempa2 kecil susulan masih sering dan membuat cemas sekali.

    Memang kunjungan seperti yg mas Belalang lakukan akan membawa kesan baik buat mereka. Trauma akan gempa itu cukup dalam, apalagi bg yang sampai kehilangan sanak keluarga atau rumah yg hancur.

    Pengen juga sekali-sekali dengar mas Belalang mendongeng. Di depan anak2 saya sepertinya sudah cukup ramai ya mas… Udah kayak 1 kelas aja khaan…

    Like

    1. Wah, sayangnya keduluan ma Mas Opick. Ga jadi pertamax deh 😀
      Biar pada tertarik Bun, jadi judulnya sedikit lebai Bunda. hehe…Semoga kapan2 bisa maen ke Osaka. Amiin.
      Alhamdulilah sakit mata Rumi membaik tanpa diobatin apa-apa. Saya cuma beliin sabun Asepso (iklan lagi–dapet bayaran ga ya:?) atas saran istri saya. Alhamdulillah beleknya berkurang. Selama seminggu dah baikan. Eh, malah hari ini bengkak yang kanan. Besok mau coba kasih rendaman daun sirih. Moga2 berhasil. Kalau tak, ya mungkin memang harus ketemu pak dokter.

      Sangat menyedihkan Bun, suasana desa sehabis korban gempa. Walau tak ada korban jiwa kayak Yogya, tapi ini pengalaman mendalam buat saya. Di sepanjang perjalanan menuju tempat itu, Pak Agus yang menyetir sesekali berucap, “Wah, berkunjung ke tempat seperti ini kita jadi banyak bersyukur ya Pak Rudi.” “Betul, Pak. Banyak hal yang kita anggap kurang..eh ternyata itu semua sudah sangat sangat luar biasa setelah kita melihat saudara-saudara kita di sini,” jawab saya.

      Pokoknya bersyukur banget deh–internet gampang, mau makan apa aja segala rupa di kota. Sedangkan mereka? Semoga kita ga lupa berterima kepada Allah dengan cara berbagi berkah yang kita miliki 🙂

      Wah, tentu berat kalau rumah kita sendiri yang jadi korban Bun–saya ga bisa banyak komentar.

      Yang jelas, saya mau mendongeng ke rumah, tapi jangan dibayar pakai jengkie ya..haha 😀 Cukup dikasih satu kafe yang siap dijalankan buat usaha xixixi 🙂

      Like

  2. waduh,,kirain jepang beneran tp pengalamannya emg benar2 seru ya mas..demi memberi bantuan buat mereka semua rintangan sptnya dipermudah Allah, SWT hingga sukses pelaksanaannya, smg berkah dan manfaat apa yg dikasi ke mereka ya mas 😀

    Like

    1. Hehe, namanya juga judul Mi, kudu lebai bin dikit-dikit ‘menipu’ biar bikin penasaran. Sekalian biar jadi doa Mi siapa tahu Tuhan kasih izin buat jalan-jalan ke sana. nah, pulangnya dapet oleh-oleh Toyota Fortuner hahaha…Lumayan buat offroad di Jambi Mi.

      Like

    1. Lihai sih bukan, Mas Imam. Hanya saja saya memang suka mendongeng sejak ngajar di Semarang dulu. nah kebetulan kemarin ada kesempatan berbagi buku dan dongeng–cocok ma program Yatim Mandiri. Jadi ya ikutan deh…

      Saya pernah denger acara itu Mas, tapi detail acaranya kayak apa ya? Dah lupa..bukan yang Paman Dolit kan? 🙂

      Like

  3. waah kirain bener ke jepang, mau nagih oleh2nya..hihii/..
    Perjalanan yang penuh tantangan, tapi seru ya apalagi dah melihat dan memberikan bantuan secara langsung..

    Like

    1. Tenang Mama Olive. Kalau ke Jepang tar pas pulang ke Indo saya bawain pulau Hokkaido hehe…betul, sangat berkesan. Semoga kapan2 bisa ke Jepang beneran setalah mendongengkan salah satu kisah dari Negeri Sakura

      Like

  4. wah sy sangka jg ke jepang beneran..
    :D,
    beberapa kali kunjung kesini tp ga smpat ninggalin jejak. salam silaturrahmi ya.
    dulu pernah posting pantun kuis mini daun pandan. mau ikutan GAnya jg ga bs lanjutin syarat daftarnya krn inet ngadat hehe..

    Like

    1. Judulnya provokatif biar menarik untuk dikunjungi hehe…Oh selma ini jadi silent reader ya…Terima kasih atas kunjungan sahabat, nanti saya sambangi balik. Wah sayang banget ya–semoga kali lain saya bikin kontes bisa ikutan..amiin 🙂

      Like

  5. Jadi diliput tipi gak rud?? Klo aku jadi pemred,kejadian2 kyk gini aku masukin headline dan feature rud..
    Anyway, thx for sharing.. Jadi makin bersyukur dg apa yg kita punya

    Like

    1. Ga jadi, Mbakje. Mungkin karena kejauhan kali ya. Kami juga sempat mengontak MetroTV dan sempat direspon tapi diminta menghubungi bagian lain. Tenang Mbakje, sudah diliput langsung oleh para malaikat hehe…Betul sekali, kita jadi malu kalau mengeluh. Banyak kemudahan dan kelebihan dibanding kondisi saudara2 kita di sana–baik sebelum atau sesudah terkena gempa. Terima kasih dah mampir, apa kabar Kai?

      Like

  6. Waktu gempa yogya dulu itu, saya cuma sama Hilman (yg no 3) ke ygy utk hadiri lamaran adik. Jadi selain bawa perut besar hamil fanni 8 bln, saya juga gendong2 Hilman krn dia takut banget. Alasan utama sy ngungsi ke Magelang ya krn lihat Hilman spt trauma di dlm rmh.
    ‎​الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ kandungan sehat, dan Hilman riang kembali setelah di magelang sy belikan mainan dan main di game zone.
    Jadi memang bener mas, korban gempa itu butuh hiburan utk menghilangkan trauma.
    Hilman mudah melupakan krn ygy hanya tempat singgah, bkn rumah tinggalnya. Beda dgn penduduk yg mas Belalang kunjungi. Mereka tentunya lbh membekas, krn perubahan yg terjadi pada mrk sebelum dan sesudah gempa.

    Semoga akan selalu ada program2 sejenis yang memperhatikan nasib mereka. Bantuan yg didatangkan lgs dgn melihat dan memberikan kpd yang membutuhkan amat sesuai dgn pola Islami, dimana ada silaturahim disana.

    Sukses selalu ya mas…
    Dan saya tunggu tulisan terbaiknya buat GA… Nagih…nagih… GA…!

    Like

    1. Sebenarnya Bunda Niken punyaberapa anak sih? Kok ada Hilman segala? Haha…produktif ye xixixi…Memang Bunda, tentu tidak mudah bagi mereka–terutama anak-anak. Memang Yatim Mandii akan mengagendakan acara serupa di beberapa tempat yang terkena korban bencana alam. Minggu berikutnya setelah dari Pamijahan sebenarnya diagendakan menyambangi koban puting beliung di Ciomas, Bogor. Sampe 4 kecamatan dan mencapai 1000 rumah yang terkena angin. Walaupun yang parah ada beberapa ratus. Namun saya belum terima undangan lagi dari yayasan amal tersebut.

      Terima kasih atas dukungannya Bunda. Tulisan untuk GA Hero dah beres, tinggal nunggu acc si pemilik kisah. 😀

      Like

      1. Anak saya aslinya LAHFY itu mas belalang… (5 anak yang ganteng dan cantik). Tapi sekarang nambah 1 agi…. ada di Surabaya… qiqiqiqi…

        Like

        1. Oh lima anak ya…saya baru ngeh…kirain tiga orang. sekarang udah nambah atau baru mau nambah? Cowok lagi kan?—Amiin. Saya nyumbang foto aja hehe 🙂

          Like

    1. Iya, sangat menyenangkan bila kita bisa saling meringankan, Bunda. Hehe..sambil berkhayal kapan-kapan bisa ke Negeri Sakura…

      Like

    1. Semoga mereka senang Mas. Bukan karena kami datang membawa bantuan barang dan uang, tetapi karena mereka menyadari bahwa kami sebagai saudara sebangsa dan setanah air masih mengingat mereka di sana…

      Like

Tinggalkan jejak