Atasi Tawuran Dengan Koprol dan Wow!


Kejadian di atas mungkin pemandangan biasa yang sering kita lihat dalam tayangan sinetron di televisi kita. Atau boleh jadi kejadian semacam itu justru menjadi kenyataan lumrah dalam kehidupan kita sehari-hari. Inilah mungkin cikal-bakal tindak kekerasan di luar rumah—tentu saja selain didorong oleh desakan nafsu manusiawi. Namun situasi hipotetis yang membuka tulisan ini setidaknya bisa menjadi gejala umum yang menghiasi kebanyakan rumah tangga yang anak-anaknya bermasalah. Perilaku ‘brutal’ anak di luar pengetahuan orang tua besar kemungkinan dipengaruhi (atau malah dibentuk) oleh anasir-anasir negatif yang melingkupi anak dalam keluarganya.

Dengan demikian, patut diduga bahwa fenomena tawuran pelajar yang marak belakangan ini merupakan produk dari budaya kita sendiri tanpa kita sadari. Tawuran warga antardesa, bentrok antarsuku atau golongan/sekte agama, baku hantam sesama anggota DPR, aneka demonstrasi dan adegan kekerasan yang kerap ditampilkan di layar televisi adalah perpaduan dahsyat yang berperan laksana hujan menyirami bibit-bibit kekerasan dalam diri anak-anak sekolah. Kita boleh saja mencoba lepas tangan dengan menyatakan bahwa anak-anak kita tidak ikut dalam tindakan tawuran yang memakan korban jiwa. Namun karena kita adalah entitas yang menjadi bagian dari masyarakat, maka peran kita sekecil apa pun akan sangat bermakna. Bayangkan jika masing-masing kita punya kesadaran dan kesudian untuk melakukan hal-hal kecil dalam komunitas terkecil kita, niscaya dampaknya akan sangat masif dan efektif.

Saya tak hendak menyebutkan berbagai peristiwa tawuran atau bentrok warga/antarkelompok yang baru-baru ini menghiasi media massa kita. Sebelum mengetahui cara-cara mencegah dan menanggulangi tawuran, terlebih dahulu izinkanlah saya mencoba mengenali penyebab tawuran atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak sekolah kita.

Saya pikir fenomena buruk yang sangat kontraproduktif tersebut disebabkan oleh ke-KERING-an. Ya, karena anak-anak berada dalam kondisi KERING. KERING adalah rumusan penyebab tawuran atau bullying pada siswa yang saya dapatkan setelah bersemadi di Gunung Pangrango, lalu pindah ke Gunung Salak Pondoh :D. Jika diuraikan, KERING merupakan singkatan dari:


Hilangnya atau menurunnya kasih sayang dan kepedulian orang tua serta masyarakat bisa memicu anak untuk berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki oleh norma-norma sosial, hukum dan agama. Dalam lingkungan kita tak jarang kita jumpai adanya sebagian orang tua yang merasa cukup bertanggung jawab karena telah mencukupi kebutuhan fisik anak (pakaian, makanan, liburan, mainan, dll) sementara kebutuhan anak secara non-fisik (perhatian, belaian, curhat, dll.) tak sekali pun dipenuhi. Kasih sayang sekadar diterjemahkan dengan penyediaan uang, dan kepedulian hanya diwujudkan dengan mengirim anak ke sekolah terbaik tanpa ingin tahu bagaimana perkembangan anak di sekolah itu.

Maka saya menyayangkan adanya pandangan sebagian orang untuk mengirim anak ke pesantren guna mengubah perilaku buruk anak. Seolah pesantren menjadi panasea (obat mujarab) yang pasti menyembuhkan penyakit anak. Kenyataannya tidak selalu hal positif yang didapatkan. Saya sendiri mempunyai teman yang walaupun mondok di pesantren, namun dia malah terlibat narkoba. Nauzubillah. Kasus yang menimpa teman saya tersebut tidak membuktikan bahwa pesantren tidak efektif. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa mengirim anak ke pesantren saja tidak cukup. Dibutuhkan kepedulian berkelanjutan dari orang tua untuk terus memantau perkembangan anak selama belajar di pesantren.

Intinya, orang tua tidak cukup mengirimi uang dan pakaian yang bagus saat anak berada di pesantren, lalu menyerahkan tanggung jawab pendidikan sepenuhnya kepada pihak pesantren. Tidak! Orang tua harus tetap berkoordinasi dan berkomunikasi intensif dengan pengasuh dan pengurus pesantren mengenai perkembangan si anak. Jangan percaya begitu saja kepada jawaban anak ketika ia pulang ke rumah saat liburan dan mengatakan bahwa semuanya berjalan baik-baik saja. Peran orang tua masih sangat dibutuhkan untuk melengkapi pendidikan di pesantren sebab ada ruang dalam hati anak yang tidak mungkin diisi oleh guru-guru atau pengelola/pengasuh pesantren.


Anak-anak sekolah menengah berada pada usia yang produktif. Artinya apa saja yang ditanamkan secara kuat ke dalam jiwa mereka akan kokoh terpelihara. Sikap apa pun yang diembuskan kepada mereka secara konsisten akan membentuk perilaku yang awet. Mereka masih memiliki energi yang besar. Bila energi yang dahsyat itu tidak diberdayakan dengan aktivitas-aktivitas positif, maka energi tersebut hanya akan terakumulasi dan menggerakkan emosi yang siap meledak kapan saja. Tergantung siapa yang menggerakkan dan menyulutnya.

Haruskah berkelahi? (sumber: ennyhansenauthor.wordpress.com)

Belakangan ini saya mendapat cerita dari seorang sahabat. Di tempat tinggalnya di Jakarta ada 2 anak yang telah menjadi korban akibat saling meledek saat membangunkan sahur Ramadan silam. Dua kelompok yang bertikai masih dalam satu kelurahan, namun berbeda gang. Saat ada anak yang pulang sendirian, disabetlah perutnya sampai dua orang meninggal. Saya kadang tak habis pikir mengapa mereka begitu mudah terbakar emosi untuk melukai teman mereka sendiri. Miris bukan?


Sebagaimana disebut di atas, usia anak-anak sekolah menengah adalah masa di mana mereka dilingkupi oleh berbagai pengaruh dengan berbagai kepentingan. Mereka rentan ditarik atau digerakkan oleh kekuatan yang beragam. Banyak orang bilang bahwa usia sekolah menengah adalah masa sekolah terbaik yang akan terkenang-kenang. Sebab di sinilah proses peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa (mahasiswa). Selain rentan, diri anak-anak seusia mereka juga kebanyakan rapuh—apalagi yang tidak mendapat bekal fondasi iman, nilai dan akhlak dari keluarga.


Tidak salah lagi, anak-anak seusia mereka umumnya terdorong untuk mencari jati diri. Mereka tertantang untuk mencoba hal-hal baru dan kalau perlu ‘membahayakan’. Pada masa ini mereka akan melakukan proses pengenalan diri dengan cara mengidentifikasi dengan tokoh-tokoh atau orang terkenal yang mereka kagumi atau yang sedang tren. Demam musik dan drama Korea, misalnya, kini telah menyihir anak-anak kita sehingga mereka mengidentifikasi sebagai anak band yang keren. Lalu mereka pun tergoda untuk melakukan imitasi atau mencontoh idola yang mereka banggakan. Bayangkan bila yang mereka lihat adalah tokoh jahat di film. Maka jangan salah bila mereka ‘doyan’ tawuran setelah mereka melihat adegan-adegan kekerasan yang terus dihadirkan di depan mereka (lingkungan dan media).


Manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan. Ini sudah disebut dalam kitab suci Al-Quran. Dua kutub kekuatan itu secara alami memang berseberangan dan terus berperang saling melawan. Manusia bisa berkembang menjadi penyantun dan pemakmur semesta bila naluri kebaikan lebih disuburkan. Sebaliknya, kalau insting keburukan disirami dengan berbagai rangsangan, maka seseorang akan berubah menjadi monster—menjadi sesat bahkan lebih hina daripada binatang. Anak-anak sekolah menengah kerap dihadapkan pada pilihan untuk membela naluri keburukan atau memenangkan nalar yang logis. Anak-anak yang memperhitungkan setiap tindakan mereka (misalnya dengan tidak ikut tawuran) patut diduga adalah anak-anak yang mengedepankan akal atau nalar. Buat apa sih tawuran? Apa manfaatnya? Padahal kerugian sudah jelas.


Yang paling berbahaya adalah bila perilaku kekerasan atau tawuran telah ditahbiskan sebagai kegiatan yang menaikkan gengsi atau bahkan lebih parah lagi, dianggap sebagai gaya hidup. Wah, alangkah celaka bila sudah begini! Lagi-lagi, dengan nalar masuk akal dan perisai nilai dari keluarga, mereka akan mampu menangkal kecenderungan menganggap tawuran sebagai hal yang menunjukkan gaya atau menaikkan gengsi. Saya teringat cerita seorang anak sekolah yang menolak ikut tawuran. Ia dianggap cemen, tidak solider, banci dan sebutan-sebutan lain yang merendahkan. Silakan baca pengalaman putra Bunda Niken yang diceritakan di sini.


Menurut saya tawuran atau tindak kekerasan oleh siswa menengah harus ditanggulangi secara menyeluruh dan melibatkan sejumlah pihak—tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah yang terlibat konflik. Ada enam pihak atau elemen yang menurut saya harus dilibatkan dalam mencegah dan menanggulangi tawuran antarsiswa, dan bisa pula untuk mengatasi kasus kekerasan yang lebih luas.

KELUARGA, Saya kira semua orang akan sepakat bahwa keluarga—dalam hal ini orang tua—adalah pihak yang sangat menentukan karakter anak. Adalah orang tua yang pertama kali mengenalkan anak mengenai warna dan bentuk dunia. Orang tua pulalah yang memilih warna apa untuk yang diguratkan sebagai fondasi perilaku anak. Bahkan secara spesifik disebutkan bahwa ibu adalah sekolah pertama bagi anak. Dengan demikian, keluarga adalah elemen pertama yang super penting.

ORGANISASI, Organisasi di sini mencakup semua bentuk perkumpulan atau perserikatan yang ada dalam masyarakat. Semua perhimpunan yang berbadan hukum masuk dalam kategori ini. Mulai dari sekolah, perusahaan, ormas-ormas, yayasan-yayasan, dan lain sebagainya. Organisasi yang juga sangat vital perannya di sini adalah pemerintah sebagai penentu kebijakan. Mereka harus turut serta memantau pola kekerasan dalam masyarakat karena kekerasan tidak melulu terjadi di sekolah.

MEDIA, Sudah bukan rahasia lagi bahwa media massa (terutama televisi) memiliki peran yang sangat kuat dalam menebarkan pengaruh baik atau buruk kepada pemirsanya. Televisi mampu menghadirkan suatu peristiwa atau kejadian secara lebih nyata dan membekas dengan tampilan visual yang memikat. Bila adegan-adegan tak layak kerap ditayangkan, maka besar kemungkinan tayangan itu akan terus diputar dalam memori anak. Lebih berbahaya lagi bila mereka meniru dan menularkannya kepada rekan dalam efek resonansi yang tidak terkendali.

PERTEMANAN, Tekanan oleh sesama teman dalam pergaulan anak-anak sekolah menengah adalah sebuah keniscayaan. Memang ada dan menyerang setiap anak. Anak yang tidak memiliki filter yang bagus mungkin akan terjerumus untuk menuruti perilaku buruk temannya atas nama persahabatan, solidaritas, gengsi dan lain-lain. Saya pernah mendengar seorang ibu yang mengeluhkan betapa anaknya yang masih SMP sulit sekali dinasihati. Anaknya justru lebih mendengar ucapan temannya ketimbang wejangan sang ibu. Maka lingkaran pertemanan harus pula digarap untuk memutus mata rantai kekerasan dalam dunia pendidikan.

AHLI, Untuk lebih memahami masalah kekerasan dalam diri anak-anak sekolah menengah, pihak ahli wajib ‘ain dilibatkan. Sebab mereka akan mampu memberikan analisis, faktor internal dan eksternal, serta membantu menyusun rekomendasi atau usulan kreatif mengenai langkah-langkah efektif yang harus ditempuh. Keterlibatan pihak ahli akan membuat setiap rencana lebih fokus dan terarah sehingga memperbesar kemungkinan tercapainya agenda program.

KOMUNITAS, elemen terakhir yang mesti terlibat dalam mendukung upaya penanggulangan tawuran adalah komunitas. Setiap komunitas yang ada harus diberdayakan untuk melakukan langkah-langkah positif demi menebarkan semangat produktivitas dan kreativitas. Yang saya maksud dengan komunitas di sini adalah perkumpulan-perkumpulan non-formal yang menawarkan serangkaian kegiatan konstruktif yang bisa mengisi waktu luang anak. Misalnya, klub sains, fotografi, rohis, grup musik atau kesenian, olahraga (sepak bola, pencak silat, wushu, renang, dll.), kelompok pengajian, komunitas blogger, klub memasak, dan grup hobi lainnya. Komunitas orang dewasa (arisan, misalnya) juga harus dilibatkan secara aktif dalam penanggulangan berbagai bentuk kekerasan oleh siswa.

Bila keenam elemen tersebut bisa bersinergi dalam kerja sama yang KOMPAK, maka tindak kekerasan atau tawuran mungkin bisa dihindarkan atau paling tidak ditekan seminimal mungkin.


Mungkin ada satu atau dua pembaca postingan ini yang tergoda untuk berkomentar, “Trus gua mesti koprol sambil bilang wow gitu?”

Saya akan jawab, “Kenapa tidak?” Keenam pihak yang saya sebut di atas perlu melakukan KOPROLdan WOW sebagai rencana aksi yang lebih spesifik.

K untuk KOMUNIKASI – KOORDINASI. Semua pihak harus menjalin komunikasi yang intensif untuk memantau situasi, lingkungan, dan apa saja yang berkaitan dengan jenis tawuran apa pun.

O untuk OTONOMI. Anak-anak harus diberikan kepercayaan untuk memilih atau menentukan apa yang sesuai dengan minat mereka asalkan pilihan itu positif. Orang tua atau guru hendaknya jangan terlalu mengomando dalam segala hal sehingga anak merasa terpaksa dan akhirnya berontak. Berikan otonomi namun dibarengi dengan tanggung jawab yang konsekuen. Bila perlu, buatlah perjanjian terlebih dahulu sebelum anak mengambil pilihan tertentu. Praktikkan reward and punishment.

P untuk PROTOKOL. Beberapa hari setelah insiden tawuran yang menewaskan beberapa siswa sekolah menengah, ada seorang kepala sekolah yang mengaku bingung untuk mengambil tindakan apa terhadap anak-anak yang terlibat tawuran. Mungkinkah Kemendikbud tidak pernah menggelar seminar atau lokakarya mengenai prosedur standar penanggulangan tawuran antarpelajar? Sangat aneh bagi saya mengingat tawuran adalah problem ‘umum’ yang dialami sekolah menengah di berbagai negara. Maka keenam elemen di atas harus bekerja sama untuk merumuskan sebuah protokol yang bisa digunakan oleh semua pihak ketika melihat tawuran atau tindak kekerasan. Haruskah langsung melapor polisi atau kepada dinas terkait?

Saya sendiri pernah terjebak dalam tawuran antarpelajar saat tengah mengendarai motor bersama istri dan 2 anak saya. Kami didera was-was luar biasa mengingat jalanan itu tidak terlalu ramai. Kami bingung bereaksi selain berdiam dan menjauh demi keselamatan. Kami bahkan hanya 5 Meter dari Lesatan Gir! Coba bayangkan.

R untuk REVITALISASI. Semua pihak harus melakukan penguatan nilai-nilai, terutama nilai luhur dalam keluarga masing-masing. Bahasa menterengnya, kita mesti melakukan revitalisasi terhadap ajaran-ajaran mulia yang bisa lebih dikembangkan ke dalam praktik bagi anak-anak. Anak-anak harus dipertajam kualitas akhlak dan kepribadiannya.

O untuk OPTIMISME. Semua pekerjaan, sekeras apa pun, hanya akan berhenti sebagai kegiatan fisik semata tanpa hasil maksimal bila tak disuntik dengan asupan optimisme berdosis tinggi. Kita harus optimis bahwa masalah kekerasan pasti bisa kita kikis dan hilangkan dengan ke-KOMPAK-an dan koordinasi berkesinambungan.

L untuk LANGKAH. Berbagai upaya, usulan, rekomendasi, aturan dan prinsip tak akan berdaya bila sebatas diucapkan dan disosialisasikan. Semua pihak yang terkait harus berani dan ‘tega’ untuk mengambil langkah/tindakan tegas bilamana ada perilaku negatif anak yang berpotensi menghancurkan nilai-nilai di masyarakat. Bila anak melanggar, aturan harus ditegakkan secara adil dan proporsional sesuai dengan kepribadian mereka.

Bergandengan tangan untuk membangun selalu lebih indah daripada berkelahi yang sangat merugikan (sumber: in8networking.biz)

3 SIKAP WOW!

Selain langkah-langkah KOPROL di atas, keenam elemen terkait harus punya kesudian dan kesanggupan untuk bisa selalu menunjukkan dan menumbuhkan sifat WELAS ASIH (W) kepada anak-anak dan kepada semua orang. Jangan cepat menghakimi perilaku anak dengan sinisme dan sentimen negatif. Sebaliknya, cobalah untuk mendengarkan mereka dengan penuh kasih sayang. Selain itu, pihak-pihak terkait perlu memosisikan diri mereka laksana OBOR (O) penerang bagi anak dengan memberikan contoh atau teladan nyata tentang nilai-nilai positif.

Jangan sekadar menuntut dan menyalahkan anak sementara kita sendiri mengacuhkan perilaku kita. Itu adalah tindakan yang menyesatkan dan pembodohan luar biasa. Akirnya, dibutuhkan sifat WASKITA (W) atau kewaspadaan untuk bisa membaca setiap gejala dalam perilaku anak yang berpotensi tumbuh menjadi bentuk kekerasan yang lebih besar dan luas. Bila kita sudah mempunyai protokol yang jelas, maka kita akan jauh lebih mudah menentukan tindakan manakala ada insiden tawuran di depan kita–entah tawuran antarwarga, antarsiswa atau antarkelompok tertentu.

Yang jelas, bertanding memasak jauh lebih menyenangkan, karena sehabis masak–siapa pun pemenangnya–kita tetap bisa bergembira sambil menyantap hasil masakan. Semoga negara kita damai dan sentosa selalu.

Cukuplah kecerewetan saya kali ini. Ini cara mencegah dan menanggulangi tawuran versi saya, apa usul Anda? 😀

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bersatu: Cara Mencegah Dan Menanggulangi Tawuran.

29 Comments

  1. we mantabs artikelnya wah aku harus belajar lagi nulis artikel sepanjang ini yang punya beberapa makan dan terakhir terus aku harus bilang wow gituh

    Like

    1. panjang tulisan tidak berarti isinya bagus lo Mas..justru ini trik biar jurinya lelah dulu trus dimenangin hehe..Kalo dulu jawab soal trus dibanyakin kalimatnya kan dapet nilai bagus pas sekolah hehe. Padahal tar jurinya malah mabok trus mencoret entri saya xixixi

      Like

    1. Sama-sama , Pakdhe. Semoga kontesnya sukses dan banyak menghasilkan usul yang bermanfaat untuk kita semua…salam dingin dari Bogor 😀

      Like

    1. Komen singkat bukan karena nesu atau pundung gara-gara saya belon setor postingan buat GA Bunda kan? Wkwkwkwkwkw…Tapi tetap aja komentarnya panjang di Kisah Bogor – Jepang itu 🙂 Terima kasih Bunda, jadi ga udang asam manisnya?

      Like

  2. ya ya ya,,,akhirnya saya akan mengatakan yg sebenarnya, bahwa tulisan ini telah membuat saya KOPROL sambil bilang WOW sekeras2nya

    Like

    1. Koprol boleh aja Mi, tapi koprolnya di rumah atau lapangan sekolah aja–jangan dilakukan di depan meja CS bank ya..kasihan satpamnya ngurusin orantg semaput xixixix…:) Peace, Jambi aman Mi?

      Like

    1. Sudah mencoba untuk pendek, tapi di tengah jalan malah muncul ide lain. Semoga Zero to Hero ga ngiri ya. Saya sudah siapkan postingannya kok Cak. Btw, koprolnya jangan dekat-dekat Devon ya, tar bisa kesetrum atau kena solder hehe…

      Like

  3. tulisan yang luar biasa Pak, saya banyak menyerap makna dan pemahaman agar kelak bisa berperan serta dalam menciptakan kondsi lingkungan yang aman dan nyaman.
    salam kenal Pak

    Like

    1. Sekadar usul pribadi, Mas. Siapa tahu ada yang bisa mengelaborasi lebih lanjut. Kita sema memang harus terlibat dalam perkara serius ini dengan cara melakukan hal-hal apa pun sesuai kemampuan dan peran kita saat ini. Kalau semua orang bisa memfungsikan perannya dengan baik, saya pikir masalah sosial apa pun dalam masyarakat pasti bisa diredam atau ditumpas secara perlahan…Salam kenal juga. Tunggu kunjungan balik saya. Terima kasih sudah berkunjung 🙂

      Like

  4. Alhamdulillah, sebuah penjabaran yang komperhensip mencakup semua aspek yang berkaitan dengan upaya-upaya mencegah tawuran.
    Saya yakin hampir kebanyakan orang tua nggak ingin anaknya terjerembab dalam pergaulan yang tidak benar apalagi bersinggungan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kenakalan remaja dan tawuran. Untuk itu, orang tua secara maksimal melakukan upaya mendidik dan menghantarkan anak dengan segenap perjuangan menuju yang diharapkan yaitu anak yang baik, shalih dan memberikan kemanfaatan.
    Hanya saja, yang menjadikan kita sedih, beberapa media memberikan hantaman atas apa yang telah kita bangun dengan derai air mata dan keringat. Tayangan-tayangan tidak mendidik serta berbagai contoh kekerasan secara nggak langsung memberikan pemahaman baru pada anak. Seharusnya media berperan ikut membimbing dalam hal kebaikan, bukan justru sebaliknya menghancurkan anak bangsa hanya demi keuntungan material.
    Semoga sukses ngontesnya Kang. Paling tidak kita ikut berperan serta memberikan pemikiran untuk Indonesia

    Like

    1. Betul Mas Djangan Pakies. Sayang sekali media kerap menampilkan secara vulgar adegan kekerasan yang sangat buruk dampaknya. Saya jadi ingat ucapan seorang teman yang jurnalis, bahwa media memang tidak berpihak pada mana pun–melainkan pada mana yang laku dijual…

      Like

    1. Terima kasih Mama PasCal-Alvin, saling dukung yuk buat pengendalian tawuran/kekerasan di negeri kita. Salam untuk duo manis! 🙂

      Like

    1. Iyakah? 🙂 Makasih atas kunjungannya ya Don..sukses s’lalu…Moga makin banyak yang urun usul buat masalah kita ini.

      Like

    1. Iya Mbakje, td malem coba-coba pasang header n ga punya gambar. Jadi coba pasang goresan penamu..Maaf ga bilang dulu. 🙂

      Iya, ide yang bagus. Coba aku sunting dulu–mungkin bisa kukirim ke Kompas. Mumpung isunya masih relevan. Trims Mbakje.

      Like

  5. Wow! Bagus sekali artikelnya. Untung ga baca ini dulu sebelum posting. Pasti mundur duluan atau terisnpirasi. hihi….
    Semoga sukses kontesnya.

    Like

    1. Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca usul saya, Mbak. Sukses juga untuk Anda Mbak, semoga makin banyak ide untuk mengatasi tawuran….:)

      Like

    1. Analisis ngawur gini kok mau jadi juara. Uda Vizon mana mau lirik biar dapet baju batik, hehe…Makasih Mbak Mechta 🙂

      Like

  6. keKERINGan itu harus disiram secara KOMPAK oleh segala pihak yang ada di sekitarnya agar bisa KOPROL sambi bilang WOW!! hahaha.. idenya keren sekali.. 😀

    Like

    1. Wah, lebih keren Uda Vizon yang bisa merangkai keempat singkatan itu dalam satu kalimat efektif haha..Apa kabar Yogya Da? Kopdar tempo hari seru sekali…Moga kapan2 bisa kopdar sama temen2 Yogya..Sambil makan di angkringan asyik kayaknya hehe :p

      Like

Tinggalkan jejak