Antara Aku, Blackberry, dan Georgina Campbell

73890Blackberry adalah buah kecil lembut berwarna hitam yang dihasilkan semak-semak berduri. Buah ini biasanya ditanam di kebun atau di daerah pedesaan. Buahnya tentu saja bisa dimakan. Saya tak tahu apakah di Indonesia bisa ditemukan buah jenis ini. Namun satu hal yang jelas: blackberry telah menjadi idiom ‘unik’ dalam kehidupan sehari-hari di tanah air. Tapi harap dicatat bahwa blackberry yang populer di Indonesia sama sekali tidak bisa dikonsumsi dan dijamin tidak ramah bagi perut Anda.

Karena blackberry jenis ini adalah sebuah merek ponsel, maka tentu saja tidak mengenyangkan, tapi konon bisa menaikkan gengsi. Benarkah? Ini boleh jadi perasaan atau kesimpulan saya pribadi. Sekitar satu atau dua tahun yang lalu saya sempat dilanda keinginan untuk memiliki ponsel Blackberry. Motivasi utamanya lugas: agar terlihat keren saat menulis status di Facebook—karena di bawah setiap status saya akan terukir tujuh titik tebal yang merupakan logo brand asal Kanada ini.

Dalam buaian keinginan itu, saya sendiri tengah memakai Moto Q9h yang ber-OS Windows Mobile. Perangkat ini sudah cukup mendukung saya menyalurkan hobi menyusun kata atau membaca e-book dalam bentuk PDF. Namun apa yang terjadi? Ponsel canggih ini hanya saya fungsikan layaknya ponsel biasa (feature phone) yakni untuk menelepon dan berkirim pesan pendek. Ya sesekali memang saya manfaatkan untuk mencatat letupan ide, mengakses email—dan facebook :). Namun tetap belum optimal. Sungguh melenceng dari niat saat membeli, yakni untuk melecut semangat menulis. Ini adalah sebentuk pengkhianatan terhadap tekad awal sebelum memilikinya.

promo1-devicesMaka menilik kecerobohan itu, saya pun mengurungkan niat untuk membeli Blackberry (BB) yang pasarnya kian tergerus oleh Android dan iOS. Alasannya sederhana: saya tak mau membuang-buang uang (emang punya?) untuk perangkat yang tidak betul-betul saya butuhkan. Walaupun pada saat yang sama sejumlah teman mendorong agar saya memiliki BB—baik teman semasa kuliah maupun mantan rekan kerja. “Asyik lo, banyak temen yang gabung di grup angkatan kita!” begitu ujar seorang teman bersemangat. Saya cuma menjawab dengan panjang, “Ooooo…”

Apakah ada yang salah dengan Blackberry? Tidak. Walaupun jika kita membaca setiap berita yang berkaitan dengan BB, Android, dan Apple, maka kita akan jumpai ketiga pendukung label tersebut akan saling menghujat dengan kalimat yang merendahkan satu sama lain. Kadang saya mengelus dada melihat aktivitas para pelempar hujatan itu. Toh mereka hanya sebagai pengguna–mengapakah harus terlibat adu ejek dengan kata-kata yang menyakitkan? Bukankah konsumen berhak memilih produk mana saja sesuai dengan selera dan kebutuhan mereka? Sejauh pilihan masing-masing orang tidak merugikan orang lain, ya kita tak berhak menghina atau melecehkan seseorang hanya karena dia menggunakan platform OS atau merek smartphone tertentu.

android-market-leader-smartphoneLain soal bila satu pihak mengintimidasi pihak lain agar beralih menggunakan BB, misalnya. Tidak masalah pakai BB asalkan tidak memaksa atau meledek teman yang tidak memiliki BB. Bagi pengguna ponsel ber-OS robot hijau atau iOS pun tidak dihalalkan menghina pengguna BB sebagai orang jadul, kuper atau ketinggalan zaman. Setiap orang memiliki alasan sendiri dalam memilih perangkat mobile yang mereka pakai. Dan orang lain tak punya hak untuk melancarkan serangan apa pun atas pilihan itu.

tekno.kompas.com
tekno.kompas.com
Sebutlah misalnya Georgina Campbell. Baru-baru ini ibu asal London ini meluncurkan bukunya berjudul The Kickdown Girls Yang menarik adalah bahwa buku setebal 200 halaman atau sebanyak 55.600 kata ini ia tulis dengan menggunakan program MemoPad pada Blackberry andalannya. Awalnya, ia bertaruh dengan sang anak untuk menulis cerita yang lebih bagus setelah mereka berdua menonton sebuah film di TV. Menurut Campbell, skenario film itu kurang bagus dan ia berjanji kepada anaknya bahwa ia bisa menghasilkan skrip yang lebih unggul. Lalu lahirlah buku ini dengan bantuan BB-nya. Ia terus menulis di saat ia luang, saat makan siang, dalam bus, dan di mana pun. Terlepas dari mutu buku ini, namun keuletan dan kecerdikannya memanfaatkan perangkat teknologi patut diacungi jempol.

Dari sini saya mencatat satu hal penting bahwa perangkat teknologi yang kita miliki hendaknya kita sesuaikan dengan kebutuhan kita. Tidak perlu mengadopsi gengsi dengan mengorbankan banyak uang, padahal kebutuhan kita cukup dipenuhi oleh perangkat yang lebih murah. Ada pula teman yang meamanfaatkan BB untuk hal-hal positif lainnya. Seorang guru saya yang kini tengah menempuh program doktor di Malang sangat terbatu oleh BB-nya untuk berkomunikasi dengan dosen pembimbingnya dalam hal revisi tulisan atau konsultasi kuliah. Teman lain menggunakan BB untuk berdagang dan sangat menguntungkan. Jadi tinggal manusianya yang harus bijak memanfaatkan setiap perangkat teknologi yang ada.

Yang sedikit menyebalkan adalah ketika berkirim pesan singkat kepada teman yang ber-BB lalu tidak segera dibalas karena mereka sibuk ber-BBM ria. Setelah ditelepon, barulah direspon. Haha..Saya pernah mengalaminya. Tapi ya biarlah. Namanya juga manusia.

Kembali pada diri saya: masih sering terbersit begini, “Coba kalau punya tablet atau ultrabook canggih, pastilah kegiatan menulis atau ngeblog semakin lancar dan asyik.” Uneg-uneg semacam ini tidak bertanggung jawab dan hanya sekadar alasan semata. Kuntowijoyo sang novelis dan sejarawan asal Yogyakarta terus menulis walaupun stroke menderanya dengan cara mengetik tulisan setiap hari sekian halaman dengan dua jari saja. Maka janji untuk menulis lebih kreatif dan produktif setelah memiliki perangkat teknologi canggih hanyalah kamuflase impian.

Maka menulislah, ayo menulis, berkarya dengan mendayagunakan apa saja yang kita miliki saat ini. Bersyukur tidak harus menunggu berlimpah harta. Menulis terus adalah wujud syukur dengan cara membagikan ilmu yang bermanfaat–walaupun sederhana.

24 Comments

  1. pernah dan Sering ditanya berapa pin nya..awalnya saya ngga ngeh ..heh ko tanya2 pin? dipikiran saya Pin atm atau apa gitu..eh ternyata BB…hehehe
    Soalnya dari jaman ada BB belum pernah punya, jd ngga ngeh..
    Pas dibilang saya mah ngga punya BB..pd ngenye hehehe.. orang Indo dan di Indo, BB kayanya satu barang “wajib” yaaahh..ngga keren kalau ngga punya BB….:)

    Like

    1. Sama, saya juga ga punya. Iya kayaknya memang begitu ya, sampe negara kita dibilang Blackberry Nation. hehe..Makasih atas kunjungan Anda 🙂

      Like

  2. Saya gk pernah punya BB dan gk tertarik utk punya BB tuh krn hape yg sy punya udh lebih dari cukup utk memenuhi kebutuhan saya meskipun harganya lebih murah dari BB 🙂

    Like

    1. Betul, Mbakje. Pada akhirnya, kata kuncinya adalah kebutuhan. Bila sudah cukup dan memadai dengan perangkat tertentu, ya sudah. Tak perlu terobsesi pada perangkat lain, akur?

      Like

  3. yg suka bikin sy sedih & kecewa krn sy tidak punya BB adlh suka ketinggalan info2 atau ketemuan2.. Termasuk ketika teman2 dekat sy ketemuan, ternyata mereka lupa kl cuma sy yg gak pk BB.. Mrk pikir dg ngobrol di BB group udah keinfoin semua

    Like

    1. Ga bener kalo sudah begitu sih. Semua orang harus menghormati teman lain yang tidak memiliki BB. Moga2 ada yang kasih gratisan ke Bunda Nai..hehe 😀

      Like

    1. Setuju banget Mbak. Saya sih lebih milih rendang jengkie karena gratisan xixixix…Fanni Fanni 🙂

      Like

    1. Belum sempat ya Mas? Kalo saya sih belum….hehehehe…–izinkan saya guling-guling dalam tawa– xixixi :p

      Like

  4. lahh saya pernah di cuekin salah satu grup krn ga punya BB..tp tak apa lah punya atau ga punya saya pikir ga ada manfaat jg. toh hape jadul ini jg udh byk jasanya. he he

    Like

    1. Iya Mi. Tapi jangan sakit hati lo, biarin aja. Tar juga tobat sendiri hehe…Maksudnya ya kita hormati pilihan masing-masing orang sejauh ga merugikan orang lain. Tapi kalau ada yang kasih gratisan, atuh mau banget saya Mi..Ga nolak hehe 😀

      Like

  5. Setuju Mba, karena sekarang ini banyak orang yang termakan oleh tekhnologi karena tidak mempersiapkan dirinya untuk menerima perkembangan tekhnologi. Jadi brang yang dipergunakan hanya sebagai senang-senang dan tidak dapat menunjang pekerjaan, atau pun berkembang kreatifitasnya dalam berinovasi.

    Sukses selalu
    Salam Wisata

    Like

    1. Walaupun tidak semua orang seperti itu, tapi saya setuju dengan pendapat Anda. Yang penting kita harus bijak memanfaatkan teknologi sesuai kebutuhan dan anggaran 🙂

      Like

    1. Betul Mbak Lidya. Kita bebas menentukan pilihan asalkan pilihan itu benar-benar bermanfaat bagi kita.

      Like

    1. Idealnya memang begitu Mas Emanuel. Cuma kadang pas kita dah punya gadget canggih eh malah keasyikan main game hehe…Terima kasih atas kunjungan Anda 😀

      Like

Tinggalkan jejak