Pandangan Pertama: Si Silver Penggoda dan Si Merah Penuh Jasa

2005 adalah tahun yang bersejarah. Karena awal tahun itulah kali pertama saya mendapat kesempatan menjadi juru bahasa. Seorang teman yang sedianya mengambil pekerjaan itu harus terbang ke Aceh untuk mendampingi relawan asing di sana setelah Aceh dihantam tsunami yang begitu dahsyat. Setelah perintah resmi saya terima dari kantor IWAPI Jakarta (saya bermukim di Semarang), saya pun segera mengajukan cuti mengajar dan menentukan guru pengganti selama saya absen. Saya relakan tidak bertemu anak-anak selama empat hari karena honor menjadi juru bahasa ini hampir tiga kali lipat bayaran saya mengajar di lembaga kursus tersebut. Bila sahabat belum akrab, IWAPI adalah kependekan dari Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia, yakni himpunan para wanita yang mengelola dan menjalankan bisnis dari skala kecil hingga menengah.

Izin cuti sudah di kantongi; semua barang telah rapi dikemas. Menurut rencana, saya akan menginap di Blora selama dua hari, dilanjutkan ke Kudus juga selama dua hari. Esok paginya, ditemani beberapa ibu dari IWAPI Jawa Tengah, saya langsung bertolak menuju Bandara Ahmad Yani guna menjemput konsultan asal Kanada yang akan saya dampingi selama empat hari ke depan. Perjalanan menuju bandara sangat lancar dan menyenangkan. Setiba di bandara pun kami tidak kesulitan mengenali sang konsultan. Hati deg-degan tak keruan menantikan pertemuan dengan konsultan asal negara tetangga AS itu. Apakah saya jatuh cintrong sama lelaki berperawakan tinggi itu? Eits, tentu saja bukan! Eike lekong tulen, Bo! 😀 Ini pengalaman pertama saya menjuru bahasa, jadi tentulah ada kecemasan dan was-was tersendiri saat menemaninya, terutama khawatir bila ada komunikasi yang tak sejalan. Alhamdulillah, semua berjalan sesuai rencana. Kami lalu bergegas meluncur ke Blora untuk menginap di sana malam itu.

Sesampai di Blora, John (nama si konsultan) dan saya segera check in di hotel yang ternyata telah dipesan oleh pihak IWAPI Jakarta. Menyenangkan sekali tinggal di hotel untuk kali pertama (haha, katrok!). Betapa tidak, saya tinggal menginap dan makan apa yang ada. Walaupun untuk urusan makan saya harus menentukan menu sendiri karena IWAPI telah membayar uang makan untuk saya setiap hari. Pada praktiknya, uang makan saya tetap utuh—sebab ibu-ibu anggota IWAPI Blora rupanya berhati emas: saya dan John selalu dijamu dengan aneka makanan khas Blora, mulai dari sate plus lontong lezat, aneka minuman dan sebagainya. Semuanya gratis! Lalu apakah saya punya kesan mendalam saat bertemu muka kali pertama dengan resepsionis hotel yang kebetulan cowok itu? Jiaaah, enggak la yauw… (Terus, terus, kapan dong ke inti cerita? Hush, sabar napa! 🙂

Hari pertama pelatihan pun dimulai. Pelatihan? Ya, kala itu saya mendampingi John dalam sebuah pelatihan berupa pemanfaatan internet dan program komputer untuk menunjang kegiatan bisnis anggota IWAPI daerah. Gara-gara kegiatan penjuruan bahasa ini, saya harus kursus kilat mengenai Microsoft Excel kepada Yasmin selama sehari. Untunglah gratis. (Dasarrr!! Haha) Lazimnya sebuah pelatihan komputer, tentulah kami memerlukan beberapa unit komputer. Untuk memfasilitasi kegiatan ini, IWAPI Blora telah menyewa sebuah warnet yang berada di lantai dua. Komputer yang ada lumayan bagus, namun koneksinya kelewat memble. Beberapa kali koneksinya putus dan saya harus menjelaskan sambil tersipu (halah) bahwa kami mengalami kendala teknis. Kebanyakan ngoceh sungguh bikin inyong jadi kencot.

Lalu mana neh pengalaman pandangan pertama yang menusuk kalbu? (Sabar, sabar!) Apakah saya kesengsem sama Mas operator warnet? Astaghfirullah. Ataukah malah dengan ibu-ibu peserta pelatihan? Tentu saja bukan. Walaupun ada yang masih single, dan bahkan ada seorang ibu (pengusaha tata rias) yang menawari anaknya yang masih TK, saya tetap berkonsentrasi penuh pada pekerjaan. Mengingat itu adalah pengalaman pertama menjuru bahasa. Kalau kacau, kan tak indah dalam catatan pemberi kerja. Betul tak? Eling-eling, jangan sampai makan beling… (Ga ada hubungan sama paragraf, haha).

(sulit.com.ph)
(sulit.com.ph)
Hati saya berdebam keras tatkala John mencabut senjata itu dari sarungnya. Begitu senjata itu tersembul sebagian, warna silvernya langsung memukau—memukul kesadaran saya sejadi-jadinya! Saat si silver direbahkan di atas meja, seolah ada pendar cahaya diiringi taburan bintang-bintang yang merekah dari si silver yang jelita itu. Saya tergoda. Saya seketika didera 5L: laper, laper, laper, laper, dan laper. Rasanya ingin sekali punya benda itu. Mata melotot tak berkedip dibuai balutan halus si silver yang menawan. Begitu ia dibuka, jreeengg!!! Mata langsung lapar ingin menyantapnya. Bila bukan dalam suasana pelatihan, inyong mungkin sudah menyambar si silver dan melarikan diri ke gunung, lalu belok ke pantai. Tentu saja berbekal es dawet ayu khas Bajarnegara! 😀

Itulah pandangan pertama yang meluluhkan hati saya. Bukan materialis atau berotak toko material, namun benda itu memang menyergap saya sekonyong-konyong (koder). Selama kuliah hingga saya bekerja sebagai pengajar, memiliki benda macam si silver mungkin hanya cocok diucapkan pada jin lampu ajaib saja. Laptop besutan Michael Dell dari Amrik itu memang menawan hati saya. Maka terbayanglah fantasi jadi penulis hebat, atau sekurang-kurangnya jadi guru yang lebih memikat dengan kehadiran benda ajaib seperti si silver. Sejak saat itu, entah mengapa merek DELL saya guratkan kuat-kuat dalam bilik memori. Kelak saat uang sudah cukup, saya akan membeli laptop sekeren punya John. Saat saya tanya mengapa ia memilih produk DELL, John beralasan bahwa harga laptop DELL cukup terjangkau (di Kanada) dan bahkan dikirim ke rumah setelah dipesan. Setelah mencoba laptopnya, saya jadi semakin mupeng alias muka gepeng.

Mengapa saya tak gunakan honor menjuru bahasa selama empat hari itu untuk membeli laptop? Ya enggak cukuplah! Waktu itu komputer jinjing masih menjadi barang yang sangat mewah (bukan mepet sawah lo ya 🙂 Jangankan laptop, komputer desktop yang tidak bisa dijinjing saja harganyaa masih wah, apalagi yang portable macam notebook. Sementara ASUS baru tahun 2007 memperkenalkan lini notebook mini yang populer disebut netbook. Walaupun namanya menyandang kata ‘mini’, harganya tidaklah mini. Harga satu unit eeePC cukup menguras uang dari dompet, celengan semar, dan saldo ATM. Mungkin bila gaji saya mengajar selama setahun dikumpulkan dan tidak diambil, saya baru bisa membawa pulang komputer jinjing hebat. Itu pun baru versi mini. Memangnya saya mau makan wallpaper?

Setahun setelah menikah, kami mendapat rezeki. Kira-kira akhir 2009 saat istri mengandung anak pertama, saya mendapat honor penerjemahan buku yang nilainya sangat besar. Maka sebelum bayaran itu menguap tanpa jejak, kami segera meluncur ke sebuah pameran di Jakarta. Seperti bisa Anda duga, Sobat semua, kami berdua langsung mencari lapak yang menjual produk DELL. Ternyata banyak juga toko yang menawarkan komputer jinjing yang bisnis awalnya dimulai dari garasi ini. Walaupun sempat wara-wiri ke beberapa lapak dengan beragam merek, kami akhirnya pulang dengan membawa mini inspiron berwarna merah hati yang menyiratkan kekuatan. Ya, betul, seperti namanya, kami hanya sanggup memboyong sebuah netbook berukuran 10 inchi. Kala itu harganya menyentuh hampir 4 juta rupiah. Dan netbook sangat laku bak kacang atom eh kacang goreng saat musim pertandingan sepak bola.

Meskipun pulang sempat putar-putar di JCC dan nyasar serta kemalaman di jalan, (bayangkan, istri sedang mengandung 5 bulan), kami akhirnya sampai di Bogor dengan gembira ria. Sungguh Sabtu yang melelahkan. Nyeri dan pegal di kaki akibat jalan rasanya terbayar saat memandang bodi mulus si merah. Rasa puas terus bertambah mengingat jasa-jasanya yang sangat berharga. Berkat bantuan dialah saya bisa mengerjakan banyak proyek. Atas jasa dia pula saya semakin nyaman berselancar di internet, walaupun kala itu belum terlalu asyik ngeblog. Kerja keras terbayar tuntas; penantian panjang terbayar lunas.

Walau si merah kini berkelana entah ke mana, namun cintaku masih ada untuknya. Buat John, di mana pun kau berada, ketahuilah bahwa aku pernah memiliki komputer jinjing yang sama kerennya dengan milikmu. (Jangan-jangan kamu udah punya tablet yang jauh lebih keren ya? —mupeng deh akyu sekarang.) Yang jelas, nilai suatu barang akan langgeng dan bermakna bukan dari jenis atau mereknya, melainkan pada cara kita memanfaatkannya dan cara kita mensyukuri keberadaannya. Dan DELL terbukti tangguh! (Semoga dilirik Michael DELL trus dikirim notebook gretongan, hahaha…)

Udah ah, cerita dah komplet neh. Postingan ini saya tulis khusus untuk meramaikan ultah pertama Si Biru. Semoga langkahnya terus berlanjut, menjalin makna dan menebat manfaat untuk banyak pembaca.
give-away-langkah-catatanku
 

Pandangan Pertama Special Untuk Langkah Catatanku

36 Comments

  1. Wakakakak….. kirain jatuh cinta sama salah satu ibu2 si Blora…secara sudah disuguh makanan macam-macam…
    Duuhh… mas jatuh cintanya pada si merah harus direlakan lepas dari genggaman yaa… Hiks….
    Coba kalau jatuh cinta sama jengkie yg ditulis… jamin ga akan bertepuk sebelah tangan deeh….
    Jengkie bakal setia menemani hari2 mu. Baik pagi, siang, malam…. wkwkwkwk…. Sedaap aromanya….

    Like

    1. Wah ibu-ibunya ga ada yang kosong, Mbak. Statusnya terisi semua hehe. Saya milih laptop aja yang ga ember haha 🙂 Secara prosesornya Intel Atom generasi awal, Mbak jadi ya dilepas terus diganti sama yang lebih kuenceng. Kebetulan pas ada yang butuh si merah juga. Awalnya sih terpikir untuk mengabadikan momen tatap muka awal sama si jengkie, tapi kok takut kalau ketagihan hehe. Sedaap aromanya Mbak, tapi kasian atuh tetangga kanan-kiri rumah wahahaha 😀

      Like

    1. Betul, Mas Muji. Blora yang kaya akan minyak, namun kesejahteraan rakyatnya memprihatinkan. Betul tidak? Saya menyimpulkan hal ini setelah melewati kota Blora di malam hari. Banyak hotel mewah, pub dan restoran yang keren. Namun kondisi Blora secara umum justru bertentangan dengan kemegahan ini ya Mas. Ini saya petik juga dari kumpulan puisi yang ditulis oleh penyair Blora yang bukunya sedang dicetak di tempat saya sekarang.

      Btw, waktunya cuma 2 hari Mas, jadi belum nonton Barongan. Padahal ini sangat khas dan populer ya di Blora. Terima kasih atas kunjungan Anda.

      Like

    1. Yang masih single bukan ibu-ibu loh, Mas. Dia kayaknya pengusaha atau calon pengusaha baru gitu. Ga semuanya ibu-ibu kook yang ikut dalam IWAPI. Banyak juga wanita muda yang ingin meniti karier dalam bisnis sendiri.

      Like

      1. Iya mas, kemaren baru selesai kirim GAnya Pak Dhe …
        Sampai sekarang masih terasa ngos2an ikut ngejar pelaku pembunuh Mudhoiso. (ikutan juga kan GAnya Pak Dhe?)

        Kalau saya kirim jusnya sekarang, bisa jadi nyampe’ Banjarnegara jusnya dicegat Idah, nah nyampe’ Bogor smpyn nanti kebagian sedotannya …

        Like

    1. Iya Kang, ikutan rame-rame hajatan sobat neh. Kumaha daramang? Salam untuk keluarga dan sehat selalu ya. 😀

      Like

    1. Dulu setelah si merah pergi, kami sempat menjajal macbook juga, Bunda. Lumayanlah. Cuma karena warnanya putih jadi agak gimana gitu, walaupun udah dilapisi pelindung antigores. Setelah itu balik ke DELL lagi hehe:) Kalo ngeliriknya sambil lempar voucher gratis buat ambil Iphone 5 masih ngibrit ga? Paling juga ngibrit buat ambil trus ditukerin deh, haha…

      Like

  2. Horeeeeeeeeeeeeeeeee, Om Belalang mau nikah dengan anak TK. 😆 #eh

    Kalau saat itu sudah kenal dengan Abinya Noofa, pasti mampir ke rumahnya ya, om. Kan ada di Blora. 😆
    Dengan Muka Gepeng, akhirnya kesampaian juga beli DELL ya, Om.
    Saati itu pastinya senang banget, terlebih ditemani istri yang sedang hamil. 🙂 Eh, kasian juga istrinya ya, Om. 😛

    Terimakasih sudah ikut meramaikan syukuran GA Langkah Catatanku, ICha.
    Salam Senyuum. .. ^_*

    Like

    1. Iya tuh. Pasti langusng mampir ke Abinya Noofa dan makan sepuasnya hehe. Kelelahan yang berujung kepuasan, Dah.
      Sama-sama, met ultah buat Langkah Catatanku, semoga terus berkibar! 🙂

      Like

  3. Lama ga maen di mari hehehe… emang warna silver selalu menarik hati hihi.. yah sy ndak jd ikut GA mbak idah *lg ga ada ide hiks

    Like

Tinggalkan jejak