Misteri Selembar Foto (3-Habis)

“Saya tak tahan melihat penderitaan ayah. Saya tak sanggup melihatnya.”

“Siapa ayah Anda?”

“Mudhoiso. Ayah saya Mudhoiso. Mudhoiso sang Buto Cakil.”

d’Conckon dan anak buahnya terhenyak. “Mudhoiso? Anda bilang dia ayah Anda?”

“Betul.” Jembar menjawab dengan mata berkaca-kaca.

“Bagaimana mungkin?” d’Conckon semakin diliputi kabut misteri.

“Saya anak tertua Mudhoiso.”

“Omong kosong! Mudhoiso hanya punya dua anak. Dan keduanya perempuan.”

“Betul. Saya anak Mudhoiso dari istrinya yang pertama. Dan Bapak-bapak semua pasti mengenal ibu saya.” Ucapan Jembar seolah menampar kesadaran semua penyidik.

“Dia inspektur yang Anda semua banggakan,” ujar Jembar sebelum para petugas bertanya lebih jauh.

“Tidak mungkin.” d’Conckon menarik kursi lalu duduk di dekat Jembar.

“Ini kisah lama. Tapi tetap segar dalam ingatan saya. Sebagai anak, saya butuh orangtua yang bertanggung jawab.”
Jembar berhenti bicara. Lalu melanjutkan ceritanya lagi. “Saya besar dalam asuhan nenek di sebuah kota nan jauh dari sini. Itu setelah ibu meninggalkanku demi berkarier dan menghapus duka akibat ditinggalkan Mudhoiso. Saat itu ibu masih belasan tahun. Setiap melihat saya, ia seperti melihat kepedihan tak berujung akibat ulah ayah saya.”

Semua petugas terdiam. Ruangan dirambati kesunyian. Atau mungkin keharuan.

“Puluhan tahun saya mengejar dan berusaha mempersatukan ayah dan ibu. Tapi rupanya tidak mudah. Mudhoiso mau mengakui saya sebagai anak, tapi tidak bagi inspektur. Dan mereka menolak untuk bersatu. Dan saya tak bisa menerima kenyataan itu.”

“Lalu Anda memutuskan mengakhiri hidup ayah Anda sendiri dengan cara keji seperti itu?”

“Tidak. Saya tak membunuh siapa pun. Saya tak suka kekerasan.”

“Lalu kenapa Anda menodong saya tempo hari?”

“Saya hanya ingin membela diri dan tak ingin ditangkap. Karena saya tak bersalah.”

“Apa alibi Anda?”

“Bukan saya pelakunya. Saya berani bersumpah.”

“Mengapa kami harus mempercayai perkataan Anda?”

“Karena keris asli itu milik ayah sendiri.”

“Maksud Anda keris itu bukan properti pementasan?”

“Benar. Ayah sendiri yang menggantinya. Bahkan racun itu pun ayah sendiri yang melumurkannyaa pada keris langka itu.”
“Apa maksud Anda menceritakan semua ini? Bagaimana kami bisa percaya bahwa Anda tidak mengarang cerita?” – d’Conckon semakin penasaran.

“Dua hari sebelum pementasan, saya bertemu ayah. Kami berbicara banyak. Dan ayah sempat menyebutkan rencana untuk mengakhiri kemelut keluarga kami. Tidak saya sangka akan berakhir begini.”

“Mengapa Anda tidak coba mencegahnya?”

“Segala cara sudah saya lakukan. Namun ayah rupanya menghendaki akhir yang lain.”

“Anda sudah coba mengomunikasikannya dengan ibu Anda?” tanya salah satu bawahan d’Conckon.

“Apalah arti diri saya bagi seorang inspektur polisi terkenal. Saya tak lebih dari seonggok cerita usang dari bilik masa lalu.”

“Itu sebabnya Anda mengirim orang untuk mencelakai inspektur?”

“Dua orang itu saya kirim untuk mencari sesuatu. Sama sekali tak bermaksud melukai ibu saya. Walaupun saya masih menyimpan benci, tapi tak terbersit niat untuk mencederainya. Saya menyayangi ibu saya, Pak.”

“Apa yang hendak Anda cari?”

“Sebuah foto, Pak. Foto yang mengabadikan ayah dan ibu. Juga saya saat masih kecil. Konon mereka pernah berfoto sebelum akhirnya berpisah dan saling berjauhan. Jarak rupanya mengikis cinta mereka. Dan kini ayah sudah mengambil jarak yang demikian tak terjangkau.” Jembar taak sanggup menahan air matanya. Bulir-bulir hangat perlahan menetes, tapi cepat-cepat dihapusnya.

“Mengapa Anda tak minta baik-baik dari ibu Anda?”

“Bapak sudah tahu alasannya. Makanya saya terpaksa mengambilnya secara paksa.” Mata Jembar terasa panas seperti dileleri cairan timah. “Hanya foto itu yang menjadi kenangan manis keluarga kami, Pak. Hanya foto itu.”

***

Jembar menyusuri jalanan kota dengan berjalan kaki. Tak ada kendaraan atau orang yang lalu lalang. Sepi. Kabut tipis datang menyelimutinya, lalu perlahan-lahan luruh dalam senja. Ia terus menebar langkah bahkan saat hujan akhirnya turun menyegarkan semesta. Harum bau tanah yang diseka gerimis meruap. Seolah memantulkan kenangan masa kecil yang indah. Butiran hujan menembus dedaun dan dahan pohon-pohon. Lalu menetesi rambutnya yang berombak. Rupanya Tuhan menghiburnya dengan kesejukan alami yang datang tak terduga. Walaupun hatinya sengit diliputi rasa sakit, ia terus melangkah. Menapaki jalanan yang panjang dan luas. Mengukur masa silam dan masa depan yang sama-sama penuh misteri. Misterius seperti selembar foto yang akan terus ia cari.

Entahlah apakah ia akan kembali bergabung dengan Wayang Orang BlogCamp Budhoyo yang digawangi Pakdhe Bagyo, pakdhe angkatnya.

22 Comments

  1. Waaah……..saluut nih sama belalang cerewet, ceritanya bagus, pasti bisa sukses nih kalo bikin cerita ditektif. Ayoo….berkarya dan buat buku, sudah keliatan nih bakat menulis dan imaginasinya oke punya. Atau sudah punya buku solo tuh diem-diem.

    Like

    1. Makasih atas kunjungan dan motivasi Bunda. Akhirnya mampir ke sini juga ya 🙂 Saya terus belajar dan belum ada apa-apanya, Bunda. Makasih doa Bunda, semoga Bunda Yati juga berjaya di kontes Pakdhe. Ikutan ga sih? 😀

      Ayo kita terbitkan buku yuk, Bun!

      Like

  2. Sedang semangat baca…. mau komen kok inet sdg lemot…
    Gagal maning gagal maning…..

    Dirimu yaaa…. kalau ga buat tulisan panjang ga puas kaliii….
    ketara banget bawelnya….

    Apik mas Rudi… aku sampek ndlongop mbacanya…. hehehehe….

    Like

    1. Nulis apa aja dibilang apik. Yang lebih apik tuh janjian di Istana trus makan siang bareng ma rendang J 🙂 Iraha Mbak?

      Like

  3. Selamat pagi sahabat, Semoga kesehatan,kesejahteraan dan kebahagiaan senantiasa tercurahkan untuk anda sekeluarga. Semoga hari ini lebih baik dari kemarin. Amiiin

    Saya sampaikan kabar gembira bahwa anda termasuk salah satu pemenang dalam Giveaway Misteri di Balik Layar.
    Silahkan menyimak pengumumannya di BlogCamp.
    Selamat dan sukses selalu.

    Salam hangat dari Surabaya

    Like

  4. (berkunjung lagi)

    Tulisan ini memang layak mendapatkan apresiasi khusus dari pembaca dan Pakde selaku penyelenggara kontes pancen, Mas.

    Ohya, Mas, hadiah buku telah saya kirim tadi pagi via Pos Indonesia. Bila sudah sampe, kabar2 ya… agar tak khawatir hati ini. Makasih….

    Like

    1. Terima kasih, Mas. Saya tak sabar menunggu neh. Judulnya mbikin saya geregetan. Siap saya posting isinya di sini.

      Like

Tinggalkan jejak