Sensasi Menyantap Ramen Makarticho

Emak, aku sudah punya cucu
Jangan lagi kau marahi aku
Walau kau punya cucu
Kau tetap anakku

Emak, aku ini Purnawirawan Jenderal Bintang Satu
Jangan kau atur-atur aku
Aku panglima besarmu
Masih punya hak mengaturmu

Emak, sudah 62 tahun lebih umurku
Jangan ikut campur urusanku
Aku lebih tua dari kamu
Urusanmu juga urusanku

Emak, aku sudah banyak ilmu
Jangan kau mengguruiku
Ilmumu tak setebal kulit ariku
Aku tetap guru hidupmu

Emak, mengapa kau lakukan itu
Apakah kau tak mempercayaiku
Karena engkau adalah anakku
Mutiara dalam hidupku

***

/I/

Kantong air mata saya tiba-tiba menggelegak serampung membaca puisi ini. Kekaguman yang membuncah saat menelusuri larik-larik puisi tersebut seketika pecah menjadi butir kerinduan sekaligus rasa bersalah. Memang air mata tak sampai berlelehan, namun gejolak hati jelas tak bisa saya tahan. Kerinduan untuk bertemu ibu segera menjalari tubuh saya. Namun pada saat yang sama bilur-bilur luka tampak begitu jelas pada orangtua tunggal saya itu. Ya, itulah keropeng yang saya guratkan. Sepeninggal ayah saya, rasanya belum ada kebahagiaan yang telah saya berikan atau bahkan cipratkan kepada ibu.

Sebaliknya, hanya rasa sakit dan kepiluan yang saya paketkan kepada wanita perkasa itu. Betapa sesekali ibu terkesan mengatur kehidupan keluarga saya yang berujung pada rasa jengah dan kesombongan saya. Dengan ilmu dan pengalaman saya (yang sebenarnya sangat terbatas), saya seolah tak butuh lagi nasihat atau usulannya. Semua yang ia sampaikan hanya hadir sebagai intervensi yang menyakitkan. Puisi pendek di atas sedikit banyak telah mewakili potret kehidupan saya, walaupun usia saya terpaut jauh dari penyair.

Dilanda rasa iri
Perasaan lain yang menghinggapi diri saya adalah rasa iri. Bukan iri kepada ibu, melainkan cemburu atas kepiawaian peracik setiap hidangan dalam Ramen Makarticho ini. Begitu menggodanya menu yang tersaji, saya langsung melahap hampir separuh Ramen Makarticho di hari pertama. Kenikmatan yang sama berlanjut di hari kedua dan ditutup dengan gong kepuasan pada hari keempat. Saya sengaja menikmati ramen ini sedikit demi sedikit agar kelezatan betul-betul tersesap dengan mantap ke sumsum tulang dan pori-pori. Sengaja saya lumat ramen itu secara gradual demi mempertahankan gizinya agar terdistribusi dengan merata ke seluruh organ dan persendian.

Anda mungkin tergerak untuk bertanya: apakah ramen itu tidak basi dibiarkan selama empat hari? Atau apakah saya memang gemar mengonsumsi makanan basi sehingga pasti menikmati ramen dalam keadaan apa pun? Apakah Ramen Makarticho adalah makanan jenis baru yang memadukan mi ala Jepang dengan kuliner khas Meksiko? Seberapa nikmat ramen yang saya kisahkan di sini sampai-sampai tak tega menghabiskannya dalam sekali santap? Jangan-jangan saya terlalu lebay dan sebenarnya memiliki selera cuisine yang rendah.

Ini jawaban saya: ramen ini dijamin akan tetap awet walaupun kita tak menyimpannya dalam alat pendingin. Jangankan empat hari, sebulan, setahun, bahkan dua puluh tahun pun ramen ini tak akan ditumbuhi jamur atau mikroba pembusuk lain. Maka terjawablah pertanyaan kedua bahwa saya bukan penikmat makanan basi—selezat apa pun makanan itu. Ini ramen bukan sembarang ramen. Ramen yang saya santap dengan lahap ini murni diracik dan dimasak oleh putra nusantara asli. Sajian kuliner ini sama sekali tak melibatkan sentuhan tangan orang negeri samurai. Tak juga dilimpahi rempah-rempah dari negara Latin yang berbatasan dengan Amerika Serikat itu. Saya memang doyan makan, namun saya jelas tidak berlebihan saat sengaja menyisihkan ramen untuk saya nikmati selama beberapa hari. Kenikmatannya menggigit, gurihnya tahan lama, dan sensasinya berkelindan dalam tekstur yang ciamik. Apakah selera kuliner saya memang rendah? Mari kita buktikan.

/II/

Ramen Makarticho bukanlah sajian kuliner berupa mi ala Jepang dan dipadu dengan bumbu istimewa dari Meksiko. Bahkan Ramen Makarticho bukanlah makanan yang bisa dikonsumsi seperti kita menyantap nasi dan kawan-kawan. Bahan utama Ramen Makarticho adalah kata-kata. Kata-kata yang sudah dipilih dengan selektif kemudian dimasukkan ke dalam baskom kreativitas. Dengan tambahan tepung imajinasi, kata-kata pun menjadi liat sehingga cukup kuat untuk dibentuk menjadi deretan kalimat-kalimat renyah. Kalimat-kalimat kokoh itu kemudian dilumuri minyak nurani agar mudah dicetak ke dalam aneka tema yang variatif. Agar terasa dingin saat dilumat, gula bubuk hikmah perlu disusupkan ke dalam setiap cetakan. Sebelum dimasukkan ke dalam oven optimisme, kue-kue kecil itu harus diguling-gulingkan ke hamparan tepung panir rasa humor. Maka jadilah ramen lezat yang siap disantap.

Lho kok jauh dari tampilan mi? Sebagaimana saya singgung di awal, ramen ini memang bukan jenis mi khas negeri Sakura. Anda tentu bisa menebak dari deskripsi saya di paragraf sebelumnya. Ramen Makarticho adalah kependekan dari Rahasia Menjadi Manusia Kaya Arti. Ramen Makarticho adalah sebuah buku. Bagaimana dengan –cho di akhir kata kedua? Akhiran –cho merupakan nama penulis yang melahirkan buku tersebut. Nama lengkapnya Abdul Cholik—namun saya culik awalan kata kedua agar menimbulkan sensasi tersendiri saat disambung dengan Ramen Makarti.

Jangan tertipu wajah yang muram

SAM_1325Buku Rahasia Menjadi Manusia Kaya Arti (selanjutnya saya sebut RMMKA) hadir dalam ukuran 13×19 cm; terasa mantap di genggaman. Menurut saya ini ukuran yang ergonomis karena tidak terlalu besar dan tidak kelewat kecil. Saya bisa membacanya dengan nyaman dengan tangan kiri menahan lampiran sebelah kiri sementara tangan kanan bebas membolak-balik menuju halaman yang diinginkan. Bahkan tanpa tangan kanan, jempol tangan kiri bisa leluasa mencari halaman yang saya inginkan ke arah depan. Ini bila tangan kanan tengah sibuk mengerjakan hal lain. Misalnya sedang mengetik pesan pendek di ponsel atau menulis sesuatu di atas kertas.

Sampul depan RMMKA yang didominasi warna gelap menurut saya kurang berhasil menyampaikan semangat buku secara utuh. Warna mendekati cokelat dengan pilihan warna font yang kurang menyala terasa meredupkan pamor buku seandainya ia dipajang di antara deretan buku-buku lain di rak toko buku. Gambar seseorang berdasi dan mengenakan jas lengkap (lagi-lagi dengan warna gelap) tidak mampu membangun relevansi dengan isi buku yang berkobar-kobar. Apakah manusia yang kaya arti identik dengan orang berdasi (karyawan kantoran, bos, eksekutif, dll.)? Pada hemat saya, ini mengimplikasikan pembatasan—bahwa kaya arti melulu merujuk pada kelas tertentu.

Padahal kaya arti (sebagai tercermin dalam banyak tulisan di dalam buku) mengikis sekat kelas dan menembus batas-batas sosial. Bayangan saya: sampul akan jauh lebih hidup bila warna cerah mendominasi (hijau muda misalnya) dengan menampilkan sejumlah aktivitas orang dalam bubble melayang indah di angkasa. Atau bisa pula digunakan sebatang pohon rimbun yang diatur sedemikian rupa agar bisa menyiratkan optimisme dan vitalitas. Sebaliknya, sampul belakang justru hadir sangat cantik. Dua endorser membubuhkan testimoni dengan foto masing-masing yang cukup menarik. Warna font putih dan krem menambah kesan serasi dengan warna hitam background. Ini tentu saja pendapat saya pribadi. Dan penting diingat bahwa sampul suram ini jangan mengecoh Anda untuk tidak mencicipi isinya yang lezat.

/III/

RMMKA menghimpun 100 tulisan yang sebagian besar pernah diunggah di blog pribadi penulis. Meskipun 100 tulisan tersebut dibagi ke dalam lima kelompok besar, namun pembaca dapat menikmati tulisan mana saja tanpa mengikuti urutan penyajian dalam buku. Saat membuka buku ini, saya langsung melompat ke keping tiga (Jalan Pintas yang Tak Pantas) yang mengupas modus-modus penipuan zaman modern, mulai dari kelas teri hingga kelas kakap. Dari kerah putih sampai kerah lusuh, begitu bahasa yang digunakan Pakdhe (sebutan akrab dari sobat narablog). Ke-‘cerdas’-an Pakdhe memang mencolok saat menuturkan cerita demi cerita dengan narasi yang memukau. Istri saya yang juga telah membaca buku ini pun sepakat bahwa penulis memang berbakat menjadi pencerita ulung.

Selengekan tapi cerdas
Maka tak berlebihan bila salah satu endorser menyebut penulis sebagai orang yang cerdas, dalam pengertian seluas-luasnya. Anda bisa bayangkan bagaimana wajah penipu yang beberapa kali gagal menipu Pakdhe. Dialog-dialog Pakdhe mengalir lancar, sesekali deras, tapi tidak menghanyutkan (dalam pengertian yang negatif). Banyak informasi berharga bisa kita ambil dari kasus-kasus penipuan yang pernah menghampiri Pakdhe. Dan tentu saja kita bisa meniru (dan lebih penting lagi, harus belajar) cara menghadapi penipu yang intriknya kadang terlalu ‘telanjang’. Ketegangan dan kelucuan silih berganti saya rasakan. Silakan buktikan sendiri.

Setelah itu barulah saya beranjak untuk menyantap menu utama berjudul “Manusia Kaya Arti” yang menempati urutan nomor wahid dalam keping pertama (Integritas Pasti Pas). Ada elaborasi menarik tentang macam-macam orang berdasarkan arti (sumbangsih) dalam kehidupan sehari-hari. Saya lalu tersentak membaca “Menyerah Hanya bagi Jiwa yang Lemah” (hal. 6). Tulisan ini menyindir kebanyakan orang yang cepat layu karena mimpi tak kunjung terealisasi, saat keinginan tak juga berubah jadi kenyataan. Tulisan yang bernas tentang optimisme dan motivasi. Anda dijamin akan tergelitik dan akhirnya tersenyum getir karena kisahnya faktual dan sangat mungkin pernah kita alami.

Gaya khas Pakdhe yang kocak—atau ngetril menurut beliau— tidak menghalanginya untuk menghadirkan tulisan bertema berat. “Hujan Kesorean” (hal. 88) adalah contoh yang menarik. Seorang suami (tukang bakso) hendak pergi ke sebuah pertandingan sepak bola dengan bayangan akan memetik untung besar dari bakso dan es kelapa muda yang ia jual. Sang istri berusaha menahan karena tak ingin suaminya mati konyol dalam tawuran antarpenonton yang mungkin terjadi. Selepas Ashar hujan turun. Sang istri bertepuk gembira, sementara sang suami menekuk wajah. Sambil menunggu hujan, sang suami memutuskan tidur. Saat istrinya mencoba membangunkannya, ternyata abang tukang bakso tak bergerak; ia telah menghadap Tuhan untuk selamanya. Bagaimanakah cara kita untuk mengakali maut?

Judul-judul yang kuat
Kepiawaian Pakdhe yang saya acungi jempol adalah kemampuannya merancang judul yang unik, menggoda, kadang nakal, tapi tetap menjiwai isi tulisan. Berapa banyak narablog yang bisa menggagas judul yang menggugah dan memikat calon pembaca untuk membaca sampai tuntas? Saya kira tidak banyak. Dan Pakdhe adalah salah satunya. Dia jelas punya keterampilan yang baik. Walaupun mungkin ada peran editor, namun saya yakin Pakdhe mempunyai keunikan itu—melihat beberapa postingannya selama ini di blogcamp. “Di Ujung Kain Emak” (hal. 124) begitu menyentuh saat Pakdhe muda harus berangkat ke medan tugas dan harus meninggalkan Pulau Jawa untuk kali pertama. Di ujung kain Emak, hmm,k—sungguh sebuah judul yang eiylekhan (meminjam istilah Om trainer.) Walaupun ada satu tulisan (Antara Gula dan Rindu – hal. 297) yang menurut saya kurang tepat menggambarkan isi.

Jagoan saya tentu saja adalah satu-satunya puisi yang disertakan dalam buku ini. Saya telah salin larik-lariknya secara lengkap di awal tulisan ini. Bagi saya, ini puisi yang lugas, jujur, sederhana, tapi menukik ke relung kesadaran paling dalam. Maka kesan yang saya tulis di awal mengenai puisi ini memang benar adanya. Kadang terbersit dalam hati: kok bisa ya pensiunan jenderal menggubah puisi sejernih itu? Sementara saya kadang harus berjibaku dengan idiom-idiom rumit dan majas yang malah menyesatkan diri sendiri. Good job, Pakdhe! Saya memang harus terus belajar menulis puisi.

Tema-tema besar dalam hidup mewarnai seluruh tulisan dalam RMMKA. Kejujuran, rezeki, kesabaran, maut, tawakal, murah hati dan sebagainya bisa kita jumpai dalam buku ini. Simak tulisannya yang asyik ketika Pakdhe hampir mengalami kelumpuhan (Ramalan Tanda Tangan – hal. 131) dan mencoba beragam pengobatan sampai akhirnya sembuh total. Dia bahkan menjadi selebriti di tempat pengobatan tersebut. (Perlu diingat bahwa di kalangan sobat narablog Pakdhe juga dikenal sebagai seorang selebriti blog). Dalam “Kolam Renang untuk Emak” (hal. 139) kita akan dapatkan kisah unik saat Pakdhe membujuk ibunya untuk membuat kolam renang di kampungnya. Berbagai argumen disampaikan sehingga ibunya yang awalnya tak setuju dengan idenya lantas tersenyum puas dengan berkah kolam renang itu.

Pepaya dulu, anggur kemudian

Tulisan lain yang membuat saya tersenyum kecut adalah “Surat untuk Sandy” (hal. 157) ketika Pakdhe tak sanggup membeli anggur merah untuk salah seorang putrinya karena belum menerima gaji. Sebagai gantinya, Sandy bisa menyantap buah pepaya yang juag sehat. Ada saja alasan Pakdhe agar Sandy tetap bersemangat menikmati buah pepaya itu dan sejenak melupakan anggur nan ranum. Walaupun hati sang jenderal tentu sangat miris. Problema nurani yang pada zaman sekarang kian mengemuka tak luput dari pengamatan Pakdhe.

Dalam “Kodar” (hal. 191) dihadirkan tokoh bernama Kodar yang berhasil merampas dompet dan tas seorang wanita. Selain uang di dompet, Kodar juga menjumpai beberapa buah popok bayi yang pasti sangat berguna buat anaknya yang masih balita. Inilah problem manusia modern: susah cari kerja, akhirnya mencopet/mencuri. Sebab kalau tak mencuri, anak balitanya bisa kelaparan dan mungkin meninggal. Tentu saja keterbatasan tidak boleh membenarkan tindakan seseorang mencuri atau merampas hak orang lain. Apalagi bagi Kodar yang ternyata mencopet Budhe sang istri yang belum ia kenal. Tragis ataukah dilematis?

Usulan Pakdhe tentang nasi kotak (hal. 200) sebagai ganti prasmanan saya pikir perlu dibudayakan. Argumen-argumen yang ia sampaikan sangat masuk akal dan jauh lebih hemat walaupun harus dihadapkan pada kultur masyarakat yang masih menilai prasmanan sebagai model penyajian hidangan yang bergengsi. Saat membaca judulnya, saya pikir Tamu Asing (hal.244) adalah tamu dari mancanegara. Ternyata kesedihan orangtua adalah tatkala anak-anak berjauhan dari mereka. Orangtua akan sangat bersemangat ketika anak-anak berkumpul penuh suka cita. Namun tak jarang anak-anak yang pulang kampung justru melupakan tradisi atau kebiasaan dalam keluarganya. Mereka tak sudi lagi menyentuh masakan ibu yang dianggap kuno—padahal dulu sangat mereka gandrungi. Orangtua diliputi kepedihan ketika melihat anak-anak sibuk dengan urusannya sendiri. Padahal orangtua hanya ingin mendengar cerita kehidupan di kota dll., dan (sama sekali) tidak mengharap segepok rupiah.

Syukur bersyarat

Akhirnya, “Klilipen Memang Asoi” (hal. 269) menutup pembacaan buku RMMKA dengan kenikmatan penuh. Kata-kata berbahasa Jawa seperti abab dan kadal modar tak pelak saya tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan istri saya yang tidak paham bahasa Jawa pun tergelak mendengarnya. Namun bukan nuansa lokal ini yang membuat saya terhenyak. Kisah Dasrun yang kelilipan oleh pasir jalanan sehabis menyantap rawon di warung Yu Ngatemi menonjok saya sekuat-kuatnya. Ini pelajaran tentang rasa syukur yang gamblang. Setelah Dasrun terbebas dari kelilip, ia spontan mengucap hamdalah. Lalu Yu Ngatemi berseloroh, “Kang, Kang. Mau bilang alhamdulillah aja nunggu klilipen. Tadi kenyang abis makan rawon sampean enggak bilang alhamdulillah.” Dasrun hanya nyengir.

Pertanyaannya adalah: seberapa sering kita bersyukur atas rahmat dan karunia Tuhan yang tidak kita sadari? (seperti kenikmatan bernapas, makan, minum, punya keturunan, masih bisa melihat, dll.) Kita cenderung menganggapnya remeh sebelum semua nikmat itu dicabut. Saat sesak napas mendera, kita seolah tersiksa. Dan saat sesak itu hilang, kita pun bersyukur kepada Tuhan. Padahal kita merasakan berkah itu setiap hari dengan gratis dan otomatis tanpa sekalipun memandangnya sebagai karunia yang besar. Jangan-jangan kita memang cenderung menghitung apa yang tidak (belum) kita miliki sehingga berat untuk bersyukur. Kita baru bersyukur saat pemberian besar menghampiri. Kita baru memuji kebesaran Tuhan ketika kita terbebas dari kesulitan atas hal-hal yang remeh.

RMMKA memang buku yang sederhana. Namun dibutuhkan kesanggupan dan pemahaman yang tidak sederhana untuk memetik hikmah dan mengamalkannya sebagai bagian integral dalam diri kita—sekecil apa pun hal itu. Seperti pendapat salah seorang endorser: (kekuatan) buku ini tidak seringan cara bertuturnya. Nah!

25 Comments

    1. Iya Mas, puisinya sederhana tapi sangat menyentuh. Pembaca pasti bisa masuk ke puisi ini dengan pengalaman masing-masing. Apik, Dhe!

      Like

  1. Terima kasih banyak atas reviiew yang komplit.
    Saya sependapat tentang cover yang memang kurang sreg bagi saya.
    Pada awalnya saya katakan bahwa warna dominan adalah putih, tapi yang muncul putihnya justru tidak dominan.
    Yah mungkin pihak sana menganggap warna itu ada maksudnya ya kang.

    Sekali lagi hatur nuhun reviewnya yang menarik.
    Seorang sahabat seyogya memang jangan hanya memberi gula, rasaya manis tapi bisa menimbulkan sakit. Sahabat sejati tak akansegan-segan memberi pil kina, pahit rasanya tetapi menyehatkan.

    Harap akang ketahui, puisi Dialog Dengan Panglima Besar itu sering membuat saya mbrebes mili walau sudah beberapa kali saya baca.

    Salam hangat dari Surabaya

    Like

    1. Untuk ukuran sebuah proyek buku pertama yang dikerjakan dengan tempo yang cepat, saya pikir ini awal yang cukup bagus, Dhe. Sampul buku bukan segalanya–walaupun juga menjadi ujung tombak sebelum orang melirik. Semoga ulasan singkat (?) ini mendorong sobat narablog untuk membeli dan membaca buku itu senikmat saya membacanya tanpa peduli sampulnya yang sedikir redup. Toh itu bisa kita perbaiki pada saat cetak ulang nanti, Dhe.

      Maka saya ucapkan: selamat dan sukses, Dhe. Semoga mendapat apresiasi yang baik dari pembaca. Dan lebih penting lagi, semoga RMMKA akan diikuti oleh kelahiran buku-buku berikutnya. Tetap dengan gaya khas Pakdhe.

      Saya berharap juga agar kiranya ada penerbit mayor yang melirik judul buku ini, lalu memesan dan membaca isinya. Dan akhirnya berminat menerbitkan secara massal dan menyerbu toko-toko buku besar di seluruh Indonesia.

      Puisi yang saya kutip di atas memang berhasil menyampaikan maksudnya, Dhe. Sebab tidak semua puisi bisa disebut puisi. Dan dialog antara pengalaman pembaca dengan puisi pendek tersebut telah mengantarnya s ebagai puisi yang bernas. Selamat dan salam hangat untuk Ibu Pakdhe.

      Sehat selalu dan salam dinginn dari Bogor..Brrrrr!

      Like

  2. Belum menyantapnya… membaca tulisan ini sudah terbayang kelezatannya.
    Reviewnya mantap, betul2 bisa bicara tentang bagaimana kedahsyatan buku pakde.

    Like

    1. Begitulah yang saya rasakan, Mbak. Tidak ada yang dilebih-lebihkan atau dikurangkan. Saya sajikan kesan sehabis membaca buku ini apa adanya. Plus-minusnya begitu. Saya jamin ga nyesel kok beli dan baca buku ini. Jangan pinjem saya ya :p Satu piring jengkie cukuplah untuk memboyong buku ini ke rumah. Bener-bener bervitamin. Tadinya saya pikir buku ini biasa saja (melihat sampulnya), tapi ternyata luar biasa. Salam jengkie!

      Like

    1. Saya tak sabar menuntaskan segera, Mbak. Buku ini bisa jadi vitamin dan hiburan buat saya di sela-sela deadline pekerjaan yang ketat 🙂 Istri saya malah lebih ngebut bacanya. Tadi malam dah rampun.g Asyiknya lagi, buku ini tetap nikmat dibaca untuk kesekian kalinya. Biasanya kalau saya kangen dengan tema tertentu, saya akan langsung meluncur ke cerita yang bersangkutan. Mama Cal-Vin setuju kan sama pendapat saya? 😀

      Like

  3. terkecoh sayaaaaaaaaaaaa
    kirain teh beneran makanan
    soale penasarannya kok baru denger nama ramen makarticho
    eh jebule …. bukune pakde yoooo
    aku udah punya bukunya tapi blom mbaca, moga2 hari ini kelaaaaar hehehe

    dan ketika puisi tayang aku juga sukaaaa banget deh
    pakde emang TE O PE BE GE TE

    *semoga bisa bikin riviu juga ah secepatnya :D*

    Like

    1. Puisi markotop, salut! Isinya tak kalah ciamik, Nique. Ayo ayo rame2 diulas biar makin gayeng dan laris manis 🙂 Eh. aku baru tahu soal yang Sukabumi itu.

      Like

    1. Iya, Mama Olive. Aku belum pernah berjumpa Pakdhe. Namun membaca buku ini serasa berbincang akrab dan mengubek-ubek pikiran Pakdhe. Udah punya bukunya belom? Kan tempo hari dari Surabaya…:)

      Like

        1. Udah beres, tapi kondisinya memprihatinkan, Teh. Direbutin ma Rumi, istri dan saya, hehe…Sampulnya jadi lusuh dan ada yg kelipet walaupun masih tetep oke 🙂

          Like

  4. Salut, Mas, sama singkatannya: Ramen Makarticho, hehe…. 🙂 Mantap!
    Iya, Mas, saat menyunting, saya juga mak tratap begitu kala membaca puisi Pakde tersebut. Rasanya dalam hati ini juga ingin mbrebes mili.
    Hmmm…, sebuah review buku yang aku angkat jempol dua tangan tinggi-tinggi, Mas.

    Like

    1. Wong cuma curhatan gini Mas, tapi terima kasih atas apresiasi Anda. Tentu RMMKA bisa tampil ciamik dan nyaman dibaca juga berkat peran Anda sebagai editor. 🙂

      Like

  5. setuju ttg cover bukunya, kesannya kayak pejabat2 kampanye gitu.. terkesan seperti sebuah buku yg serius dan kaku.. Seandainya sy gak tau sosoknya pakdhe kayaknya sy gak akan beli buku ini. Krn sosoknya pakdhe itu dr tulisan2nya kan ngetril (minjem istilah pakdhe) tp kaya arti.. Disitu kekuatannya menurut saya.. Semoga kalo di cetak ulang covernya bs di ganti 🙂

    Like

  6. Puisinya mengingatkan kasih sayang kedua orangtuaku yang sudah meninggalkan kami, bagi yang orang tuanya masih hidup, bahagiakanlah orang tua kalian walaupun mereka sudah bahagia melihat kehidupan anaknya bahagia!

    Like

    1. Betul Mas, setuju. Selagi masih ada, mari bahagiakan mereka. Kita doakan orangtua kita yang telah tiada.

      Like

Tinggalkan jejak