Success atau Suck-Yes?

Catatan: sebenarnya saya telah bertekad untuk selalu menuliskan judul semua postingan dalam bahasa Indonesia. Dalam beberapa kasus, ternyata bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) kadang terasa lebih efektif untuk mewakili gagasan tulisan keseluruhan sesuai dengan konteks. Mohon maaf bila sahabat tidak nyaman dengan hal ini.

Kira-kira di penghujung tahun 2005 saya mendapat tawaran untuk bekerja di Lampung. Seorang teman menuturkan bahwa temannya yang mengelola sebuah bisnis pendidikan bahasa asing di sana tengah berencana melakukan ekspansi dan memerlukan seseorang sebagai mitra—baik untuk bertukar ide maupun mengelola lembaga yang ia miliki. Soal gaji bukan lagi masalah. Saya bahkan dijanjikan akan mendapat sekian persen dari keuntungan yang diperoleh. Gaji yang ditawarkan mungkin sepuluh kali lipat dari gaji saya mengajar di Semarang saat itu. Sungguh tawaran yang menggiurkan!

Materi dan investasi

Setelah berpikir dan mempertimbangkan, akhirnya saya menolak tawaran tersebut. Selain karena jauh (tentu saja ini relatif), saya juga mempunyai gangguan kesehatan yang justru dapat menghambat kinerja saya kelak. Dan begitulah. Tawaran itu pun menguap. Bersatu dengan udara. Saya terus mengajar hingga akhirnya pindah ke Bogor tempat saya kini menetap.

Andaikan saya menerima tawaran itu, mungkin saya sudah punya banyak benda sekarang. Rumah mewah, kendaraan pribadi, deposito, dan mungkin beragam investasi yang besar nilainya. Kalau saja saya ambil kesempatan itu, kini saya mungkin sudah jadi orang sukses.

Tapi tunggu! Apakah keputusan saya untuk menolak pekerjaan tersebut telah mengantarkan saya pada kondisi ketidaksuksesan saat ini? Boleh jadi ya. Atau mungkin tidak. Jikalau saya berangkat ke Lampung, mungkin saya tidak pernah bergelut dalam dunia perbukuan. Mungkin saja. Mungkin sampai saat ini saya akan tetap menjomblo. Bisa jadi. Atau mungkin saya malah aktif dalam partai misalnya. Siapa tahu? Pertanyaan besarnya adalah: apakah saya kini sudah sukses? Apakah pilihan saya bergerak ke Barat (dari Semarang ke Bogor) adalah sebuah pilihan cerdas?

Saya tidak akan menjawabnya. Sebaliknya, izinkan saya menyisipkan sebuah cerita singkat sebagai berikut.

Reuni tiga sahabat

Tersebutlah tiga sahabat yang hidup bersama dalam suka dan duka semasa belajar di bangku kuliah. Selepas kuliah, mereka pun berpisah untuk mengejar karier dan cita-cita masing-masing. Sekian lama mereka tidak saling berkomunikasi, hingga pada suatu saat universitas tempat mereka pernah belajar mengadakan sebuah reuni akbar dan mengundang ketiga sahabat tersebut.

Konon hanya orang-orang sukseslah yang bersemangat untuk menghadiri reuni. Dan datanglah ketiga sahabat tersebut. Dalam reuni itu disediakan sebuah sesi di mana akan ditunjuk beberapa perwakilan lulusan yang dianggap telah mencapai prestasi setelah menamatkan kuliah. Mereka akan diminta untuk berbicara di depan hadirin guna membeberkan pengalaman dan kesuksesan yang telah mereka raih. Singkat cerita, ketiga sahabat tersebut mendapat kehormatan untuk berbagi perjalanan mereka selepas kuliah.

Orang pertama pun maju dan berbicara, “Alhamdulillah, serampung kuliah saya mendapatkan pekerjaan yang bagus. Saya juga memperoleh kesempatan menempuh pendidikan S2 di luar negeri. Saya bekerja keras dan sekarang menjadi CEO sebuah perusahaan multinasional ternama. Kata kunci kesuksesan saya adalah kerja keras dan pantang menyerah. Saya sangat menikmati pekerjaan saya dan amat bahagia.” Hadirin pun bertepuk tangan dengan penuh kekaguman.

Orang kedua maju dan bercerita, “Setelah lulus kuliah, saya memang tidak pernah berniat untuk bekerja pada perusahaan atau pada orang lain. Sebaliknya saya membangun bisnis saya sendiri. Setelah jatuh-bangun menekuni usaha tersebut, akhirnya saya kini meraup kesuksesan besar. Dan saya sadar bahwa kunci segala sesuatu adalah keberanian dan keuletan. Bisnis saya ini menjanjikan banyak keuntungan dan bahkan kini merambah ke bisnis lain. Saya sangat bahagia menjalani rutinitas serta menikmati hasil kerja saya.” Hadirin kembali bersorai sebagai ungkapan takjub.

Sukses tapi hampa

Giliran orang ketiga tampil ke depan. Dengan mimik muka santai namun serius, ia membuka suara. “Saat masih kuliah saya bercita-cita menjadi orang sukses, entah jadi apa, asal sukses dan banyak menghasilkan duit.” Ia berhenti sejenak. “Selepas kuliah, saya sempat bekerja pada sebuah perusahaan milik negara dengan gaji yang sangat lumayan. Karier saya terus merambat naik. Posisi terakhir saya bahkan meliputi direktur marketing merangkap CEO divisi pengembangan produk. Penghasilan saya lebih dari cukup. Namun kebahagiaan hanya saya rasakan setelah menerima gaji di awal bulan. Setiap bulan hanya menunggu gaji dan begitu seterusnya. Maka saya pun mengundurkan diri dan membuka usaha sendiri.

Hasil usaha saya ini sangat lumayan dan dengan hasil itu saya bisa membeli banyak barang yang saya perlukan. Namun masih terbit rasa hampa dan kosong dalam hati. Saya tak tahu kenapa. Di sela-sela kesibukan saya yang tidak terlalu padat, saya mendapat undangan untuk berbagi ilmu kewirausahaan kepada sekelompok pemuda di kampung terpencil. Pengalaman itu sangat membekas. Dan saya memutuskan untuk mendirikan sekolah wirausaha gratis di setiap wilayah yang potensial. Ada perasaan unik yang saya rasakan saat melakukan semua itu. Inilah kebahagiaan yang membuat saya puas dan selalu bersyukur. Karena saya bisa berbagi kepada orang di sekitar saya.” Hadirin senyap sejenak. Lalu tepuk tangan pun terdengar cetar membahana badaaiiii!!!

Apa itu sukses?

Kisah tiga sahabat tersebut memang hipotetis, namun saya yakin bisa terjadi di dunia nyata dengan detail dan karakter pekerjaan yang berbeda. Menurut Anda, siapakah di antara ketiga sahabat tersebut yang telah menggenggam kesuksesan? Orang pertama, kedua, atau ketiga?

Untuk bisa menentukan manakah yang telah meraih kesuksesan, kita harus terlebih dahulu sepakat tentang pengertian kesuksesan. Kita harus sepaham mengenai hakikat kesuksesan sebenarnya sebelum menobatkan siapakah yang berhak menyandang tropi kesuksesan.

Sayangnya, tidak ada definisi sukses yang rapi dan ketat. Sejauh ini, menurut pendapat saya, belum ada rumusan kesuksesan yang bisa dipakai untuk menilai kemajuan hidup semua orang. Walaupun semua orang setuju bahwa kesuksesan adalah hal positif dalam hidup, namun formula kesuksesan bukanlah hal yang generik. Setiap kepala, setiap hati, dan setiap pikiran bisa menumpahkan gagasan kesuksesan yang beragam.

Sang CEO dan pemilik kebun sayur

Seperti contoh yang diberikan Mbak Evi dalam salah satu postingan di blognya. Ada seorang CEO yang berlimpah harta, beristri cantik, dan memiliki anak nan gagah-molek. Dunia seolah dalam genggamannya. Barangkali tak ada barang atau jasa di dunia ini yang tak bisa ia beli/upayakan. Ibarat kata, tak ada kenikmatan dunia yang tak sanggup ia cecap. Begitu luar biasanya materi yang melingkupinya.

Namun limpahan benda-benda duniawi ternyata mengantarnya pada kebekuan pikiran, kekalutan jiwa dan kesunyian hati. Ia seolah sendiri dan memandang dunia tanpa arti—meski ia tenggelam dalam lautan materi. Jelas ada lubang dalam jiwanya yang terisi elemen yang betul-betul ia butuhkan. Ia tak tahu. Ia tak sadar. Ia limbung. Ia hanyut dalam kamuflase kesuksesan yang menjengkelkan.

Sebaliknya, seorang lelaki lain yang setiap hari menyiram dan merawat sayur mayur di kebunnya justru senantiasa bergerak dalam rel kebahagiaan. Ia menjalani rutinitas dengan semangat berkobar dengan energi rasa syukur yang tak pernah padam. Di mata dan hatinya, ia merasa cukup dan tercukupi. Sepenggal hadiah dari Tuhan berupa kebun sayur yang bisa ia panen merupakan sungai nikmat yang terus-menerus membasuh kekumalan jiwanya. Dan ia selalu bergembira menyambut rahmat-Nya degan keyakinan dan rasa terima kasih.

Sebagaimana kisah tiga sahabat, manakah di antara kedua lelaki ini yang telah sukses? Saya serahkan jawabannya pada Anda.

Ukuran itu penting!

Agar bisa menilai apakah seseorang telah sukses atau belum, kita butuh ukuran. Orang modern menyebutnya parameter. Ya, kita butuh suatu hal yang menjadi standar atau patokan untuk mengukur kesuksesan kita. Sebagaimana kita selalu membutuhkan ukuran dalam berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari.

Bila limpahan materi dan harta duniawi yang kita jadikan ukuran, maka sahabat pertama, kedua, dan sang CEO kesepian tentulah orang-orang yang layak dilantik sebagai pemegang kesuksesan. Namun bila kita sepakat menjadikan kententeraman hati dan semangat berbagi sebagai ukuran, maka lelaki pemilik kebun sayur, sahabat ketiga (dan mungkin saya) boleh mendapat kalungan medali kesuksesan.

Semua kembali kepada ukuran. Seseorang bisa disebut sukses atau sebaliknya bergantung pada parameter yang kita gunakan. Bill Gates, lelaki terkaya nomor dua sedunia, boleh dielu-elukan sebagai orang sukses nan inspiratif di seluruh penjuru dunia. Namun Temon yang menjadi penjaja kuali dan aneka gerabah ke kampung-kampung juga halal disebut sebagai orang sukses lantaran ia selalu menjalani hidupnya dengan jujur dan penuh rasa syukur.

Mobil, mobil!

Sayangnya, masyarakat modern telah terjebak pada konsep umum yang telah dikonstruksi sedemikian rupa mengenai tingkat kesuksesan. Ukuran kesuksesan tak jauh berkisar antara mobil, rumah, tabungan, dan beragam kekayaan properti atau investasi miliaran (dolar). Anda mungkin tidak asing mendengar perbincangan sebagai berikut.

“Wah, gile si Andhi. Lu inget kan Andhi temen sekelas kita dulu?”

“Iya, emang napa?”

“Udah jadi orang sukses dia sekarang, bro!! Kemaren gua ga sengaja ketemu dia di acara kawinan si Asna. Mobilnya kereeeen!!!!”

“Oh, iya, gua ga dateng si pas nikahan dia. Terus lu ngobrol ma dia?”

“Bukan Cuma ngobrol. Gua malah sempet nebeng pulang. Ternyata dia punya rumah loh di deket situ. Bagus dan gede pula. Pokoknya dia sukses dah sekarang. Mobilnya aja ada 3. Rumahnya juga ada beberapa.

“Wah, hebat juga ya. Kerja apa sih dia?”

Saya yakin kita akrab atau bahkan kerap terlibat dalam perbincangan mengenai teman atau orang lain seperti di atas. Mobil dan rumah, juga uang, memang jelas menjadi tolok ukur kesuksesan manusia modern.

Lalu apakah salah memiliki rumah sendiri? Sama sekali tidak. Apakah sebuah kejahatan memiliki mobil pribadi? Tentu saja bukan. Yang salah adalah ketika kita mengukur kesuksesan semua orang hanya berdasarkan kepemilikan mobil dan rumah atau kepunyaan materi yang lain. Yang kurang betul adalah menyatakan orang lain sebagai orang yang belum sukses hanya karena ia masih mengontrak rumah dan setiap hari bepergian dengan motor atau angkutan umum. Boleh jadi di balik pilihannya itu ia tidak ingin pamer dan demi mengurangi kemacetan atau beban subsidi BBM. Siapa tahu?

Memiliki rumah dan mobil tentu merupakan hadiah indah dari Tuhan bila kita sanggup memanfaatkannya dengan penuh makna. Selain untuk memuluskan kepentingan atau hajat kita, mobil atau benda yang kita miliki hendaknya mampu memberdayakan atau membantu meringankan beban orang lain. Dari sinilah saya akan sampaikan konsep kesuksesan menurut saya.

Dua ukuran dan tiga kategori

Mungkin terlalu berlebihan bila saya sebut dengan konsep. Ini hanyalah uneg-uneg sederhana tentang kesuksesan dalam pandangan saya. Saya pribadi berpendapat bahwa ada dua ukuran untuk menilai kesuksesan seseorang.

www.chhny.org
http://www.chhny.org

Pertama, kebahagiaan. Meskipun sulit didefinisikan, saya yakin semua orang mendambakan kebahagiaan. Kebahagiaan menyiratkan hal-hal positif yang membawa kita pada kenyamanan, perasaan damai, dan kepuasan. Dalam kehidupan sehari-hari orang mendapatkan kebahagiaan dari hal-hal yang berbeda. Ada yang bahagia karena dagangannya laris. Ada yang gembira karena gajinya naik atau bonusnya ditambah. Ada yang bahagia sebab ujian skripsinya lancar dan lulus dengan sangat memuaskan. Ada yang bahagia karena anak-anak didiknya mampu menyerap ilmu yang ia ajarkan. Ada yang gembira lantaran buku pertamnya terbit dan diapresiasi positif oleh pembaca. Ada yang bahagia karena telah menemukan pendamping hidupnya. Ada pula orang yang begitu bahagia hanya dengan menikmati cahaya matahari pagi dan melihat beningnya embun atau kabut yang turun perlahan dari puncak bukit. Dan bahkan ada orang yang bahagia karena melihat ketidakbahagiaan orang lain.

Kedua, manfaat. Setiap hari kita mempunyai pilihan untuk bergulat dengan manfaat. Kita bisa terus mengambil/menerima manfaat tanpa sekalipun memberi manfaat. Kita bisa selalu memberi manfaat tanpa sekalipun menerima maanfaat (bisakah?). Atau kita bisa memperoleh sekaligus memberi manfaat kepada orang lain. Atau kita mungkin lebih memilih untuk tidak pernah mengambil atau memberi manfaat sama sekali (bisakah?)

Nah, kedua ukuran tersebut akhirnya melahirkan tiga kuadran kesuksesan. Kedua parameter tersebut bisa berjalan berdampingan atau berseberangan.

Kuadran I, bahagia tapi tidak bermanfaat bagi orang lain, dan justru menyebabkan kerugian atau petaka bagi orang lain. Saya menyebut kondisi ini dengan ‘belum-sukses’. Ia punya banyak fasilitas dan kemudahan dalam hidup, namun semuanya ia nikmati sendiri. Orang lain tak berhak mendapat cipratan manfaat dari kebahagiaannya. Sebaliknya, semua yang ia miliki kerap menimbulkan petaka bagi lingkungan sekitar. Mari kita sebut dengan semi-manusia.

Kuadran II, bahagia tapi tidak bermanfaat dan tidak pula merugikan orang lain. Kemapanan yang ia miliki terbatas untuk keasyikan dia sendiri. Saya menyebut kondisi ini ‘hampir-sukses’. Ia tidak membahayakan kehidupan orang lain. Matahari kebahagiaannya tidak memancar bebas ke luar. Ia tutup berkas sinarnya untuk ia nikmati sendiri. Bolehlah kita sebut dengan manusia biasa.

Kuadran III, bahagia dan memberi manfaat kepada orang lain. Keberadaan orang ini, bagaimana pun keadaannya, mampu menjadi penyejuk atau pencerahan bagi orang lain. Inilah orang yang ‘sukses’. Ia menyisakan apa yang ia punya untuk mempermudah beban orang lain, baik berupa materi maupun non-materi. Ia selalu bahagia dengan kondisi dirinya dan jauh lebih bahagia lagi tatkala mampu berbagi. Rembulan kebahagiaannya ia biarkan berpendar untuk menerangi jalan orang lain. Sesekali ia mungkin mengeluh, namun ia segera tersadar. Ia punya banyak hal yang patut disyukuri. Dan dengan menebar manfaat ia menjadi semakin hidup dan merasakan energi sukses yang sebenarnya. Dialah orang sukses itu.

Berkah

Di manakah posisi kita saat ini? Dengan apa kita bisa bergerak menuju level yang lebih tinggi dan mulia? Kita sendiri bisa dan tahu apa jawabnya.

Maka setelah berpanjang lebar bercerita, saya hanya ingin menegaskan satu hal. Terserah Anda pola kehidupan seperti apa yang Anda pilih. Kita bebas menentukan pilihan jalan hidup dan memutuskan cara menjalaninya. Apa pun yang kita lakoni, bertekadlah untuk menekuninya dengan jujur dan penuh rasa syukur. Dan jangan lupa bahwa kita hidup berdampingan dengan manusia dan alam. Maka tak ada salahnya (dan bahkan wajib) bagi kita untuk berbagi dan memberi. Dengan memberi, kita akan menerma lebih banyak.

Di mana pun titik kita berdiri sekarang, pastikan hidup kita berkah. Dengan menjalani hidup penuh tanggung jawab dan kegembiraan. Jika Allah menyertai langkah kita, apa pun profesi atau kegiatan yang kita pilih, maka hidup kita akan dilingkupi embun keberkahan. Embun berkah ini akan membuat hidup kita yang berat menjadi mudah. Embun ini pula yang menyirami jalanan kering berdebu agar nyaman kita lalui.

successonline.com.au
successonline.com.au

Maka mulai sekarang janganlah tergesa menyebut seseorang sudah atau belum sukses. Seorang penyiar radio di kota kecil mungkin tidak menarik perhatian kita. Namun keikhlasannya berbagi dengan pendengar berupa kegembiraan dan nasihat sederhana mungkin menjadi nilai istimewa di mata Tuhan. Seorang penjaja jamu gendong boleh jadi merupakan ibu dari anak-anak yang berkuliah di luar negeri. Saya jadi teringat seorang ibu asal Yogyakarta yang mendirikan perpustakaan keliling di Parung, Bogor dan telah mendapatkan beragam penghargaan.

Akhirnya, izinkan saya mengutip ucapan seorang konsultan bisnis, “Agar bisa sukses, kita harus membantu orang lain.” Nah, sekarang kita tinggal pilih: mau mengenggam success (kesuksesan) atau suckyes (hidup menyebalkan)?

BANNER-EVIINDRAWANTO1

First Give Away : Jurnal Evi Indrawanto

20 Comments

    1. Aku juga geleng-geleng kalo inget kasus itu. Tak terduga sangat :p Tadi sore kita juga abis ngomongin kasus itu. Memang lapar itu tak enak ya, sampai orang tega nian menilep uang negara eh uang rakyat. Semoga kita bisa menapaki tangga kesuksesan perlahan-lahan ya, Umi Noofa 😀

      Like

  1. Banyak orang yang mengukur kesuksesan dari mobil, rumah, dan harta berlimpah, makanya pada berlomba-lomba untuk memilikinya agar dibilang sukses. Padahal dibalik itu semua, kadang mereka tidak bisa menikmatinya karena terlalu sibuk kerja atau karena diberi penyakit sama ALLAH.

    Like

    1. Sangat setuju, Mbak Tarry. Punya mobil, rumah dan harta sah-sah saja sejauh itu kita pergunakan untuk mempermudah kehidupan kita dan syukur-syukur kehidupan orang lain. Tak jarang kesibukan mengeruk rupiah melupakan kita dari tugas kita sebenarnya di muka bumi. Berapa sih duit banyak itu? Tentu kita tak bisa jawab. Karena sifat kita yang terus-menerus menghendaki yang lebih dan lebih. Terima kasih sudah berkenan berkunjung dan membaca curhatan saya, Mbak 🙂

      Like

  2. Sepakat mas.. sukses itu soal kebahagiaan dan manfaat. Jika mendapat rejeki meski sedikit tapi kita bisa bahagia dengan mensyukurinya, itulah sukses.
    Pun demikian gaji mahal tak menjamin sebuah kesuksesan jika justru malah dihamburkan untuk hal-hal yang berisi kesiaan

    Matur nuwun sudah turut menyemarakkan GA mbak Evi.. sudah tercatat sebagai peserta. Sukses mas Belalang

    Like

    1. Bahagia kan kita sendiri yang tahu ya, Uncle. Orang boleh melihat kita dengan sebelah mata atau mengasihani kita karena kondisi atau pekerjaan kita dipandang tak lazim, tapi suasana hati kita sendiri yang menentukan. Tentu saja Allah yang berhak membolak-baliknya. Tapi kita punya pilihan untuk merasakan apa. Jadi teringat novel pertama A. Fuadi Negeri 5 Menara, “Kitalah yang menguasai diri kita. Jangan serahkan kebahagiaan atau ketidakbahagiaan kita kepada orang lain. Kita bebas menentukan apa yang kita yakini benar dan bermanfaat.

      Gaji besar tapi ga bahagia, banyak tuh Uncle. Kata orang Jawa gaji seperti itu ga barokah atau berkah. Apalagi kalau gaji/penghasilan besar itu ternyata hasil dari menipu atau cara-cara tak halal. Buat apa?

      Semoga acara GA Mbak Evi makin semarak dengan kecerewetab saya, Uncle 😀

      Like

  3. sukses tak punya ukuran tertentu, jadi relatif sangat acuannya. Bahkan untuk diri sendiri kita memilah-milah mana yg disebut sukses dan mana yg tidak.

    Terima kasih ya Mas sdh ikut perhelatan saya 🙂

    Like

    1. Setuju, Mbak Evi. Kita punya standar masing-masing. Dan menurut saya itu sah-sah saja. Semua akhirnya berpulang pada pribadi yang menjalaninya. Seperti kisah CEO kaya dan pekebun sayur itu 🙂

      Like

  4. Aku pernah ikut seminar tentang sukses dari Jamil Azzaini. Beliau mengatakan bahwa kita harus berupaya meraih sukses mulia. Maksudnya Sukses yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Senada dengan tulisan mas Rudi ini (ternyata pemikiranmu sekaliber Jamil Azzaini yooo?).

    Like

    1. Doi memang terkenal dengan slogan sukses mulia, Mbak. Tapi saya belum pernah ikut seminar ataupun membaca karya beliau. Bukunya baru sempat saya buka-buka pas di Gramedia beberapa waktu yang lalu. Mungkin kebetulan atau gimana, yang jelas saya berangkat dari sabda Rasulullah itu tuh. Sebaik-baik manusia adalah yang mampu menebar banyak manfaat untuk manusia lain. Ini juga yang diwanti-wanti oleh almarhum ayah saya. Mungkin Pak Jamil sebenarnya nyontek pesan ayahku, Mbak :p

      Like

  5. Inti dari pesan yang tersirat mungkin biisa didefinisikan bahwa kesuksesan seseorang itu dimana dia menemukan suatu kebahagian dalam melakukan yang terbaik dalam hal memberi yang Kang. Hm….. penjabaran ilmunya komplit banget deh.

    Sukses untuk GA nya Kang.
    Salam wisata

    Like

    1. KIra-kira begitu, Mas Indra. Kita bisa sukses di mana saja, pada profesi apa pun–sejauh kita menikmatinya dengan bahagia dan lingkaran manfaatnya menjangkau kehidupan orang lain. Terima kasih atas kunjungan Anda, Mas. Ini ngetik pake macbook pro bukan? hehe..teuteup 😀

      Like

    1. Betul, Puji, Kata kuncinya adalah keberkahan. Juga bermanfaat untuk orang lain. Aamiin. Terima kasih 🙂

      Like

    1. Begitulah Mbak. Bukan orang Bogor, bukan pula orang Semarang. Di Semarang hanya beberapa tahun saja Mbak. Di postingan kontes GA Mbak Monika saya pernah ungkap asal-usul saya, halaghh 🙂

      Apa kabar Pascal dan Alvin?

      Like

  6. Sukses laaah. Ndak mau suck yes, hehe..
    Menjadi orang yg berguna buat org lain, sekaligus bahagia, adalah cita2 semua org ya.. Apapun kondisinya, pun bagi mereka yg memiliki tolak ukur keharta-bendaan, sy rasa hati kecilnya menginginkan hal yg sama..

    Mnrt saya seseorang bisa dikatakan sukses jika di akhirat nanti dia menerima buku amalnya dari kanan,… Kita ndak akan bisa tau, sampai waktunya nanti.. 🙂

    Wallahu’alam..

    Like

    1. Sangat setuju, Bunda Vania. Tentu saja kesuksesan sejati adalah saat kita kitaa bisa menerima buku amal dengan tangan kanan. Aamiin.

      Dan berjumpa dengan Rabb kita.

      Like

  7. Aih saya jadi eksindir nih soalnya kalau urusan reuni tidak bersemangat karena karena bukan orang sukses nih.Setuju dengan parameternya, sukses itu bahagia dan bermanfaat.

    Like

    1. Sindiran ini saya maksudkan sebagai pengingat bagi diri saya pribadi. Semoga kita selalu bisa berbahagia dan memberi manfaat ya. Salam kenal 🙂

      Like

Tinggalkan jejak