Orang mengenal kotaku sebagai Kota Tahu Campur. Namun tak sedikit yang mengenal kampung halamanku dari begitu banyaknya warung pecel lele dan ayam yang menjajah bahkan hingga ibukota Indonesia. Soto racikan khas kotaku juga telah merambah puluhan daerah. Begitu populernya, di beberapa tempat aku bahkan pernah menjumpai soto khas kotaku dijajakan oleh orang dari kota lain. Tentang kekayaan kuliner lokal, mari kita simpan untuk dikulik suatu hari nanti. Sebab kali ini pikiranku berayun dari lesatan memori menyakitkan tentang petis dan kaos kaki menuju kerinduan yang tak punya nama.
Apakah aku bilang menyakitkan? Tak salah lagi, memang menyakitkan. Setiap memandang sepasang kaos kaki, jejak kenangan itu seketika meruap dalam batin dan menegaskan rasa sakit yang tak terperi. Sesaat ketika menghidup aroma petis, pendar kebodohan dan kasih sayang pun bertambur, mengumandangkan irama cinta dan luka—yang ternyata terlambat kupahami kenikmatannya.
Suatu pagi, saat SMP, mungkin hari Senin, kaos kakiku raib. Aku menyusuri setiap sudut rumah, alangkah bodoh! Kucari di setiap ruang setiap kamar, betapa menggelikan! Jika aku memang bukan anak teledor, tentulah kaos kakiku selalu rapi tersimpan di tempat yang sama dan mudah dijangkau. Andaikan aku bukan anak ceroboh, pastilah pagi itu rumah tidak bertambah ribut karena sepasang kaos kaki yang tersesat entah di mana. Tapi aku jelas-jelas anak yang sembrono. Tapi aku memang anak yang lalai.
Ibu yang sibuk menyiapkan sajian untuk acara arisan hari itu terpaksa kujadikan sasaran kemarahanku. Setelah menjelajahi dua kamar dan setiap sudut rumah, namun kaos kaki tak jua kutemukan, aku pun kembali ke kamarku. Tempat di mana aku merajut kebodohan dan kecerobohan. Tempat di mana seharusnya kusimpan barang-barang pribadiku dengan rapi, tapi ternyata justru kusebar sampai ke sudut antah-berantah. Sehingga ibu yang selalu menjadi sasaran tembak saat segalanya menjadi tak terkendali dan memusingkan.
Hingga terlontarlah ucapan itu. Hingga terdengarlah sebuah kata yang membuat ibu tersakiti. Hingga terlepaslah kebiadaban yang paling kusesali sepanjang hidup. Kata itu sejatinya ekspresi kekagetanku saat seekor tikus tiba-tiba memasuki kamarku dan berjalan menghantam kakiku. Dalam kekalutan mencari kaos kaki, juga bayangan terlambat sekolah yang jauhnya 20 km, aku pun terkesiap! Dan spontan terletup sebuah kata yang mirip sumpah serapah, hanya saja dalam bentuk yang lebih pendek. Ibu tertegun, dan seketika menghentikan aktivitasnya di ruang belakang. Ibu terpukul atas ucapanku. Aku yang sebelumnya bertanya padanya tentang lokasi kaos kakiku mendadak memandangku dengan tatapan sedih. Suasana pun hening—hatiku dan hati ibu berbicara dengan bahasa paling rahasia. Keramaian dan kesibukan tetangga di dapur seolah lenyap dalam ketertegunan ibu dalam merespons ucapanku.
Aku menyesal. Aku kelimpungan didera rasa bersalah yang seketika itu menyergap. Aku tergeragap oleh keasingan yang tercipta akibat ketololanku. Sejenak aku berpikir bahwa aku sebaiknya bisa kembali ke menit dan detik masa lalu untuk mengoreksi suara yang terlecut dari bibirku. Walaupun aku tak pernah meniatkan kata itu sebagai serapah kepada ibu yang kutanyai tentang kaos kaki, namun jalinan huruf-huruf yang keluar dari mulutku telah menjelma menjadi bahasa paling kelam seorang anak kepada ibunya. Meskipun kata itu meledak karena aku kaget saat ditabrak seekor tikus (yang mungkin malaikat), namun ibu—menurutku—boleh jadi menyimpulkannya sebagai kezaliman akhlak. Ya, pernah kudengar dari guruku bahwa akhlak bisa ditunjukkan oleh respons otomatis atau aksi refleks atas sebuah kejadian. Maka ucapanku itu sungguh sebentuk kedurhakaan yang tak berakhlak!
Saat kaos kaki akhirnya kutemukan, pikiranku masih kalut. Saat melangkah meninggalkan rumah, aroma petis yang tersaji di setiap piring meruap ke segala arah. Sedap dan nikmat. Lidah para tamu tentu akan dimanjakan oleh kelezatan tahu campur racikan ibu. Begitu pikirku. Tapi aku tak mungkin bisa menikmatinya. Sebab aku sudah durhaka. Pupuslah harapanku menyantap sepiring tahu campur dengan irisan sawi segar dan daging sapi lembut—dan tentu saja berpadu dengan baluran petis yang gurih. Kalimat-kalimat itu terus menghantuiku sepanjang perjalananku ke sekolah, bahkan selama aku belajar di sekolah.
Rasanya aku tak punya keberanian untuk pulang. Tapi aku lapar. Ingin rasanya aku singgah di rumah teman agar aku terhindar dari tatapan murka ibu. Tapi perutku menggelegar. Lebih baik aku habiskan waktu sore dan malam di sekolah agar aku tak perlu menahan derita karena telah menyakiti ibu. Untuk apa aku pulang kalau hanya dihadang kemarahan ibu atas perbuatanku pagi tadi? Untuk apa? Namun aku tetap melangkah pulang. Biarlah kutahan kegeraman ibu, kalaupun itu harus terjadi. Ya Allah, aku takut. Aku yang durhaka ini kembali ke pangkuan ibu, setelah apa yang kuperbuat.
Melewati pintu depan, aku tak berjumpa ibu. Entah ada di mana. Lebih baik aku tak usah menemuinya. Berjumpa secara tak sengaja pun jangan. Aku belum siap. Hatiku berdegup kencang: kalau-kalau ibu tiba-tiba mencengkeram pundakku dan menatapku dengan pandangan angkara murka. Aku pantas mendapatkannya, tapi aku takut. Segera kuganti bajuku, dan berdiam sejenak dalam kamar.
Begitu ku melangkah keluar akan mencuci taangan dan kaki, yang kutakutkan pun terjadi. Ibu terlihat di ruang tengah. Menatapku. Aku menyiapkan batin. Aku hampir menunduk untuk mendengar ocehan atau mungkin cubitannya ketika tiba-tiba ia berujar, “Tahu campurnya sudah siap di meja belakang. Kalau-kalau kamu sudah lapar.” Ibu lalu meninggalkanku. Tapi tak sedikit pun raut kemarahan kutangkap pada wajahnya. Tak setitik pun rona dendam terpancar atas apa yang kuletupkan pagi tadi. Hey, ke manakah semua itu? Ke manakah bayangan amarah ibu yang menghantuiku sepanjang hari?
Bagi ibu, semuanya mungkin telah dilipat dalam masa lalu. Kejadian pagi itu (terutama kebiadabanku) telah menjadi sejarah kenakalanku yang tak perlu dimaknai dalam sentimen kemarahan. Wahai ibu, dari apakah hatimu terbuta? Emas, ataukah mutu manikam yang ditambang dari Bukit Surga? Di manakah kau berguru tentang kasih sayang? Tentu dari Tuhan yang menjadi sumber segala rasa sayang.
Aku tak pernah benar-benar memahami. Aroma petis yang menyatu dalam tahu campurku segera membuai pikiranku dalam kenikmatan. Sepiring tahu campur lezat itu sekali lagi menegaskan cinta ibu yang susah ditafsirkan. Mengalahkan insiden kaos kaki yang raib dan ketololanku sebagai bocah yang selalu berpikir bahwa cinta harus memiliki bentuk.
Ibu, terimalah puisi jelek ini sebagai permintaan maafku. Ah, mungkin dunia seisinya pun tak akan pernah cukup untuk membeli cintamu. Karena kau jelas tak pernah ingin menjualnya. Kalaupun kau jual, dengan apa aku mampu menukarnya? Kau tak pernah butuh balasan. Kau hanya butuh anak-anakmu. Senakal dan sebandel apa pun mereka. Seperti aku yang lebih sering menyakitimu.
Untuk Ibuku, dan untuk semua ibu di dunia yang selalu hebat dan luar biasa, semoga syair asal-asalan ini menenteramkan hatimu.
Ibu adalah kertas putih
yang menyediakan diri menampung coretan-coretan kebodohanku
Ibu lebih bening dari airmata para malaikat
yang berderai memohonkan ampun mustaghfirin
jiwanya lebih jernih dari tatapan murni seribu bidadari
yang membuncahkan kupu-kupu terkasih
Ibu adalah kelepak halus sayap malaikat
yang menyuruk langit memanjatkan pertobatan
Nafasnya lebih wangi dari minyak kesturi seribu musim semi
Cintalah ibu—
matahari yang senantiasa memancar
terbit di semesta hati setiap anak nakal, sepertiku
menghidupi ribuan rembulan dengan kemilau paling nirwana
Cintalah ibu—
bintang yang terus menyala
bahkan saat bumi diliputi salju kematian
Ibu adalah hutan, yang merawat hijau ketenteraman
mata air segala kesejukan
segala rumah bagi yang ingin kembali
Ibu adalah huruf yang menyusun kata-kata suci
Ia kata-kata yang merangkai kalimat doa
paragraf-paragraf riang yang merdeka
merangkai jimat kesuksesan; menuju malam paling lelah
Ibu adalah selimut yang menghangatkan dingin hati
sebelum pagi pecah dan mentari kembali merekah
Ibu menerjemahkan mimpi dan menjadi detak
bagi anak-anak yang rindu cahaya
Ibu adalah sahabat terdekat Tuhan
yang diberkahi cinta kasih tak tertandingkan
Ibulah pengikut nabi-nabi
yang dianugerahi kesabaran tak bertepi
Ibu adalah penyerta para musafir para salih
berhembus dalam udara, mengalir di sungai
menembus cakrawala, mengukir senyum saat badai
Ibu adalah malaikat yang tak butuh nama
Ibu berdetak di gunung, laut, di angkasa raya
Ibu menyatu dalam benda-benda, berdetak di mana-mana.
berdetak di mana-mana. berdetak di mana-mana
Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway Cerita di Balik Aroma yang diadakan oleh Kakaakin
Catatan: Sampai kini ibu masih dikenal sebagai peracik tahu campur yang andal di seantero kampung.
semoga menang ya..
LikeLike
Terima kasih, Mas.
LikeLike
Aahh kalo denger tentang ibuu..rasanya gimana gitu..
hikss…
sukses ya ngontesnya 😀
LikeLike
Betul, Teh. Tanya Olive deh, pasti kesannya istimewa.
LikeLike
Keren banget untaian kata yang terangkai menjadi kalimat penuh kenangan, sebuah puisi indahpun negitu mengena di hatiku *eh…tapi aku mang seorang ibu kok, heheee….
Ibu adalah kertas putih
Salam
Astin
LikeLike
Berbahagialah dan berbanggalah menjadi seorang ibu, Mbak Astin. Tidak semua wanita diberi keistimewaan menjadi sosok bernama ibu–dengan berbagai atribut dan keanggunan. Saya yang setiap hari menyaksikan kesibukan istri di rumah rasanya tak akan sanggup jadi seorang ibu–dalam hal peran.
Salam balik dari Kota Hujan 🙂
LikeLike
Aku kira tahu petisnya bau kaos kaki, Om. Hihihihi
Jadi, kalau melihat tahu petis jadi teringat kisah kaoskaki yang hilang, atau kaoskaki yang bau ituuu. 😆
Sukses ngontesnya ya, Om. Kapan2 traktir aku tahu petis.
LikeLike
Tahu petisnya memang sangat sedap. Teman di Bogor yang asli Madiun pernah nitip petis dari kotaku karena di Bogor susah mendapatkan yang aroma udangnya khas, Dah.
Di Bogor kebetulan tidak ada tahu petis, padahal aku suka banget tuh. Tapi di sudut Jalan Sudirman ada kedai makanan khas Jawa Timur yang tahu campurnya nikmat sangat.
Jadi kalau lihat petis, aku jadi pengen makan kaos kaki yang bau itu–jiahhh 🙂
LikeLike
Baru kali ini aku bewe ke sini sambil air mata berlinang. Ingat almarhumah.
Siniii, minta tisuuenya.
LikeLike
Ada lap bekas angkat panci masak rendang jengkie, mau? 😀
LikeLike
Puisi ibu-nya bikin meleleh 🙂
LikeLike
Suka nih kalau Melly meleleh. Abis itu trus lempar deh samsung galaxy-nya hehe 🙂
LikeLike
walah, sekarang masih jual tahu campur, mas? di sebelah mana itu?
jadi pingin nyicipi, hihi
kalo ke surabaya dame pasti selalu nyari tahu campur.
LikeLike
Bukan jual, tapi suka memasak untuk dikonsumsi sendiri terutama pas ada acara-acara tertentu. Di Surabaya tentu banyak kedai tahu campur yang markotop 🙂
LikeLike
Mata saya berair Mas 😦
LikeLike
Itu menandakan cinta Anda sangat kuat pada Ibu Anda, Mas. Semoga kita termasuk anak yang membanggakan ibu kita ya 🙂
LikeLike
Amiiiinnn..
Suwun Mas..
LikeLike
Sama-sama 🙂
LikeLike
Jadi ingat juga masa2 cari-mencari kaos kaki sebelum berangkat sekolah 😀
Etapi saya belum pernah mencicipi tahu campur 🙂
Terima kasih sudah ikutan GA Cerita di Balik Aroma ya 🙂
LikeLike
Kirain cuma saya yang teledor, Kak. Kalau ke kampung halamanku, atau pas ke Bogor, mampirlah. Nanti kutraktir tahu campur. Dijamin suka! 🙂
LikeLike
suami saya sering beli tahu ampur kalau pulang kerja Pak, tapi kok saya kurang suka ya 🙂
Kaos kaki banyak pak diisni punya anak-anak
LikeLike
Selera kali ya Mbak. Atau mungkin beda racikan ya:) Kapan2 kalau ke Bogor, yuk cobain di air mancur Bogor.
Sekarang malah udah ga pernah pake kaos kaki, Mbak. Karena udah jarang pake sepatu sih. Dah ga pernah ngantor hehe :p
LikeLike
Hah? Mosok Mas Belalang berani berkata2 yang gak pantas pada Ibu, gak percaya nih daku, hehehe.
Itulah Ibu, Mas. Semua yang diperbuat anaknya selalu dibalas lebih essip oleh Beliau. Sama dengan kejadian yang Mas Belalang alami, kejadiannya senikmat menikmati tahu petis beliau # ahhh jadi lapar nih 😀
Terima kasih partisipasinya, Mas, sudah tercacat sebagai peserta 🙂
LikeLike
kalimat itu terlecut sebagai ekspresi kekagetan saya gara-gara tikus yang nyelonong masuk ke kamar dan menabrak kaki saya, Kang 😦 Lebih pada intonasinya yang tinggi sih, sehingga ibu tampak tidak berkenan.
Pokoknya ibu tiada duanya. Dan kontes aroma kenangan cuma kaka akin yang punya 🙂
LikeLike
keren sekali tulisannya mas…
seriuus >.<
bikin meleleh
LikeLike
Terima kasih, Mbak Vera. Semoga kita makin sayang ibu bila beliau masih ada. Dan rajin berkirim doa bila beliau telah tiada. Salam 🙂
LikeLike
Lamongan kan??
LikeLike
KIra-kira gimana menurut Mbah? 🙂
LikeLike
ceritanya bagus. blogwalking gan
LikeLike
Terima kasih atas apresiasinya. Nanti saya kunjungi balik ya 🙂 Salam kenal.
LikeLike
ternyata bogor terkenal sama tahu dan sotonya juga ya, di sekolah saya cuma tahu bogor, kota hujan 😀
LikeLike
Hehe, ini kota lain kok Mas yang saya singgung, bukan Bogor 🙂 Salam kenal.
LikeLike
terharu.. jadi ingat dulu pun aku sering begitu sama mama.. duh semoga Allah mengampuni aku yg sudah berkali2 manangis meminta maaf di pangkuan Mama..
tulisan walank membangkitkan segala kenangan.. pantas lah menang.. selamat yaaah walank 😀
maap telat banget.. baru mulai rajin bewe nih aku.. ahaha..
LikeLike
Iya Mbak. Moga-moga kita mendapat ridha ibu kita ya. Aamiin. dan mudah-mudahan kita diberi kekuatan untuk membahagiakan mereka dengan cara yang kita bisa. Saya malah sempat mbrebes mili pas baca adegan ayah Mbak Lyli harus jalan kaki dari bandara ke rumah garaa-gara kehabisan ongkos. Saya jadi terinspirasi buat postingan khusus, tapi belom jadi sampe sekarang, hehe :p
LikeLike