“Percuma aku jadi kapten,” berulang-ulang Kapten Bhirawa mengucapkan kalimat itu. Seolah kata-kata begitu saja terletup dari bibirnya. “Percuma. Percuma, percumaaaa…” tiba-tiba suaranya melengking, meraung-raung membelah kesunyian malam.
Bersimpuh dengan kepala tertunduk, Kapten Bhirawa tak kuasa menahan tangis. Suaranya yang berat dan parau tak tersaingi oleh daun-daun pisang yang berkesiur ditiup angin. “Mengapa? Mengapa cinta mesti berakhir begini?” Raungan itu kini berubah menjadi senggukan penuh tekanan. “Percuma aku jadi kapten. Percuma aku—” suaranya lalu tenggelam dalam kecipak air danau.
Kobaran api hampir tuntas. Seluruh tiang dan dinding sempurna meleleh dilalap nyala yang tak henti berpijar. Sepuluh menit kemudian, hanya udara tengah malam yang berkerincing menerpa puing-puing rumahnya. Samar-samar mata sang Kapten bisa merekam tulang-belulang yang mencuat dari dipan besi yang tersisa. Masih menganga, seperti mimpi buruk yang kini mencengkeram hati sang Kapten. Hancurlah sudah semua: tempat tinggal dan seluruh kenangannya. “Aku kini kapten, tapi sudah tak ada guna tanpa mereka,” ujarnya lirih sambil meraih setangkai rumput di beranda rumah. Rumput inilah satu-satunya benda yang akan membangkitkan memorinya. Ya, setangkai rumput kering yang tak terbakar.
Kasih, kalau cinta mengapakah harus berakhir begini mengerikan? Semua toh bisa kita bicarakan dan aku tak perlu jadi kapten. Dua kalimat pendek ini lalu diikat dengan setangkai rumput kering sisa kebakaran semalam. Surat cinta itu lalu ia layarkan di bawah Jembatan Suramadu yang terbentang menyambung Surabaya ke Madura. Mata Kapten Bhirawa tak berkedip mengantarkan surat cintanya meluncur ke samudera luas. Hatinya panas, matanya pedas—lalu ia pun mencelupkan kepala dan tubuhnya ke dalam air laut. Lama sekali. Begitu lama sehingga permukaan air menjadi tenang dan hening. Begitu hening seolah tak ada sesuatu yang pernah masuk ke dalamnya. Di langit hanya tampak sepotong rembulan dengan cahaya pucat.
Cerita ini diikutsertakan pada Flash Fiction Writing Contest:Senandung Cinta
Cita satu kata akan mau dibawa kemana emangnya ?
Sukses untuk GA nya Kang.
Salam wisata
LikeLike
Saya juga kurang paham, Mas Indra 🙂 Nuhun doanya.
LikeLike
Baca judulnya sampai tahan nafas.
Tragis!
LikeLike
Tahan napas boleh, tahan asus jangan! 😀
LikeLike
wow.. Judulnya klo d singkat menjadi..
SRKDGBAHAGBATEUEHE@#*&% *gagal pokus*
Awas jng maen2 d suramadu, anginnya lagi kenceng bgt 😀
Sukses bwt GAnya
LikeLike
Belum pernah ke Suramadu, Mbak. Makasih doanya. Apakah Sidoarjo masih anget lumpurnya? 🙂
LikeLike
—Komentar ini dihapus karena tidak sesuai dengan ketentuan—
LikeLike
haduuhh haduuuhh.. itu judul penomenal beudh yak
LikeLike
Lagi iseng jari-jarinya ngetik sendiri tuh, Umi Noofa. Yang ketik Bumi, hehe….
LikeLike
dame masih gak ngerti gimana caranya nyemplungin kepala di bawah jembatan suramadu, apakah lewat jalan kapal2 itu ato gimana? hihhi
sukses buat GA nya, 🙂
LikeLike
Ya biarlah dewan juri yang menentukan, hehe. Terima kasih atas kunjungannya 🙂
LikeLike
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Flash Fiction Senandung Cinta.
Ikuti juga Kontes Unggulan Blog Review Saling Berhadapan di BlogCamp (http://abdulcholik.com)
Salam hangat dari Surabaya
LikeLike
Insya Allah ikutan Dhe. Sedang proses. Terima kasih kembali 🙂
LikeLike
Emangnya masih musim ya bundir pake acara nyemplung ke laut? 😀
LikeLike
Kapten kok gitu! 😦
LikeLike
kapten bhirawa kayak sedang putus asa. apa gara2 judulnya yg kepanjangan yak, he. sila berkunjung ke blog sy http://bit.ly/12yqKw8
LikeLike
Gitu kali ya Mas? Semoga bukan karena judulnya ya. Nanti saya meluncur ke blog Anda ya. Terima kasih 😀
LikeLike
judule rek duuooowooo tenaann…. saking tragisnya jadi pengen ikutan nyemplung dr suramadu aku mas ;(
LikeLike
Eits, jangan ikut nyemplung ke laut, Bu. Tar dikira paus loh hehe 😀
LikeLike
endingnya menyedihkan. good luck ya
LikeLike
Kasihan ya Mbak. Terima kasih Mbak L.
LikeLike
aih tadi baca postingan ini saya pikir blognya tiffa 🙂 judulnya besar identik dengan blognya. Maaf Pak
LikeLike
Hehe, begitukah Mbak? Tak apa, Mbak asal gedenya ga dikira jengkol aja Mbak 😀
LikeLike
Judulnya Puanjaaang ..
suksess ya MAs Ngontesnya 😀
LikeLike
Panjang mana ama kebun teh di Parongpong, Teh? 🙂
LikeLike
Duhhhh
LikeLike
Ya!
LikeLike
Kasihan si Kapten. . .
LikeLike
Sok atuh dikirimin es dawet ayu–ehhh 🙂
LikeLike
keren BOS
LikeLike
Makasih, Bos!
LikeLike
artikelnya keren mas… tp takut dekat-dekat laut. trauma ditolingin orang. hehehe
LikeLike
Terima kasih atas kunjungan dan apresiasinya 🙂
LikeLike
kasihan sang Kapten …
semoga sukses ngontesnya mas …
LikeLike
Ada yang dendam sama sang Kapten 😦
LikeLike
Duh, meninggal gak ya, kaptern Bhirawanya?
LikeLike
Tak ada yang tahu, Uni.
LikeLike
Cup cup cup ,,, kapten koq meraung2 🙂
LikeLike
Kapten baru mau diam kalau dikasih laptop hadiah, hehe 😀
LikeLike
Serem juga ya membayangkan kapten meraung 😀
LikeLike
Setuju, Mbak. Kalau raungan Acer Aspire sih alus suaranya, hehe. Selamat ya Mbak akhirnya hadiah memang jajdi rezeki Anda. Salam kreatif dan terus menulis ya…
LikeLike
tak kiro lebih panjang judulnya daripada ceritanya…heuheu… ngontes lagi nih, lagi musim ya… 🙂
sukses ya pak 🙂
LikeLike
Hehe, tadinya mau bikin yang panjang setinggi pohon jengkol, tante 🙂
LikeLike
Judulnya mantaaap…. hehe…. | dan surat cinta itu menyatu dengan samudra…
LikeLike
Mantab alias kepanjangan ya Mas, hehehe
LikeLike
Menjenguk kapten Bhirawa, dah baikan?
Maaf kemarin2 komen saya kayak spam ya mas soalnya gak muncul2 jadi saya bikin lagi. Apa masuk spamnya ya?
LikeLike
Memang sempat ketangkep sama Aki Ismet Mbak, tapi udah saya keluarkan setelah bujuk rayuan maut, hehe. Makasih kunjungannya lagi. Pasti komentarnya pake aspire one ya? hehe–selamattt! 😀
LikeLike