Pengorbanan dan Nasib Kebenaran

Salah satu peribahasa Cina menyebutkan,
tian

wéi rén bù zuò kuī xīn shì, yèbàn qiāo mén yě bù jīng

Arti harfiahnya kira-kira adalah jika kau mempunyai nurani yang tegas, maka kau tak akan takut mendapat ketukan di pintumu pada malam hari.

Sahabat pasti paham apa maknanya. Bila diringkas dalam beberapa kata, mungkin maknanya: lakukan yang benar dan jangan takut pada siapa pun.

Namun gagasan seperti ini agaknya sudah langka kita temukan pada masa kini. Jujur saja, saya pun kadang harus berpikir ulang sebelum mengambil aksi kebenaran. Tak jarang kita dihantui oleh konsekuensi atau dampak tindakan kita yang benar itu.

Siapa tak ingat Udin wartawan asal Yogya yang hingga kini kematiannya masih diliputi kabut misteri menyusul pemberitaannya tentang kasus seorang pejabat daerah kala itu? Kita tentu belum lupa pada Munir yang dihabisi saat dia berada di pesawat dan kasusnya hingga ini melayang bak siluman? Riwayat Udin diakhiri pada malam hari saat orang-orang di sekitar sedang asyik mengobrol atau menyantap nasi goreng. Dan masih banyak kasus yang belum terungkap.

Maka relevan kiranya saya membuka tulisan ini dengan salah satu peribahasa Cina di atas. Bila kita berkomitmen menyuarakan kebenaran, maka kita harus siap menghadapi risikonya, yang dilambangkan dengan ketukan pintu pada malam hari.

Saya teringat kejadian empat tahun silam. Saya mendapat tugas menerjemahkan sebuah buku yang mengupas banyak teori konspirasi di dunia. 111 konspirasi yang menghebohkan dunia! Isinya kebanyakan menuding Amerika serikat sebagai biang kerok sejumlah petaka di dunia, melalui serangkaian rekayasa dan rencana licik. Buku ini ditulis oleh seorang berkebangsaan Inggris bernama Jamie King.

Anehnya, saya tak bisa menghubungi Jamie untuk berdiskusi. Ini membuat saya semakin khawatir tentang buku yang saya terjemahkan. Padahal sebelumnya saya bisa dengan mudah mengontak penulis yang bukunya saya terjemahkan. Saya mulai mengendus aroma bahaya. Jangan-jangan dia tak berani membuka kedok karena diincar oleh agen rahasia AS. Penulis yang didukung penerbit besar saja harus bersembunyi, lalu bagaimana dengan penerjemah seperti saya yang mendapat honor tak seberapa? Rasanya tak imbang antara bahaya dan upah, hiks.

Beberapa pekan setelah buku terbit, saya menerima pesan pendek (sms) dari nomor tak dikenal. Seorang perempuan, lupa siapa namanya. Isinya menanyakan apakah benar saya yang menerjemahkan buku konspirasi yang baru saja diterbitkan? *Gubrakk!* Lutut langsung loyo dan sendi-sendi otomatis lunglai. Pikiran saya seketika mencatut teori konspirasi, “Wah, jangan-jangan bakal ada insiden seram nih. Gimana kalo malam-malam aku disergap diam-diam mengingat rumahku jauh dari keramaian?”

Kekhawatiran dan ketakutan seperti itu menggelayuti pikiran selama berminggu-minggu. Alih-alih menghibur, istri saya malah menakut-nakuti, “Awas ya Agen CIA konon ada di mana-mana. Siap-siap aja diciduk.” Degh! Memang agen mereka tersebar di seluruh dunia, apalagi di negara ‘hebat’ kayak tanah air kita.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa menceritakan “kebenaran”, dari sudut pandang apa pun ternyata memiliki risiko dan ancaman. Hanya orang-orang hebat yang tergerak untuk menulis atau menyuarakan kebenaran tanpa takut didera musibah yang mengikuti. Orang-orang semacam itu tidak gentar mendengar ketukan pintu rumahnya di malam hari. Mereka tak enggan berkorban. Memberikan pengorbanan dalam pengertian seluas-luasnya, termasuk korban nyawa.

Pada saat ini rasanya memprihatinkan melihat masyarakat kita di mana pengorbanan menjadi sesuatu yang langka. Tak perlu hal-hal yang besar, pengorbanan waktu demi orang lain pun rasanya berat dilakukan. Misalnya, tempo hari ada dua pengemudi yang berselisih di tengah jalanan Bogor. Akhirnya jalanan macet. Setiap kendaraan yang lewat hanya melongo dan melihatnya santai. Padahal, seperti kata Pakdhe Cholik, security mindedness harusnya berjalan di sini. Idealnya orang akan berhenti untuk melerai agar perselisihan tidak memburuk dan pengguna jalan pun bisa berjalan dengan aman/nyaman. Tidak, bray, kami semua malah asyik nyelonong demi keamanan diri sendiri. Buat apa sih ikutan ribut, entar malah kita harus kasih keterangan kalau-kalau mereka dibawa ke kantor polisi? Nah!

Contoh lain lagi, ada orang membuang sampah sembarangan dari dalam mobilnya. Apakah pernah kita mendengar orang teledor semacam itu dikecam? Tidak. Apakah ada orang yang menegurnya lalu menasihati bahwa tindakan itu merugikan kita semua? Nehi. Karena kita, termasuk saya, lebih tergoda untuk merampungkan urusan kita sendiri tanpa disibukkan urusan lain yang terlihat sepele padahal kelak menjadi bom waktu bagi kita semua. Karena pengorbanan semacam itu rasanya bukan merupakan investasi kebaikan yang menjanjikan dalam jangka pendek ataupun panjang.

Ini hanya contoh kecil. Bagaimana dengan hal-hal besar? Saya tak berani menjawabnya. Kita semua paham apa yang terjadi dalam masyarakat kita dan apa yang harus kita lakukan. Kita kian teralienasi dalam merumuskan mana kepentingan pribadi dan mana kebutuhan orang banyak. Persinggungan antara keduanya kerap tak jelas, atau sudah jelas namun kita bikin tidak jelas. Saya khawatir lama-lama kita akan menjadi masyarakat anonim, tanpa identitas, yang tidak saling mengenal sehingga pengorbanan selalu terasa berat bahkan untuk sesuatu bernama kebenaran. Dan kondisi demikian biasanya kita menjadi rentan terhadap serangan, baik dari luar maupun penggembosan dari dalam.

Mulai sekarang, berhati-hatilah bila ada suara ketukan di pintu Anda pada malam hari. Bila Anda tidak merasa memesan nasi goreng dari tukang langganan atau makanan cepat saji, sebaiknya Anda tidak membukanya. Siapkah kita berkorban?

Selamat merayakan Idul Adha bagi Sahabat yang merayakannya. Jangan kebanyakan daging kambing ya biar tensi ga naik. 🙂

14 Comments

    1. Pada dasarnya kita semua penakut, Mbak. Biar berani, tolong suruh Vivi transfer honor buat makan-makan. Makan di kantor Mbak Uniek jg tak apa, asal gretongan. Asal jangan dikasih berkas dokumen eksim ya 😉

      Like

  1. Jd Inget jman kuliah ada makul US foreign policy,hawane pgn nglethak kursi saling gemesnya sma kelakuan US..
    Wah jd kl Nadia ke rumah Rumi mlm2 g dibukanya pintu doongg… 😛
    (komen ga jelas)

    Like

    1. Lah itu dia, dikau yang menyelami kebijakan dan abc-nya AS tentu tahu sepak terjang mereka, Mbaksist. Jangan nglethak kursi dong, sayang kursinya, Nglethak putu ayu aje enyaaak 🙂

      Like

    1. 100 untuk Anda, Mas! Namun sungguh berat Mas bisa konsisten berbuat demikian. salam kenal juga dan teerima kasih atas kunjungan Anda. 🙂

      Like

      1. Emoticon sudah benar kok Mas, malah senyumnya terlalu lebar tuh sampe menyebarkan bau prengus. Abis makan sate kambing ya? 😀

        Like

          1. Prengus ya bau kambing, Mas, hehe. saya juga belum sempat masak Mas. Dagingnya masih dibekukan 🙂 Saya pilih rendang jengkol saja 😀

            Like

  2. mudah2an tidak ada ketukan dipintu rumah saya pak, kalau ada saya teriaki maling hehehe biasanya pintu pagarnya digembok ko jadi tidak bisa mengetuk pintu rumah. Selamat idu adha pak

    Like

    1. sama, Mbak. Rumah saya juga ada pagarnya yang memisahkan teras dan pintu. Tapi petugas listrik dan penarik iuran bulanan suka ketok-ketok pagar besi sih. Cuma mereka selalu datang pada pagi hari, jadi ga takut, hehe. Selamat berlibur Mbak, jangan kebanyakan makan kambing 😉

      Like

    1. Begitu gimana ya? Haha. Benar sekali, setiap tindakan punya risiko, berbuat benar atau salah harus siap menghadapi konsekuensi logisnya 🙂

      Like

Tinggalkan jejak