Babys(h)itting

Selepas shalat Iedul Adha, istri saya membawa Bumi anak kedua kami melihat-lihat kambing dan sapi sembelihan tak jauh dari masjid kompleks. Bumi begitu girang mengamati gerak dan polah lucu puluhan kambing yang jarang ia jumpai. Saat asyik bermain bersama Bumi, seorang perempuan mendekati istri saya. Perempuan muda ini menggendong seorang anak yang tampaknya sedang rewel.

Setelah perkenalan singkat, kalimat-kalimat bernada keluhan segera meluncur dari mulutnya. Ternyata dia datang bersama majikannya. Sehari-hari dia bekerja sebagai babysitter atau pengasuh bayi di salah satu keluarga warga kompleks. Menurut penuturannya, ia kini melayani keluarga anggota dewan. Sebelumnya ia bekerja sebagai ART di Jakarta melalui jasa sebuah yayasan dengan gaji dua juta rupiah. Di Bogor ia memperoleh gaji lebih rendah dari itu walaupun sesekali ia mengaku kadang mendapatkan uang tip.

Beban kerja berlebihan
Namun bukan soal uang kompensasi yang ia keluhkan. Dari sorot mata dan getaran kata-katanya, ia jelas merasa kerepotan mengasuh tiga anak sekaligus: satu anak berusia playgroup (PG), satu lagi berusia hampir dua tahun, dan satu lagi bayi berusia beberapa bulan. Walaupun secara de jure ia dibayar sebagai babysitter, namun secara de facto tak jarang ia masih harus mengerjakan tugas-tugas lain. Keluarga tersebut sudah memiliki seorang asisten rumah tangga, namun mungkin karena rumahnya cukup besar sehingga sang babysitter kadang masih harus diperbantukan guna menunjang tugas rekannya dalam mengurus rumah.

Pada kesempatan shalat Ied beberapa hari silam, sang ibu menemani anak yang berusia PG, sementara anak berusia dua tahun diasuh sang babysitter dan sang bayi ditinggal di rumah bersama asisten rumah tangga. Bagi dia ini cukup bagus karena biasanya sang ibu jarang menyentuh buah hatinya saat berada di rumah. Harap maklum, sang ibu yang tak piawai menggarap pekerjaan domestik ternyata juga tidak gape mengasuh anak-anak. Satu hal yang aneh bagi si babysitter mengingat majikannya tersebut tidak bekerja sebagai karyawan di mana pun.

Masa keemasan produk spektakuler

brightagepublishing.com
brightagepublishing.com
Saya tak hendak menghakimi keluarga tersebut. Bagaimana pun juga kami tak paham bagaimana detail kondisi mereka sehari-hari dan itu juga bukan hak kami untuk mencampurinya. Yang menjadi catatan saya pribadi adalah beban pekerjaan yang harus diemban oleh babysitter tersebut. Idealnya seorang babysitter hanya bertugas mengasuh anak-anak tanpa pekerjaan ekstra lain. Mengapa? Karena pekerjaan mengasuh anak-anak sangat tidak mudah dan tidak sepele. Dari tahap bayilah pendidikan pada anak-anak ditanamkan. Bayi dan anak-anak prasekolah merupakan masa keemasan yang menjadi tonggak penanaman nilai-nilai pokok yang penting.

Tanpa meremehkan kemampuan si babysitter, kita semua tahu bagaimana rata-rata pendidikan babysitter di tanah air. Tidak jarang bahkan keluarga mencari pengasuh bayi hanya sekadar cakap mengasuh anak dan sabar tanpa didukung bekal ilmu yang mumpuni. Maksud saya tentu saja ilmu pengasuhan atau parenting. Tugas mereka sangatlah berat karena setiap hari berhubungan dengan produk spektakuler bernama manusia. Saya sebut spektakuler karena setiap anak manusia dibekali potensi dan kemampuan dahsyat yang bisa dibentuk menjadi baik atau sebaliknya. Mereka bisa disiapkan menjadi pemakmur bumi atau penghancur semesta. Mereka bukan mesin yang cukup ditangani dan dirawat dengan serangkaian manual teknis belaka. Mereka punya emosi yang perlu diolah dan dikembangkan. Mereka dilengkapi dengan jiwa yang harus diarahkan.

Perbudakan modern dan pendidikan gratis

en.docsity.com
en.docsity.com
Mendengar kisah ini, saya spontan teringat seorang sahabat yang kini bermukim di Belgia. Sahabat asli Semarang ini pernah meminta kepada suaminya agar mereka menyewa pembantu dari Indonesia untuk mengasuh anak-anak mereka. Suami bulenya menolak keras bila pola kerja sama yang dipakai tidak berbeda dengan pola di Indonesia. Dia menganggap itu adalah perbudakan modern. Ia setuju untuk menyewa babysitter dengan syarat bahwa babysitter tersebut harus mendapat job desc yang jelas dan jam kerja yang jelas pula. Mereka juga harus mau menyekolahkan atau menyediakan pendidikan yang layak untuk sang babysitter demi peningkatan mutu pribadinya. Dan tentu saja dengan imbalan gaji yang setimpal. Pendidikan yang baik bagi babysitter berarti pengasuhan yang bermutu bagi anak mereka. Saat itu, hampir saja saya hendak mengajukan diri untuk menjadi babysitter agar bisa kuliah gratis, haha. 😉

Dua kasus ini saya tulis untuk mengingatkan kita semua andaikan ada keluarga yang memiliki babysitter di rumah. Bila sang ibu kebetulan bekerja dan harus menyewa jasa babysitter, lakukan dengan cantik. Pastikan gaji yang ia terima sepadan dengan tanggung jawab yang ia emban. Jangan lupa pula untuk memperhatikan pendidikannya karena itu akan menjadi investasi utama dalam menghasilkan anak-anak yang baik. Hindari memberikan pekerjaan tambahan yang berpotensi menyulut kemarahan di luar pekerjaan utamanya. Selebihnya, luangkan waktu yang berkualitas untuk tetap mendampingi anak-anak demi memantau perkembangan mereka.

Fokus pada anak

republika.co.id
republika.co.id
Bila sang ibu tidak bekerja dan memiliki banyak waktu luang, sebaiknya merawat dan mengasuh anak secara langsung. Ini akan menjadi media bagi ibu dan anak untuk saling berkomunikasi dan memahami satu sama lain dalam atmosfer penuh pengertian. Perbanyaklah membaca dan mengikuti pelatihan pengasuhan bila mungkin agar ilmu bertambah guna membesarkan anak-anak yang berakhlak dan cakap.

Bila sang ibu tidak bekerja namun tetap kewalahan mengasuh anak, tak apa menyewa jasa seorang babysitter. Dengan catatan bahwa sang ibu harus tetap terlibat aktif dalam pengasuhan dan perawatan anak. Dampingi babysitter dalam berbagai situasi penting untuk memastikan bahwa anak diasuh dengan benar. Bila tidak sibuk, tak ada salahnya memberi waktu berlibur bagi babysitter sementara ibu berasyik-asyikan bersama sang anak. Intinya, jangan sepenuhnya lepas tangan dari proses pengasuhan anak-anak.

Babysitting vs. babyshitting
Bila babysitter mendapat perhatian yang sepadan, baik dalam bentuk imbalan yang memadai dan pengawasan yang santun, maka ia akan bekerja dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, bila ia dipekerjakan hanya sebagai penyedia jasa untuk dibayar, apalagi dibayar tidak sepadan dengan beban kerja yang berat dan banyak, maka jangan terkejut bila ia bukan melakukan babysitting melainkan babyshittng. Alih-alih mengasuh dan merawat anak-anak dengan penuh cinta, ia justru mencubiti, memukul, menghantam atau bahkan mencekik leher anak ketika hal-hal ternyata berada di luar kendalinya. Jangan sampai kasus-kasus negatif semacam ini terulang dalam keluarga mana pun.

Apa pun pilihan kita, baik mengasuh anak sendiri maupun menyewa jasa babysitter, mari pahami bahwa ada ruang batin anak yang tak mungkin diisi oleh orang lain selain orangtuanya sendiri. Mereka tak cukup diasuh oleh perawat, diajar guru, atau dicintai teman-teman, namun butuh dipeluk oleh orangtua, terutama ibu, yakni pelukan dalam pengertian seluas-luasnya.

Saya bukan pakar parenting, hanya seorang suami yang sehari-hari menemani istri membesarkan dua bocah kecil. Maka tulisan ini bisa jadi perlu banyak koreksi atau informasi tambahan. Segala masukan dan transfer ilmu akan saya terima dengan senang hati. Apa lagi bila ditambah dengan transfer uang :p .

20 Comments

    1. betul, Sobat. Sebaiknya anak-anak diasuh sendiri jikalau banyak waktu. Masa pertumbuhan mereka tak akan berulang sementara pekerjaan/rezeki bisa dicari kapan saja.

      Like

  1. Sekarang mending aku yo.. Masak ga pintar, beres2 rumah pun ala kadarnya tp ttp berusaha ngurusi nadia dgn tgn sdr.. Wlpun sering juga si pake ngomel Xixixi… Tp kl ga ngomel bkn emak2 namanya… Hayo ngaku mbak Aisha pasti jg gtu to???

    Like

  2. Alhamdulillah, anak-anak tak perlu baby sitter.
    Laah kalau ibu rumah tangga pantasnya digaji berapa ya? Kan tenaga ahli dan berpendidikan banget tuh..
    *Eaaaa… gajinya pahala dan masuk syurga. Aamiin…

    Like

    1. Selamat bagi Anda yang bisa membesarkan anak-anak sendiri Mbak. Tidak semua ibu punya kesempatan emas seperti itu. apalagi bisa dilihat sekarang perkembangan Lutfan cs yang sangat membanggakan.

      Tentang imbalan ibu, rasanya saya kutip lagu Nasidaria aja sbb.

      Ibu kaulah wanita yang mulia
      derajatmu tiga tingkat dibanding ayah.

      Mataharinya alam, sebagai perumpamaan.
      Dunia isinya belumlah sepada
      sebagai balasan ibumu melahirkan

      Like

        1. Lha wong calon besan malah nyiapin sound system buat Mbak Niken je. Uncle Lozz lagi cek sound alat-alat musik. Mbak Myra dan Nchie sibuk ngurus konsumsi. idah ma Niar wara-wiri edarin brosur pementasan. Mas Indra dan timnya udah standby dengan kamera dan peralatan rekaman. Tinggal Mas Ridwan neh belom nongol: udah beres apa belon jemput biduan?– 😉

          Like

  3. Rasanya tak mudah menemukan orang yang secara tulus bisa mengasuh dan memperhatikan anak2 selain orang tuanya. Dan memang mengurus anak2 itu bukan perkara mudah. Itulah kenapa ketika istri minta pengasuh Aa Zaki, karena ia ingin mengoptimalkan menjemput rejeki, saya iseng “bunda mau gaji berapa ayah bayar.” Meski saya tahu istri bukan maksud butuh banget nyari uang. 😀

    Like

    1. Betul sekali, Kang. Sangat jarang menemukan pengasuh yang betul-betul mengasihi anak kita. Kebanyakan biasanya bersifat transaksional mengasuh karena dibayar. Toh itu juga tidak salah karena tugasnya cuma mengasuh secara fisik berdasarkan kontrak awal. Kalau bisa memang ibu sangat ideal memegang anaknya sendiri. Andaikan kondisi tak memungkinkan, seperti istri Akang, tentu tak masalah membayar orang untuk membantu pengasuhan asalkan tetap diawasi dan diarahkan. Mengenai bayaran, mungkin ga ada yang bisa kita tukarkan dengan jasa ibu merawat/membesarkan anak-anak. Walaupun ulama fikih kontemporer berpendapat bahwa seorang istri yang mencucikan baju suaminya berhak mendapat gaji/upah dari suaminya. Artinya, memang untuk hal-hal fisik masih bisa dicari bandingan nilainya.

      Semoga istri Akang semakin berkembang dengan karier dan kesibukannya ya. Dan Aa Zaki semakin pintar dan saleh. Aaamiin.

      Like

  4. Saya dulu gak pake baby sitter dan suka ngiri pada ibu2 yg punya, enak benar mereka kelihatannya gak pake capek tp anaknya keurus 🙂

    Like

    1. Kadang-kadang yang terlihat oleh kita selalu yang enak ya Uni. Padahal mereka yang kita saksiksan mungkin mengiri pada kita yang bisa mengasuh sambil bekerja misalnya. Semua toh ada harga yang harus dibayar, baik materiil maupun immateriil. Yang penting anak tetap terdidik dengan layak. Dan mendapat asupan gula aren yang cukup–hehe 😉

      Like

  5. Salam kenal om :D…..Waaaah…langung ingat ke rumaaah hiks…bukan apa-apa..kalau bisa memilih, saya juga pengennya full time ngurus anak…tapi karena punya pekerjaan yang 9-to-5, jadi mau tidak mau perlu bantuan..Ada satu masa saat kami tidak dibantu baby sitter waktu tinggal di Jenewa. Tidak terasa hampir 4 tahun saya bahu membahu dengan suami mengurus anak dan tetap bekerja full. Tapi ya itu, suami yang banyak berkorban :(…Makanya waktu kembali ke tanah air dengan anak 2, kami jadi dibantu baby sitter…alhamdulillah, dapetnya selalu baik dn seperti keluarga sendiri jadinya :D.Tapi yang pasti, waktu yang ada pasti dicurahkan untuk anak-anak…makasih sharingnya yaa…

    Like

    1. Saya pikir semua ibu tentunya mendambakan hal ideal semacam itu, Mbak. Bisa menemani dan mendampingi anak-anak semaksimal mungkin. Namun banyak hal yang tidak memungkinkan seorang ibu melakukannya. Terutama karena tuntutan pekerjaan. Hebat sekali Anda bisa mengasuh anak bersama suami tanpa bantuan babyshitter Mbak. Kalau terpaksa menyewas jasa pengasuh, dan dia baik serta gampang diarahkan, tentu itu rezeki nomplok. Semoga Mbak Indah semakin mencintai anak-anak dan berkah selalu dalam keluarga penuh cinta 😉

      Like

Tinggalkan jejak