Nominee Arrangement

Bukan bermaksud sok kebarat-baratan dengan mengusung judul berbahasa Inggris. Selain belum memiliki padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia, dua kata ini saya pilih sebagai judul agar Eyang Google lebih cepat mengenalinya di belantara maya. 😉

Awal tahun 2013 seorang teman asal negeri jiran hendak meminjam nama saya. Pinjam nama? Ya, betul. Dia berencana membangun sebuah perusahaan di tanah air dan butuh nama orang pribumi untuk dicantumkan dalam akta pendirian perusahaan. Bahasa kerennya saya ketahui sebagai nominee arrangement (NA). Karena tak paham maksud dan konsekuensi hukumnya, saya pun meminta waktu untuk berpikir. Hingga beberapa hari kemudian saya tolak dengan halus permohonannya. Dari seorang teman yang ayahnya seorang pengacara saya tahu bahwa nominee arrangement jelas melanggar hukum Indonesia.

Dalam konteks pendirian perusahaan di Indonesia oleh orang asing, mereka biasanya mencatut dua nama WNI sebagai pendiri perusahaan. Nama-nama tersebut akan muncul di atas akta resmi hukum Indonesia. Di luar itu, orang asing tersebut mengadakan ikatan perjanjian dengan warga pribumi yang namanya dipinjam tentang hak milik perusahaan yang sebenarnya. Intinya, nama yang tertera pada akta hukum hanyalah formalitas belaka sedangkan pengelolaan dan keuntungan sepenuhnya menjadi otoritas orang asing yang ‘meminjam’ nama-nama itu.

Tujuan NA jelas, menghindari pajak yang harusnya dikenakan pada perusahaan berlabel PMA. Dalam kehidupan nyata, ternyata ada praktik semacam ini di mana WNI dibayar agar merelakan namanya dicatut dalam akta. Di balik kucuran rupiah yang mereka dapat dari hasil menjual nama, mereka tak sadar akan tiga risiko yang mengancam. Pertama, implikasi hukum yang menyertai bila sewaktu-waktu perusahaan terkait mengalami masalah serius. Bisa dibayangkan betapa beratnya bila di kemudian hari nama-nama itu harus bertanggung jawab atas apa yang tidak mereka ketahui. Kedua, mereka tidak menyadari bahwa tengah berkonspirasi untuk menggerogoti prospek pajak demi keuntungan pihak asing. Ketiga, potensi dosa. NA merupakan tindak kesalahan yang bisa dinilai sebagai dosa. Kesalahan ini tentu saja harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Tuhan.

NA ternyata bukan hanya terjadi dalam ranah bisnis, tetapi juga di bidang properti. Sempat saya gooogling dan mendapat kisah tentang beberapa orang yang merelakan namanya dipakai sebagai pemilik rumah/tanah di Bali padahal yang membeli sebenarnya adalah orang-orang asing. Maka jangan heran bila di Bali sudah banyak properti yang dimiliki orang asing namun menggunakan nama penduduk lokal di dalam akta. Pengamat hukum berpendapat bahwa orang-orang yang dipinjam namanya tersebut sebenarnya punya kekuatan besar di mata hukum bila mereka berani. Perjanjian di bawah tangan dengan orang asing tidak akan punya implikasi hukum apa-apa karena cacat di mata hukum, dan bahkan melanggar. Artinya, bila warga lokal tersebut mau menguasai properti yang menggunakan namanya, itu sah di mata hukum. Dan orang-orang asing yang membayarnya akan gigit jari karena tak bisa memperjuangkan “hak” mereka.

Namun tidak semua orang berani melakukannya. Mungkin karena imbalannya cukup besar dan mereka begitu membutuhkannya. Atau mungkin mereka mendapat ancaman fisik karena tahu bahwa di mata hukum pemilik sesungguhnya pasti akan kalah. Maka yang terjadi adalah keheningan. Seperti udara yang mengalir santun.

Melihat fenomena ini, saya bersyukur telah menolak permintaan teman yang saya sebut di awal. Saya tak khawatir hubungan kami retak karena penolakan ini. Yang lebih mengusik pikiran saya adalah: bagaimana bila ternyata banyak tanah, rumah, fasilitas-fasilitas penting di negeri ini dikuasai oleh orang-orang asing atas nama WNI? Bila perusahaan dan aset penting seperti properti sudah dicengkeram pihak asing, apa yang tersisa untuk kita?

Setelah Bango dilahap Univeler, Sosro kabarnya tengah dirayu oleh pihak asing. Maka jangan salahkan saya bila muncul sekian jangan-jangan: jangan-jangan sawah-sawah, gunung-gunung, pulau-pulau kita, jangan-jangan Indonesia …, jangan-jangan, jangan-jangan ….

nationalgeographic.com
nationalgeographic.com

51 Comments

  1. Jujur …
    Saya baru tau ini …
    memang sih ada beberapa e mail-email aneh …
    yang mau “minjem” nama … untuk menempatkan sejumlah dana warisan bla bla bla …

    ternyata perusahaan juga begitu ya … bisa nitip nama …
    hhhmmmm

    salam saya

    Like

    1. Jujur saya juga baru tahu begitu dimintai tolong teman itu, Om. Awalnya seolah saya bangga, eh, malah implikasi hukumnya bisa berbahaya, hiks. Memang harus waspada Om kalau ada yang meminjam nama, apalagi KTP.

      Tempo hari saya mendapat email dari penyelenggara hadiah (yang memang saya ikuti) dan meminta data berupa scan KTP bolak-balik plus tanda tangan sebagai syarat pengiriman hadiah. Walau hadiahnya menggiurkan, saya urung mengirimkan dokumen itu.

      Perusahaan juga, properti, dan sebagainya …
      Salam balik dari saya Om 😀

      Like

  2. Nah ini juga yang terjadi
    Alamat saya dipakai oleh famili untuk kredit sepeda motor
    ketika pembayaran agak seret kami lah yang bolak-balik ditelpon. Sudah bilang orangnya sudah pindah malah menganggap kami menipu. Tilpon itu hampir setiap hari,bahkan sehari bisa 3-4 kali

    Akhirnya saya ganti nomor tilpon.

    Pokoke hiudp sekarang harus hati-hati deh.

    Like

    1. Nah ini contoh kasus skala kecil, Dhe. Memang sebaiknya dihindari kalau bisa mengingat dampaknya sering mengganggu kita di kemudian hari. Kalau sudah begini, keluarga Pakdhe jadi terusik padahal jelas-jelas ga perlu bertanggung jawab, sementara si penagih kredit juga kasihan karena dia sekadar menjalankan tugas.

      Waspadalah, waspadalah….

      Like

    1. Ide menulis ini udah lama ngendon di kepala, Mbak. Makin tergerak menuliskannya ketika tersiar kabar bahwa Paul Walker memiliki rumah di Indonesia. Mana mungkin itu bisa terjadi kalau tak ada main, Mbak? Tentu melibatkan orang dalam negeri dalam proses kepemilikan.

      Mengenai industri makanan juga mengkhawatirkan. Kalau asing mendominasi sektor riil, ya runyam lama-lama. Saya dengar dari teman tentang dicaploknya Bango oleh Unilever, padahal Bango itu udah kuat banget ya. Kata temen saya sih biasanya perusahaan mulai gamang saat dipegang generasi kesekian yang tak ikut membangun usaha.

      Semoga usaha Anda makin berkibar, Mbak! 😀

      Like

        1. Itu lebih bagus Mbak. Katanya mendingan jd kepala cacing daripada jadi ekor ular. Paling tidak usaha Anda membawa berkah bagi banyak orang sehingga makin dimudahkan jalannya.

          Like

  3. menggadaikan harga diri sebagai bangsa demi mengejar rupiah….itulah yg banyak terjadi di negri ini…
    jangankan masyarakat dgn pengetahuan yg minim…para pejabat pun banyak yg suka menggadaikan harga dirinya…
    artis juga banyak yg menggadaikan dirinya…yg penting bisa membirukan mata keturunannya, walau harus mencampakkan budaya bangsa yg berbasis agama..demi mengejar keturunan rasa import….

    Like

    1. Semoga kita tidak terbawa arus negatif seperti itu ya Mas. Walaupun banyak, asalkan hasil dari kerja keras yang halal masih jauh lebih menyenangkan ketimbang hasil sedikit yang merugikan orang lain, apalagi rakyat banyak. Sukses terus untuk Anda, Mas.

      Like

    1. Kalau sesama orang lokal kira-kira apa ya Mas motivasinya? Sependek pengetahuan saya, kalau sesama orang lokal bikin usaha ya bentuknya perkongsian aja, misalnya bikin PT atau usaha dagang lain. Mungkin pembaca lain ada yang bisa melengkapi? — Terima kasih sudah berkunjung 🙂

      Like

        1. Oh iya ada kasus begitu Mas. Mungkin malah banyak 🙂 Tapi soal label atau namanya, saya kurang paham apakah juga disebut NA ataukah ada nama lain. kalau harta Anda banyak, jangan tiru perilau mereka Mas, hehe 😉

          Like

    1. Mungkin tidak semua, tapi memang disayangkan kalau harus merelakan harta Nusantara jatuh ke tangan orang lain. Kalau tanah dan air kita sudah tidak lagi kita miliki, ke mana lagi kita akan berpijak, Mbak? Kalau ada eksodus ke Mars juga rasanya belum banyak yang tertarik 😀

      Like

  4. Disamping rumah/ homestay-17, tempat nginepku di #BN2013 ada homestay dengan gaya khas rumah adat tradisional Indonesia banget, tapi setelah bertanya sama penduduk sekitar ternyata pemiliknya adalah orang asing. Kurang tahu juga warga sekitar dapat royalti apa tidak dari bisnis ini.
    Kkoq mripatku mbrebes mili mas ? ,,, haha lanang koq nangis, usapi gombal ae..

    Like

    1. Nah ini contoh yang dekat, Mas. Kita lama-lama asing di tanah sendiri karena terlalu banyak hadirnya kekuatan asing. Kita tidak anti ataupun benci sama orang asing, namun (pemerintah) kita harus membatasi otoritas mereka dalam banyak hal terutama hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Aset-aset penting kalau bisa ya dikelola oleh kita sendiri karena kita yang paham karkater dan kebutuhan kita.

      Aku juga mbrebes mas, abis itu ke Banjarnegara dan lanjut ke Purwokerto 🙂 Semoga ini bukan fenomena gunung es ya Mas guru 🙂

      Like

      1. Peran serta pemerintah sangat2 dibutuhkan dalam hal ini, tapi birokrasi di negeri ini sudah tidak bisa dibendung lagi mas diteplok beberapa lembar duwit sudah mingkem,,hehe ngomonge kemenyek.

        Like

  5. Kadang repot menjawabnya jika yang meminta NA itu sudah akrab atau bahkan ada hubungan saudara ya, Mas; maka diperlukan penjelasan yang nyaman, endak didengar, sehingga tidak mengurangi keakraban dan persaudaraan.

    Like

    1. Betul, Mas. Tapi kalau sudah menyangkut hukum yang konsekuensi tegas dan masa depan bangsa, rasanya harus tega untuk menolak. Kecuali kalo putu ayu yang disodorkan, mana tahan untuk tidak menerima? Haha 😉

      Like

  6. salah seorang teman pernah pak dipinjam namanya, tapi saya tidak mengerti apa-apa saat itu cuma yang terbayang kok ya saya takut kalau nama dipinjam seperti itu kalau ada apa-apa kan si pemilik nama yg bakal bertanggung jawab ya. Nama saya pernah dibuat referensi teman dibank eh ada masalah kok saya juga yang dikejar untungnya teman itu mengerti segera menyelesaikan masalahnya

    Like

    1. Nah itu dia Mbak, udah terbukti kan pinjam-meminjam nama ternyata malah membuah pihak terpinjam kerepotan 😦 Memang sepertinya sederhana, namun konsekuensinya bisa berat, apalagi kalau dipinjam untuk pendirian perusahaan–misalnya pas pailit, bangkrut, atau dilanda konflik, yang dituntut kan pasti yang namanya tertera dalam akta sebagai penanggung jawab.

      Like

  7. fotonya baguus,,tp emang agak ngga nyambung yaa,,untung di bawah naruhnya he he *abaikan*, menurutku banyak WNI yg blm paham mslh kyk gni ini,,menghindari pajak sgala mcm,,trmasuk aku juga,,bru tau skrg ini apa itu NA dn apa dibalik itu,, salam kenal yaa bang belalang cerewet 🙂

    Like

    1. Makasih atas kunjungan dan apresiasi Anda, Bunda. Semoga kita bisa lebih hati-hati dalam menentukan langkah terlebih yang berkaitan dengan masalah hukum. Salam dingin dari Kota Hujan 🙂

      Like

  8. Indonesia Tanah Air Beta…Pusaka Abadi Nan Jaya *kok malah nyayi

    Seakan-akan jadi ngejual alam ciptaan Allah yang ada di bumi tercinta inih. Seharusnya mah, orang asing juga kudu permisi yang sopan ya. Saya pernah bekerja di PMA dan sekarang sedang peralihan ke PMA juga…rasanya tep cinta Indonesia dech, persyaratan kekaryawanannya enggak begitu ribet

    Like

    1. Hehe, begitulah Mbak Astin. Harusnya kan PMA menyuntik pajak yang cukup ke dalam kas negara, eh beberapa pihak kadang sengaja menyamarkan status perusahaan agar menghindari pajak. Bekerja di mana pun, asal jujur dan ikhlas, insyAllah hepi Mbak. Hehehe ….

      Like

  9. duh, untung aku dulu enggak terbujuk mas. Jaman masih umur 20an, lagi iwut2e golek gaweyan, ada yg menawari kerja dg syarat spt itu. Gak mudeng klo istilahnya NA. Cuma ada feeling koq kayaknya aneh gitu kerjaannya. Nggak disuruh apa2, cuman dipinjam nama, tapi dijanjiin fasilitas yg biking mak plenggong.
    Mending mburuh ngamplas kayak sekarang deh, makmur aman damai bisa disambi chatting dan ngeblog xixixiiii….

    Like

    1. Iya Mbak, enakan nguli dengan kerja dan dapat bayaran–asal jangan facebookan teyus. Buahaya juga kuwi. Ngeblog di rumah aja tau pas istirahat loh 🙂 Kalau meragukan sebaiknya ditinggal Mbak. Kalau ragu pakai tabletmu, sini lempar ke Bogor xixixi….

      Like

    1. Sehari ku tiga kali menyebut namamu
      Itulah tanda kasih tertanam di hatiku,

      *siul-isul– 😉

      Like

    1. Betul Mbak, akalau ada niat kesempatan bisa diciptakan. Kalau ada dua-duanya, bahaya dech! Saya juga baru tahu Mbak gara-gara diminta tolong teman. Semoga kita bisa hidup dengan sederhana dan jujur ya 🙂 — Bagi pecelnya dong…

      Like

  10. Miris yaaaaa.. Udh umum kasus kaya bginian. Jangan-jangan udh banyak pulau-pulau di Indonesia yg modelnya NA secara kepemilikannya mayoritas orang asing. Pernah nonton di metrotv soal orang asing yg bela2in jual rumah di negaranya untuk beli tanah di daerah pesisir pantai trus bangun rumah impiannya. Tapi memang ga bs nutup mata byk daerah wisata, Bali contohnya yg stlah dimiliki dan dikelola mereka, jadi makin menambah nilai jualnya di mata orang asing karena promo mereka tentunya

    Like

  11. Wah, lagi ngalamin kasus gara2 NA nih, Mas. Teman saya yang polos dan gak tau apa2 (umurnya baru 22 thn waktu itu, lulusan SMK, dari dan tinggal di pelosok, gak ngerti hukum dan bisnis) tahun lalu jadi nominee untuk satu perusahaan dan dia dengan polosnya mengiyakan, tentunya dengan iming2 ini itu. Perjanjian awalnya 10 tahun, tapi baru 1 tahun dia sudah mau ditendang, padahal janji2 si orang asing belum semuanya dipenuhi. Dari awal pilih nominee yg masih sangat muda dan gak tau apa2 aja, intensinya sudah tidak baik. Si teman pun gak terima, dan untungnya sekarang sudah lebih pintar -sadar kalo dia dimanfaatin dan dirugikan. Sekarang kami lagi bantu dia dan posisi bertahan. Si orang asing itu tetap ngotot sampai pake minta2 orang lain (yg terkenal mafia, sampe bawa2 polisi) untuk menekan si anak. Dalam waktu dekat kalo mereka masih ngotot juga, kami urus ke jalur hukum. Sudah konsultasi dengan pengacara dan teman polisi. Biar kapok sekalian. Jangan macam2 di negara gue, hehehe.

    Like

    1. Benar banget, Mbak. Biar kapok mereka, mau macam-macam di Nusantara! Bila ditinjau dari kacamata hukum kita, asal kita berani, kita pasti menang di atas kertas. Semoga teman Mbak ga diperalat lagi ya….

      Like

Tinggalkan jejak