Beberapa hari yang lalu Mas Susilo sang pengusaha shuttlecock menulis sesuatu di akun FB-nya. Status tersebut menyoroti dilema mendengarkan sebagai fungsi utama telinga. Tak jarang kita mendengar orang berujar, “Jangan dengarkan ucapan orang lain. Anggap saja angin lalu.” Namun pada kesempatan lain kita kerap pula mendapatkan aliran informasi, “Belajarlah untuk bisa lebih banyak mendengarkan. Kita dianugerahi sepasang telinga sebagai simbol bahwa kita hendaknya lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara.” Sepintas, dua ujaran ini tampak bertentangan: apakah kita harus mendengarkan ataukah mengabaikan ucapan orang lain?
Mas Susilo lalu mengelaborasi persoalan mendengar ini. Dua-duanya benar, tidak kontradiktif. Ada kalanya kita memang dianjurkan mendengar untuk mengoleksi informasi yang ada. Namun ketika bahan telah terkumpul, tugas kita berikutnya adalah memilah dan mengolah informasi tersebut. Sangat mungkin data-data yang kita terima tidaklah valid atau sekadar isapan jempol belaka. Dan patut diduga bahwa dari himpunan informasi tersebut tersimpan data penting yang sangat bermanfaat bagi kita—yang bisa kita pergunakan untuk perbaikan diri atau bahkan mengubahnya menjadi peluang usaha.
Saya lalu teringat pada sebuah puisi yang saya tulis pada tahun 2009. Puisi tersebut saya sertakan dalam sebuah sayembara menulis yang diadakan Pusat Perbukuan Nasional. Bersama puluhan puisi lain, naskah saya keok. Saya menulis puisi-puisi tersebut untuk pembaca anak SMA. Walaupun belum beruntung, ada sedikit rezeki yang singgah kala itu. Naskah tersebut mendapat kucuran dana bantuan sosial untuk diterbitkan kapan-kapan. Nilainya tak besar, tapi cukuplah untuk memboyong satu unit netbook baru, hehe.
Puisi yang saya maksud berjudul Komentar, secara lengkap bisa disimak sebagai berikut.
Pesan saya dalam puisi tersebut jelas: bahwa anak-anak SMA harus bergerak dan terus belajar. Harus optimis dan melangkah untuk menyerap ilmu dari mana saja. Tak perlu mendengar cibiran kawan atau orang lain selagi tindakan mereka benar dan bermanfaat. Saya ingin menegaskan bahwa tidak semua komentar mengusung makna positif. Tak jarang ujaran yang mereka dengar justru menggerogoti kepercayaan diri dan mengebiri kreativitas mereka.
Jadi, sejauh perbuatan mereka tidak bertentangan dengan norma agama dan sosial, tak ada alasan untuk malu atau menghentikan langkah demi kemajuan. Kata-kata yang berseliweran cukup didengarkan karena telinga yang sehat tentu mampu mendengarnya. Namun mereka harus piawai menyaring mana kata-kata yang layak disimpan dan diubah menjadi tenaga perbaikan diri. Mereka juga kudu cerdas mengidentifikasi komentar-komentar yang layak dicampakkan, yakni ucapan negatif yang hanya bertujuan menghancurkan atau meracuni pikiran.
Sobat pembaca tentu pernah mendapat kritikan, komentar, atau pujian. Saya yakin kita tahu mana yang perlu kita rekam dan mana yang kita buang. Intinya, jangan berkecil hati karena kritikan dan jangan tinggi hati sebab pujian. Olah dan pilah, setuju?
Setuju bgt mas karena komentar itu tidak semuanya salah dan juga tidak semuanya benar, tugas kita saat mendengarnya wajib memilah2 dan jangan ditelan mentah2 wes pokoke intinya sama persis dg tulisan di atas
LikeLike
Iya Mbak. Semoga kita bisa bijak menyikapi komentar orang.
LikeLike
Olah dan pilah… Hhhmmmmm…. Baiklah. Kl semua dimasukin hati lama2 bisa kena pembengkakan hati x ya 😛
LikeLike
Betul banget, Mak. Tumben rada cerdas dikit 😀
LikeLike
Setuju 🙂
Banyak mendengar untuk mengolah informasi, apalagi jika menyangkut kritikan.
Walaupun, kalau ada kritikan yang menyakitkan, anggap saja sebagai tanda sayang.
LikeLike
Yang baik dan bermanfaat kita pakai, sisanya abaikan saja ya Mbak.
LikeLike
Setujuuuu…
LikeLike
Baik.
LikeLike
baca ini jadi inget kapan hari lihat walkot solo atau mana gitu ya yg dalang itu lo mas *daerah jateng poko’e* di mata najwa :D,intinya dia selalu menyimpan kata2/kritikan2 pedas di dalam memori terdepannya,dan selalu membuang pujian2 ke tempat sampah…
pagi mas cerewet 😀
LikeLike
Wah, harap maklum saya jarang nonton tipi jadi tak tahu deh kabar soal itu Mbak. Intinya proporsional aja sih, pujian dan kritikan dua-duanya bermanfaat untuk mengembangkan diri. Asalkan bukan kritikan yang sengaja menjatuhkan. Apa kabar Batam?
LikeLike
setuju
LikeLike
Setuju akhir Februari ya Mbak? Hehe..
LikeLike
Olah dan pilah. Setuju.
LikeLike
Sederhana namun kerap tak mudah ya Mbak. Kadang emosi membuat kita lalai.
LikeLike
Betul sekali Mas Belalang…
Olah dan pilah. Jangan kecil hati dan jangan terbang ke langit.
Jadi inget, tempo hari saya tulis dan posting hal sepele di blog yg bercerita ttg suguhan teman saya suatu sore. Ia menyuguhi saya kopi panas, rambutan dan buras ketan. Saya foto, nulis sejenak terus posting di blog. Ketika teman saya yg lain membaca tulisan saya itu, dia bilang…ah, lebay. Kek ginian aja pake diposting di blog…
Komentar yg bikin saya sedikit sakit waktu mendengarnya. Tp saya berusaha cuek. Saya masih berpegang pd semangag menulis dan ngeblog dgn orisinil…
Begitulah kira-kira Mas Belalang.
LikeLike
Ngapain juga Mas pikirkan pendapat seperti itu. Semangat dan semangat. Kalau blog kita lama-lama menghasilkan, mereka malah nyaho. Haha 😀
LikeLike
Betul banget Mas.
Terima kasih sangat atas penyemangatnya ini.
Lanjut ngeblog Mas…
LikeLike
Siiip.
LikeLike
ndengaren postingannya bermutu hihihiiii… setuju pokokmen lah mbrooo… kritikan sepedas apapun anggap saja masukan asalkan sesuai konteksnya, yg gak penting abaikan wae.
LikeLike
Joss, Mak. Tumben juga komentarmu nyambung, xixixi.
LikeLike
Setuju …
1. Ada komentar yang memang ingin berkomentar
2. Ada komentar yang punya maksud lain … komentar yang pada hakikatnya mempunyai tujuan lain selain berkomentar itu sendiri … (beuh bingung nih )
Untuk yang pertama harus kita simak dengan baik, baik positif maupun sanggahan/kritik/saran perbaikan
Untuk yang kedua … buang ke laut … kalau anda punya waktu ya boleh lah dilayani sekali dua kali … (biar mereka senang karena merasa ditanggapi)
Salam saya Om Belalang
(22/2 : 2)
LikeLike
Betul, Om. untuk jenis kedua sekali dua kali bolehlah kita layani–kalau perlu kita balikkan komentar pedas itu kepada sang pelntar. Biar tak arogan.
Salam dingin dari Kota Hujan, Om. 😀
LikeLike
Setuju aja deh .. heheh
LikeLike
Nuhun, Teh. Setuju juga kan borong HARMONI? Hehe…. 😉
LikeLike
Keren puisinya. Aku selalu ingat sama pesan sebuah radio Islami yg sering bilang: Apa pun yg kita lakukan, akan selalu mengundang komentar, entah baik atau buruk komentarnya. Jadi jgn berkecil hati utk melakukan kebaikan krn dikomentari negatif (disalah fahami). Org berbuat baik aja dikomentari, apalagi berbuat jelek. Jadi intinya yg tahu niat & isi hati kita hanya Allah SWT saja. Manusia mah yah jadi komentator aja deh 😀
LikeLike
Puisi sederhana, Mbak. Komentar baik atau buruk jangan mempengaruhi hati kita. Yang penting niat lurus dan tindakan benar, sudah. Semoga allah memandu hati kita ya Teh 🙂
LikeLike
Naisss artikel hehe
udah lama saya ga main sini maapkeun ya jangan dimasukin hati
LikeLike
Saya malah kapan ya terakhir ke rumah Teh Hana setelah kontes lalu lintas itu? Ihiks 😦
LikeLike
tidak akan ada habisnya kalau mengikuti komentar orang lain… jadi perlu saringan yang besar
LikeLike
Betul, Bunda. Tak semua layak kita terima, tak semua harus kita buang. Harus dicerna.
LikeLike
komentar membawa rezeki namanya ya pak 🙂
LikeLike
Betu, Mbak. Komentar pembawa berkah ya 😀
LikeLike
Naskah tersebut mendapat kucuran dana bantuan sosial untuk diterbitkan kapan-kapan. Nilainya tak besar, tapi cukuplah untuk memboyong satu unit netbook baru, hehe. #akurapopo 😀
LikeLike
Nah 😉
LikeLike
Saya termasuk orang yang suka mendengarkan Pak. Tapi paling tidak suka kalau ditengah mendengarkan ada orang lain yang menyaut lalu ikut-ikutan bicara. istilahnya nyerobot. Bagus-bagus aja sih, bisa nambah masukan tapi kalau dua narasumber bicara saya kan bingung sendiri. mana yang mau didengar dulu?
LikeLike
Baik sekali punya kebiasaan mendengar daripada banyak berbicara tapi kosong isi, Mbak Yuni. Asalkan dipilah mana informasi yang penting dan mana yang perlu dibuang.
Disela saat kita bicara memang tak menyenangkan, cenderung membuat konsentrasi kita pecah. Dalam forum debat aja ada aturan main yang tak bisa saling serobot.
LikeLike
wahahahaha iki opo to yooo
status saya bisa nyasar jadi postingan di sini, sungguh suatu kehormatan tiada tara menjadi bin(a)tang tamu di seleblog keren sampeyan. Suwun mas
Telinga memang fungsinya untuk mendengar, otak dan hati fungsinya untuk memilah. Monggo dipekerjakan sesuai dengan fungsinya
LikeLike
Eh, Bang Mandor tahu aja lagi diomongin, ahaha. Terima kasih juga atas inspirasi dari Anda.
LikeLike
DUA telinga utk mendengar dua kali lipat daripada frekuensi kita berbicara.
Mendengar—>mencerna—> sampaikan, eh, kok malah bikin anak panah gini ya
LikeLike
Terima kasih sudah melengkapi tulisan ini Mbak. Salam 🙂
LikeLike
Setuju pake banget….!
Jika ingin tetap maju, jangan anggap kritikan sebagai penghalang, tapi sebagai pemicu kita untuk semakin maju dan berkembang.
LikeLike
Sayangnya, bahkan saya sendiri pun kadang tak legowo menerima kritikan, Mbak. Semoga ya semoga. 🙂
LikeLike
BTW… aku suka baca puisinya.
Keren menurutku 😀
LikeLike
Terima kasih, Mbak Reni. Semoga bermanfaat.
LikeLike
btul.btul.btul…
solusi asmara dan karir anda.
Doa Hikmah | http://www.doahikmah.com | Jeng Riska
LikeLike
Terima kasih.
LikeLike
ada kalanya kita mendengarkan, ada kalanya kita tutup kuping…. 😀
LikeLike
Top!
LikeLike
Maaaas, aku sedikit tersindir *ups* hihihihi. Jadi pas Little Stories baru launching, ada reviewer yg menulis buku kami jelek bgt, dan ada bbrp kalimat yang secara spesifik ‘menyerang’ cerpen2 punyaku, sediiiih bgt, beneran sempet nge-down hahahaha.
LikeLike
Biasa itu mah. Sekali kita berani melepas karya ke publik ya kemungkinan dipuji atau dicaci pasti ada. Kalau memang kritiknya bagus, ya walaupun pahit kita ambil. Kalau cuma iri karena ga bisa bikin karya serupa, ya abaikan. Walaupun memang tak semudah itu ya. yang penting tetap menulis, Rin 🙂
LikeLike