Sebagai orang yang sering online di Facebook, saya akui saya jarang memajang status di dinding FB. Walau FB kerap memberondong saya dengan pertanyaan, “Lagi mikirin apa, Bray?” namun saya hampir selalu cuek dan memilih asyik membaca status teman-teman.
Namun pagi itu, 4 Maret, semua terasa berbeda. Saya tiba-tiba menemukan kisah pendek yang mengharukan. Sepenggal cerita ini sebenarnya pernah saya baca beberapa waktu silam, namun tak tahu kapan. Seperti saat membaca kali pertama, pembacaan kedua pun tetap berbuah miris di hati dan bulir air mata yang tak sanggup saya tahan.
SEORANG NENEK MENCURI SINGKONG
Entah akurat atau tidak kisah tersebut, yang jelas sang hakim sangat menginspirasi. Bagi saya tindakannya sebagai hakim sangat unik, autentik, dan keluar dari pakem yang selama ini saya perhatikan dalam persidangan. Nenek pencuri singkong demi cucunya yang kelaparan akhirnya didenda 1 juta rupiah atau hukuman kurungan 2,5 tahun bila ia tak mampu membayar.
Hakim Marzuki lalu menjatuhkan vonis pada sang nenek sesuai tuntutan JPU. Di akhir kalimatnya, sang hakim berujar, “Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar 50 ribu rupiah, sebab menetap di kota ini, dan membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya…. ” — Merinding saya membacanya.
Panitera lalu berjalan menghampiri hadirin untuk mengumpulkan uang, termasuk dari manajer PT X yang telah mengajukan tuntutan. Ia tertunduk malu selepas mengangsurkan uang sumbangan.
Sang nenek pun bebas. Namun saya belum terbebas dari perasaan haru dan bersalah. Saya kontan teringat sebuah adegan dalam sinetron religi Para Pencari Tuhan (PPT) di mana Pak RT meminta warganya menjadi penjamin atas makan-tidaknya tetangga mereka. Artinya, seorang warga bisa dinyatakan bersalah bila ada saudaranya yang kelaparan namun ia tak mengetahuinya. Bayangkan bila kekuatan komunitas diberdayakan (community empowerment), niscaya beban dalam masyarakat tidak perlu mengusik negara yang urusannya sudah demikian banyak.
Desa A misalnya bisa berdikari tanpa santunan negara bila orang-orang kaya atau mampu bisa merangkul warga yang lemah dengan kekuatan ekonomi mereka. Demikian pula dengan Desa C, misalnya. Jika setiap desa digarap serius dan ditanggung secara mandiri oleh mereka yang mampu, maka sinergi itu akan membentuk sebuah kecamatan yang kokoh. Dan demikian seterusnya hingga menyusun sebuah propinsi yang unggul.
Melihat status saya, yang saya share dari timeline orang, Muna Sungkar membubuhkan komentar singkat sebagai berikut.
IPOD CUMA-CUMA
Berbeda dari Hakim Marzuki yang membuat saya terharu, kabar seorang pejabat yang rampung men-download mantu mendorong saya untuk menuliskan status apatis dan cenderung nyinyir. Yah, ini kan karakter saya sesungguhnya: cerewet! 😉
Timbang Ipod shuffle mah murah gan. Kalo mau mentereng atuh sekalian macbook tah #edisinyinyirpagi
Demikian bunyi status saya 18 Maret yang segera mengundang puluhan komentar teman-teman FB. Komentar terus ditulis bahkan hingga sehari berikutnya, 19 Maret 2014. Sobat dari Bandung, Mbak Nurul, tak kalah nyinyir dari saya, xixixi….
Harga Ipod lumayan mahal Saudara-saudara! Mungkin nenek ‘pencuri’ singkong di atas tak akan pernah sampai pada angka itu. Atau bila dibarter, satu unit Ipod kira-kira bakal menyediakan 211 kg singkong dan bisa menjadi santapan sang nenek bersama cucunya selama sebulan penuh, atau bahkan lebih. Namun di tempat lain, ribuah Ipod meluncur secara cuma-cuma sebagai suvenir pernikahan. Bayangkan bila gadget besutan Apple itu ditukar dengan singkong, mungking sang nenek bisa tinggal di istana yang terbuat dari singkong. Lalu ia terjamin dari kelaparan sehingga tak perlu terpaksa mencuri dan terancam hukuman.
Kalaupun itu uang pribadi, namun alangkah bijaknya sebagai abdi negara bila ia menampilkan pola hidup yang sederhana lantaran masih banyak rakyat yang menderita. Padahal yang menggaji mereka kan kita?
Sekian kecerewetan saya.
Artikel ini diikutkan dalam Giveaway Blogger Dengan Dua Status di BlogCamp.
Speechless
LikeLike
Idem 😦
LikeLike
Terima kasih atas partisipasi sahabat
Segera didaftar
Keep blogging
Salam hangat dari Surabaya
LikeLike
Terima kasih, Pakdhe.
LikeLike
Indonesia ku …
yg kaya makin kaya n kehilangan hati
yg miskin tenggelam dalam penderitaan tanpa ada yg peduli T-T
LikeLike
Kaya tidak masalah ya Mak asal jangan semena-mena dan adigang adigung. Kaya miskin biasa saja, itu warna dunia. Yang penting bisa saling menguatkan dan meringankan.
LikeLike
Saya pun sempat terharu baca kisah dua nenek tersebut..
LikeLike
Berarti hati nurani kita masih sehat ya Bang 😉
LikeLike
Hmmm, no comment dulu, ya
LikeLike
Terima kasih sudah mampir, Mbak Reporter! 😉
LikeLike
Dan saya ketinggalan berita ini. Kayaknya berita IPod itu nggak terendus Metro TV soalnya channel TV saya gak pernah ganti-ganti. Begitu pagi buka FB dimana-mana beterbaran status tentang IPod 🙂
LikeLike
Tidak terendus atau memang tidak diendus, hanya Tuhan dan mereka yang tahu, Mbak, Hehe 😀
LikeLike
oh “indaahnya negeriku Indonesia”… miris kalau baca dua berita itu mas… 😥
LikeLike
Warna-warni pelangi Nusantara yang membuat hidup kita ‘menarik’ ya, Mbak 😉
LikeLike
community empowerment-nya oke banget mas, perlu banget tuh ditingkakan 🙂
LikeLike
Baru ide kok Mbak 😀
LikeLike
itulah hidup manusia, kalo tdk seperti itu bukan manusia namanya..
semoga kita masih tergolong manusia bernurani baik ya Kang.. amiiiin.
LikeLike
Aaamin. Semoga kita bisa terus berusaha menjadi baik ya Mbak Riski 😉
LikeLike
nyinyir sih…gak cendrung lagi… *kaboooooor……*
LikeLike
Uhuk, begitulah ….
LikeLike
kadang bingung, ironis….
LikeLike
ironis dan seolah nirempati ya Mbak ….
LikeLike
Nah, kali ini aku enggak komen nyinyir ah, betul banget kangmasku siji iki. Memang nurani sudah banyak yg mati di negeri ini. Sungguh merindukan para pemimpin dan pengayom bangsa yg tidak hanya mampu mengumbar janji, namun lebih pada menajamkan nurani utk mencintai negeri seisinya.
LikeLike
Nah, kali ini tumben komentarmu mengandung kewarasan, Mak. Hehe. Pemimpin penyayang dan bertanggung jawab, itulah mimpi kita.
LikeLike
nyinyir yang positif 🙂 sukaaa banget
LikeLike
Semoga kondisi nyata kian membaik ya, Mbak Susan.
LikeLike
Gusti, saya juga pernah baca pemberitaan mengenai nenek itu, mas. Miris sekali dengan kasus yang diterima oleh nenek tersebut. dan sudah lumayan lama yah. Semoga keadilan di negara kita semakin ditegakkan, sudah terlalu lama uang dan kekuasaan menguasainya.
Suskes yah untuk GAnya 🙂
LikeLike
Betul, Mas. Semoga kondisi negara kita semakin baik.
LikeLike
yang I-Pod itu memang sungguh menjengkelkan …
ibarat kata … ini menggali lubang sendiri …
senengnyaaaa … memancing kontroversi …
dengan berbuat seperti itu … adrenalinnya terpacu mungkin … ada sensasi rasa yang luar biasa … jadi trending topic …
hahaha
salam saya Kang
(25/3 : 14)
LikeLike
Iya, Om. Kalau kabarnya seperti itu kan ya sangat memancing, kendati itu dokunya sendiri. Rasanya gimanaaa gitu ya. Atau mungkin mau nyalon (trus dicatok), ahahah 😀
LikeLike
cerita asli yang di atas malah dari barat sana.
mungkin versi chinanya ada juga 😀
LikeLike
Saya malah belum tahu, Mas. Terima kasih 🙂
LikeLike
http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/08/fitnah-di-balik-kisah-inspiratif-nenek-pencuri-singkong-dan-hakim-hebat-433882.html
LikeLike
Terima kasih telah menambahkan informasi lain sebagai pelengkap cerita ini, Mas. Saya menampilkan ini untuk menegaskan pupusnya nurani dan imparsialitas pandangan hukum yang kerap terjadi. Untunglah cerita yang saya salin sama sekali tidak menyebut nama perusahaan atau label usaha tertentu. Fitnah apa pun memang harus diberantas dan tidak layak dipublikasi.
LikeLike
http://www.snopes.com/glurge/laguardia.asp
LikeLike
Oke siiip.
LikeLike
sip… 😀
LikeLike
Menggambarkan dengan kontras perbedaan kelas yang sangat jauh yg ada dalam msyarakat…
Kenyataan dalam negeri kita…
Tersentuh saya membaca ini, Mas.
Salam,
LikeLike
Semoga kesenjangan di negeri kita semakin terkikis ya Pak.
LikeLike