Titik Nadir

Dalam hidup, tak selamanya orang berada pada satu titik statis. Kehidupan kita cenderung dinamis. Bergerak dan melaju dengan aneka perubahan. Bahkan hidup yang monoton pun tetap menyisakan perubahan dan tidak pernah benar-benar sama dengan titik stagnan yang pernah kita alami. Dinamika hidup membuat kita bersemangat atau sebaliknya malas untuk menjalani kehidupan. Semuanya bergantung pada persepsi dan perspektif kita memandang sebuah hal.

Pada sebuah titik yang rentan, saat semuanya terasa berat dan tampak tak mungkin, kita menyebutnya titik nadir. Titik terendah di mana kita dihadapkan pada hal-hal berat atau sangat pelik untuk ditanggulangi. Titik di mana kita seolah tak sanggup melangkah akibat beban yang teramat muskil kita emban. Inilah yang disebut breaking point, saat di mana hati dan pikiran beradu untuk mengeksekusi suatu masalah. Saat di mana otak dan nurani bersitegang untuk menjatuhkan keputusan penting. Saat di mana keimanan dan kepentingan menjadi elemen paling esensial yang sangat menentukan.

Separuh porsi nasi dan kuahnya
Saya teringat pada kisah seorang anggota band kenamaan di negeri ini. Sebelum tenar dan berlimpah materi seperti sekarang, ia menuturkan kepedihannya mengingat sebuah momen dalam hidup. Sepulang berlatih, mungkin, ia bertolak hendak pulang. Pada saat yang sama, perutnya keroncongan.

Namun sayang, uang yang ia miliki di kantong sangat terbatas. Hanya cukup untuk ongkos pulang naik angkutan umum dan menyantap makanan ala kadarnya. Tak kuasa menahan kelaparan, ia pun mampir ke sebuah warteg dan memesan makanan. Demi mengirit ongkos, ia lalu meminta sepiring nasi (dengan porsi separuh) tanpa lauk apa pun. Untuk menambah gurih dan nikmat makanan, ia meminta agar nasinya disiram kuah saja. Dan tandaslah sepiring nasi itu. Dia menceritakannya dengan mata berkaca-kaca pada sebuah acara di televisi.

Jaket bekas untuk musim dingin
Cerita lain tentang titik nadir saya peroleh dari kisah ayah seorang sahabat narablog. Ayahnya sungguh luar biasa. Saya bahkan hampir menitikkan air mata membaca pengorbanan beliau untuk keluarganya. Ayahnya kebetulan berdinas sebagai prajurit di lembaga militer dan mendapat tugas belajar di luar negeri. Uang saku dari pemerintah sangat terbatas sehingga harus sangat ketat dibelanjakan demi kebutuhan sekeluarga.

Saking terbatasnya, mereka tak sanggup membeli jaket atau sweater baru saat musim dingin untuk kedua anaknya. Mereka pun membeli jaket bekas yang masih layak pakai. Perlu dicatat, jaketnya bukan lagi secondhand, melainkan sudah thirdhand, atau bahkan hand-hand yang kesekian kali. Karena tak sanggup membeli dua jaket, teman blogger ini ikhlas memakai sweater berlapis-lapis agar adiknya bisa memakai jaket hangat. Gurunya di kelas bahkan sempat berseloroh, “Why aren’t you wearing a jacket? You can get sick!!” Ia hanya tersenyum menanggapinya.

Untuk menambah penghasilan, ibunya bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran milik orang Indonesia. Bila ada sisa makanan yang masih layak, seperti bahan-bahan makanan yang tak habis terpakai (karena orang di Amerika mudah sekali membuang makanan), maka ibunya akan membawanya pulang untuk mereka sekeluarga. Lumayan menghemat uang belanja dan meringankan beban ayahnya.

Kejadian yang paling membekas adalah saat sang ayah tak punya uang untuk memulangkan keluarganya ke tanah air. Setelah mendapat pinjaman biaya pulang dari seorang teman, ayahnya pun mengantar mereka ke bandara. Karena sang ayah tak lagi punya uang, maka ia pun pulang dengan berjalan kaki. Berjam-jam. Berjam-jam, Saudara-saudara!

Namun kehidupan mereka kini sudah lebih baik dan aman sentosa. Titik nadir mereka lewati dengan bijaksana.

Paper 150.000
Kisah pamungkas ini saya petik dari pengalaman saya pribadi. Suatu pagi, saat masih kuliah di Semarang, saya enggan beranjak dari tempat tidur. Biasanya selepas shalat Subuh, enaknya berjalan kaki ke wilayah sekitar kos lalu menyantap semangkuk bubur kacang ijo hangat saat kembali ke kos. Saya merebahkan diri sambil memegangi perut yang keroncongan.

Di dompet mungkin ada duit, sekitar 1.000 rupiah, cukup untuk membeli beberapa buah gorengan. Namun itu uang terakhir saya, sementara saya tak mungkin lagi meminta ibu saya mengirim uang. Saat itu beberapa kali saya mendapat tambahan biaya dari honor menulis puisi atau tulisan di majalah/koran. Jumlahnya sangat lumayan. Bisa untuk membayar kos dan membeli sepatu baru.

Namun pagi itu saya hanya meringkuk di kamar, tak tahu harus mengerjakan apa. Ponsel belum punya, sedangkan menelepon teman untuk meminta tolong pun tak ada biaya ke wartel. Saya menahan perut yang melilit karena kelaparan entah sampai berapa jam. Sambil tenggelam dalam kekalutan lantaran tak ada uang, saya entah tertidur atau setengah terjaga.

Lalu terdengar pintu kamar kos terbuka. Teman sekamar dari luar kota datang dengan senyum mengembang setelah mengucap salam. Saya menangkap aura kebahagiaan, dan harapan. Betul, ia memang menyelamatkan saya. “Mau uang 150.000?” tanyanya begitu saya bangkit. “Iya dong!” jawab saya singkat dan mantap. Ia membawa uang tunai itu dan kami bagi berdua.

Uang itu adalah imbalan bagi kami untuk membantu seorang mahasiswa pascasarjana menyusun paper tentang filsafat. Kami pun langsung mengiyakan dan segera berburu buku-buku ke perpustakaan daerah yang letaknya tak jauh dari kos kami. Filsafat memang bukan barang baru bagi kami berdua. Kami kerap memperbincangkannya di kamar kos, bahkan lebih sering ketimbang membahas mata kuliah kami sendiri, hehe.

Ya, akhirnya saya bisa makan hari itu dari uang yang “halal”. Saya sadari mungkin itu tindakan tak terpuji dengan menulis paper untuk orang lain. Kami memang salah. Tapi saya sedang butuh uang. Semoga Allah mengampuni saya. Sebab saya berada pada titik nandir. Titik di mana kita bisa saja melakukan tindak kejahatan dan membahayakan orang lain demi memenuhi kebutuhan kita saat itu. Titik nadir adalah sebuah ujian bagi kita apakah kita akan berpikir rasional dan bijaksana ataukah mengikuti hawa nafsu yang durjana.

Pelajaran penting yang saya dapat adalah bahwa mari memanfaatkan kondisi kita untuk berbuat baik. Jangan pelit dan sombong atau suka itung-itungan meskipun kita sudah belajar matematika. Bagaimana pun kondisi kita, mari bersyukur agar Tuhan melimpahkan keberkahan senantiasa.

Pernahkah Sahabat berada pada titik nadir? Boleh ceritakan di kolom komentar? Bagi kisah paling menyentuh, akan ada hadiah pulsa.

34 Comments

  1. Saya tak punya kisah di Titik nadir yang mendayu seperti contoh di atas, karena saat ini saya masih bertahan di titik itu dan belum berhasil bangkit.
    Lapar? Biasa. Tak bisa menulis karena komputer rusak dan tak mampu membeli hardware tertentu? sampai hari ini. Haha… Berbulan-bulan sampai teman blogger yang tak tahu mencemoohpun saya jawab dengan senyum. Tak ada keluhan. DItangisi anak karena tak bisa jajan? Biasa juga. Itulah seninya hidup. Yang terpenting adalah kami bahagia di situasi serba tak ada. Bahkan saya takjub ketika si sulung berkata, “Kita jauh lebih kaya ya Ma, karena kita bahagia. Mama-papa pura-pura tak punya karena menabung untuk membeli rumah.”
    😀
    Saat ini ada harapan titik nadir itu terlewati. Berbekal laptop keponakan dan internet seadanya, saya kembali menulis dan berkarya. Alhamdulillah dipercaya membuat artikel berbayar setiap hari dan bisa membantu beban suami mengembalikan hasil kebangkrutan kami tahun lalu. Itulah seninya hidup. Berada di titik nadir? temannya banyak kok…. 1 juta kali lebih banyak dari yang berada di puncak langit.
    Btw, nice theme mas Rudi.

    Like

  2. Alhamdulillah diusia dewasa, belum pernah berada di titik nadir, tp jika ingat ke masa kecil, sampai saat ini saya masih menangis, masih melekat diingatan ketika ayah jatuh bangkrut, kami pun harus rela numpang dan hidup di satu kamar ukuran 9 m persegi berlima, ayah yg seorang direktur, harus rela menjadi sopir angkutan barang, yg harus berjam-jam menunggu siapapun yg butuh mobil bak terbuka yang juga butut.
    Ibu menerima jahitan dr para tetangga. Dan saya untuk bisa sekolah, hrs berjalan jauh ke sekolah, dan agar dapat sedikit uang jajan, saya pun berjualan Timun dan kerupuk di pinggir jalan, tp apa karena saya masih kecil ya.. jd berjalan jauh untuk ke sekolah dan berjualan itu bukan satu tekanan, bahagia rasanya meski dpt bbrp rupiah saja 🙂
    Saya pun bertanya heran mengapa radionya dibawa pergi..?? dan saat saya mulai remaja, saya pun mengerti radio itu dijual untuk bayar spp kami..ya Allah …
    Pandangan yg merendahkan dan cibiran orang lain pun baru saya mengerti setelah saya semakin besar, terjawab sudah pertanyaan saya mengapa saya sering melihat ibu menangis diam-diam…

    Like

  3. Bangkit dari titik nadir merupakan pekerjaan khusus bagi mereka yang terpilih. Keputusan ditangan mereka apakah mau move on atau berdalih macam2 untuk bertahan di sana. Sebab apaoun yang dipilih Allah akan memperlihatkan hasilnya 🙂

    Like

  4. sebenarnya saya dan keluarga pernah berada pada titik nadir, bahkan di bawahnya. Bermula 17 tahun yang lalu, ketika itu kami sekeluarga yang hidup serba berkecupan, bahkan bisa dikatakan berlimpah nikmat rizki dari Allah SWT. Semua keadaan berbalik 360 derajat saat bulan Maret 1997 tulang punggung keluarga kami meninggal, orang yang paling kami sayangi pergi dan tak kembali lagi,
    Saat itulah perubahan hidup kami sekeluarga begitu drastis berubah, biasanya handai taulan yang datang ke rumah kami untuk meminjam dana guna memenuhi kebutuhan hidup, waktu itu justru kami yang mendatangi sanak famili untuk sekedar mengisi perut 4 putra yang masih mungil2, dan itu semua dilakukan oleh ibu sendirian. Dari perjuangan ibulah dalam membesarkan 4 putera mungilnya sebatangkara aku mempelajari betapa kuatnya cinta itu.
    kalau mau diceritain semua kayanya bisa buat satu tulisan sendiri, :D. Terkadang kita harus merasakan bagaimana rasanya berada di titik nadir, agar tak lupa diri. 🙂

    Like

    1. Ayo Mas tuliskan dalam satu postingan khusus, atau malah dalam satu buku sendiri. Itu bisa menjadi kado terindah buat ibu Anda yang luar biasa. Terima kasih sudah turut berbagi ya 🙂

      Like

  5. saya pernah berada pada suatu masa yang saya anggap suram, apakah itu termasuk titik nadir atau bukan, saya juga tak tahu pasti..,
    saat itu sudah hampir setahun saya tak mendapatkan orderan, sementara kantor tempat saya bekerja sudah me-warning, bila tak bisa mendapat orderan pada tahun ini,,berarti saya harus siap2 dipecat…, dipecat berarti saya harus siap jadi penggangguran,,,apalagi usia saya tak mudah lagi…itu menjadi beban pikiran tersendiri…segala cara telah kuupayakan, hingga expand cost meningkat drastis, namun tak kunjung berhasil juga…tapi rupanya ALLAH punya rencana lain…,
    menjelang deadline akhir tahun,,dan di saat saya sudah hampir patah arang dan pasrah…,saya mendapatkan orderan secara beruntun…,alhamdulillah,
    meskipun tidak mencapai 100% dari target, namun orderan itu menyelamatkanku…untuk tetap bertahan di tempatku bekerja.
    keep happy blogging always…salam dari Makassar 🙂

    Liked by 1 person

  6. Pernah pas kena hutang sama orang dan dia nagih2 terus. sementara aku ga berani cerita sama ibuku. Soalnya itu uang buat bisnis yang ternyata gagal. Wew, bener2 ujian yang berat. Duit di dompet cuma 50 ribu yang entah bisa bertahan sampe berapa hari. Pas diirit2, tau2 ada temen tetangga kamar yang memang kuliah cuma dua hari seminggu di akhir pekan, ngasih kue gedee, disitulah aku tau kalo Allah bakal selalu menjamin rezeki dalam bentuk makanan atau apapun untuk setiap hambanya yang masih hidup. Habis itu sebisa mungkin kalo ada rezeki lebih, selalu inget buat ngasih ke orang yang membutuhkan, karena pernah ngrasain ga enaknya ga bisa makan/kekurangan.

    Like

  7. Tahun 2007, mengikhlaskan tanah, rumah plus perabot dan seisinya, ditambah mobil untuk diberikan kepada seseorang yang mengakui sebagai miliknya, milik yayasannya. Lalu kami kembali ke rumah ibu, untuk sementara numpang tinggal. Kemudian banyak yg mengatakan saya sudah gila. Apakah itu tidak nadir mas? Saya sendiri tidak begitu paham. Sebab bagi saya, harta benda, jabatan, anak dan istri adalah titipan dari Sang Maha Punya. Sewaktu-waktu pasti akan terambil juga. Begitu pun dengan nyawa saya. Tetap ikhtiar, sabar dan ikhlas dalam suka atau duka. Itu saja yang kami lakukan. Meski terlihat menyakitkan bagi orang lain. Alloh telah menghibur kita: laa taghdab, laa tahzan. Jangan takut, jangan bersedih, karena Aku bersamaMu.

    Like

    1. Betul, Mas. Bersyukur kalau kita pernah berada di titik seperti itu lalu sekarang kita berada di titik yang lebih baik. Jika pun suatu saat kita berada di titik yang sama, kita tetap siap sebab sudah tahu senjatanya 🙂 Terima kasih.

      Like

  8. Sering mas, terakhir saat tak memegang uang sepeserpun, hamil tua, gajian masih lama, beras dirumah habis, sedang suami sedang diluar kota itupun lagi masa training dan tidak mungkin saya meminta transferan. Kalo cuma saya yang dirumah, bisa puasa, tapi masih ada mertua dan adik ipar yg harus ditanggung. Dengan berat hati HP kesayangan dijual, demi menyambung hidup. Hidup memang penuh perjuangan, tanpa itu rasanya hampa mas. Tidak selamanya roda dibawah kan, tapi saat diatas orang2 hanya melihat enaknya hidup kita, tanpa tahu perjuangan yg harus dilewati sebelumnya.
    Semangat mas.

    Like

    1. Betul, Mbak Prima. Alhamdulillah masih punya sesuatu yang bisa kita andalkan. Masih punya keyakinan dan hape ya, hehe. Selagi punya semangat, saya yakin selalu ada jalan kok. Dengan selipan mas sulit, hidup jadi berwarna dan penuh cerita. Semoga sukses selalu, Mbak! 😀

      Like

  9. Pernah berada di titik nadir 2 tahunan yang lalu. Saya dan suami hidup terpisah, saya di Purworejo sedangkan suami di Semarang. Kebetulan juga saya sedang kuliah di Magelang dan hamil lagi di semester2 akhir. Gaji suami yang tak seberapa harus di bagi2 untuk keperluan hidup dua dapur, keperluan anak2 dan biaya kuliah saya. Waktu itu semester 6,7 dan 8 membutuhkan biaya yang sangat banyak. Pernah, saya ke kampus hanya nebeng teman dan tidak makan (kuliah dari jam 07.30-17.30) karena benar2 tidak punya uang. Uang habis padahal gajian masih jauh, itu sudah sering kami alami. Bangun pagi2, mengurus anak-anak yang mau sekolah kemudian menitipkan bayi saya dengan naik sepeda motor sendiri ke rumah adik hampir setiap hari saya jalani. Hingga suatu hari, ada teman kuliah yang prihatin dengan kondisi saya menawarkan solusi. Saya di minta mengerjakan tugas-tugas kuliahnya (bahkan skripsi juga) dengan imbalan uang. Karena saya benar-benar butuh uang, sayapun mengiyakan. Saya lah yang mengerjakan semua tugas2 kuliahnya hingga dia lulus.
    Alhamdulillah, tahun 2013 saya lulus dengan hasil cumlaude, dan sekarang bisa berkumpul lagi dengan suami saya di Semarang.

    Liked by 1 person

    1. Luar biasa perjuangan Anda ya Mbak. Tapi hidup jadi menarik dan seru dengan warna-warni seperti itu, Mbak. Sekarang bergembira dan memetik hasilnya. Alhamdulillaaah….Semoga makin sukses!

      Like

  10. Di saat breaking point inilah keimanan kita diuji. Jadi inget jungkir balik yang aku alami. Nggak pernah menyesal pernah merangkak keatas lagi setelah jatuh dari atas. Semua ada hikmahnya 🙂

    Liked by 1 person

  11. saya “mungkin” sedang berada pada titik nadir sejak usia 18 th-22 th..
    mulai dari ditipu 2,5 juta (bagi saya itu besar,saat it saya masih 18 th blm punya uang).
    ==>ditipu lagi 1 juta ==> gagal meraih cita2. ==> diperkosa olh org yg sya juga tdk tll megenal (saat hampir usia 20) lalu ==>saat sya mulai sembuh dari trauma==> calon suami meniggalkan saya (ini masih dlm fase gagal meraih cita2 lalu)==> dijauhi teman bahkan orang tua saya (feel so alone hingga kini saya berusia 22 tahun).

    tp sungguh saya sangat senang,, karena saya masih sehat ….yay
    alhamdulillah……paling tidak saya sehat & masih hidup di dunia (blm kena siksa di kubur & neraka) soalnya saya ini dosanya banyak…

    maaf saya jd curhat…heee

    Like

  12. Berada dalam titik nadir kadang membuat kita mencari jalan pintas. Bagi saya terkadang sulit untuk dihadapi sendiri. Butuh bantuan orang lain agar tetap tenang menjalaninya 🙂

    Like

Tinggalkan jejak