Sang Patriot: Dari Jember untuk Nusantara

Judul Buku: Sang Patriot, Sebuah Epos Kepahlawanan
Penulis: Irma Devita
Penyunting: Agus Hadiyono
Penerbit: Inti Dinamika Publishers
Cetakan: I, Februari 2014
Tebal Buku: xii + 268 halaman
ISBN: 978-602-14969-0-9

s
Saya membaca tuntas buku ini didasari dua motivasi utama. Pertama, ingin tahu seperti apa karya fiksi gubahan seorang praktisi hukum, apalagi kisah tentang cerita kepahlawanan. Kedua, ingin mengenal lebih dalam sosok pahlawan yang menjadi tokoh sentral cerita. Hasilnya? Beraneka ragam perasaan timbul tenggelam selama proses pembacaan. Gugusan emosi dan reaksi psikologis mencengkeram diri saya saat menikmati lembar demi lembar novel berjudul Sang Patriot ini.

Buku ini dibuka dengan prolog yang sangat mencekam. Fragmen pembuka ini sukses menyihir perhatian dan menjanjikan drama yang lebih menarik pada halaman-halaman berikutnya. Kisah asmara Hasan dan Amni hadir untuk menegaskan kekuatan karakter yang kemudian menitis kepada Sroedji. Sebagai pedagang tulen yang dibesarkan di lingkungan pesantren, ini cukup menjadi bekal bahwa Sroedji sang anak kelak memang tumbuh sebagai seorang pejuang muslim yang taat.

Kecerdasan, wibawa, dan kemurahan hati Sroedji bahkan telah tampak sejak kecil. Saat membantu menjual sarung ayahnya, misalnya, Sroedji begitu saja merelakan sarung kepada pembeli tanpa meminta bayaran (hal. 17). Nilai-nilai positif inilah yang kemudian membentuk Sroedji menjadi prajurit tangguh dan disegani.

Santun dan cerdas
Sroedji yang romantis dan jago bermain musik juga menyanyi berjodoh dengan Rukmini, wanita berparas jelita dengan didikan keras dari ayahnya yang seorang pamong praja. Baik Rukmini maupun Sroedji dikaruniai otak yang encer sehingga meski mereka berasal dari keluarga berbeda latar belakang namun kompak merajut cinta suci dalam keluarga yang kokoh. Kebahagiaan membuncah dalam benak Rukmini karena berdampingan dengan lelaki pintar, tampan, santun, dan romantis.

Namun keutuhan rumah tangga mereka diuji ketika Sroedji tergerak untuk ikut berjuang demi republik dengan bergabung ke dalam PETA di Bogor, meninggalkan kedua anaknya dan istrinya yang baru saja melahirkan. Padahal pekerjaannya sebagai mantri sudah cukup. Selain itu, diam-diam Rukmini ternyata menyembunyikan sesuatu dari suaminya, hal penting yang tak mungkin ia nyatakan. Dan di balik kecerdasan Sroedji, ada hal lain yang membuat Rukmini kaget setelah mereka menikah dan menjalani bahtera keluarga bersama.

Bagaimana nasib Rukmini dan anak-anaknya setelah itu? Dan bagaimana Sroedji mengatasi setiap rintangan dan gejolak kehidupan pascapendudukan Belanda dan masuknya tentara Jepang? Sang Patriot membentangkan jawabannya dengan dramatis dan benar-benar mengaduk-aduk emosi. Kadang saya ikut bergembira bersama tokoh-tokoh dalam cerita, atau tiba-tiba disergap rasa takut yang luar biasa. Namun tak jarang saya dibuat geram dan murka serta jijik, atau malah tertunduk dengan mata berkaca-kaca.

Inilah novel heroik yang membuat saya seolah mengalami langsung setiap peristiwa dan kengerian selama pertempuran. Untuk mendapatkan efek kenikmatan yang utuh, saya anjurkan agar Sahabat membaca langsung novel ini sebab saya tak akan membocorkan lebih banyak lagi dalam tulisan ini. Sebaliknya, saya akan tuliskan beberapa poin yang saya sempat catat selama membaca kisah patriotik Komandan Brigade Damarwulan ini.

Busuknya penjajahan
Sebelum membaca buku ini, saya baru saja mengkhatamkan buku biografi Mien Uno. Dalam buku tersebut dikisahkan betapa keji dan biadab bangsa penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Makanan dan pakaian begitu langka hingga paceklik seperti tanpa musim. Rakyat dilanda musibah. Nah, Sang Patriot ini memotret penderitaan warga pribumi akibat kekejaman negara penjajah diceritakan dengan lebih banyak dan lebih baik karena kisah perjuangan memang melatari buku setebal 280 halaman ini guna membangun sosok Sroedji apa adanya. Tak henti saya mengurut dada dan geram tatkala membaca deskripsi tentang kekejaman bangsa imperialis. Istigfar berkali-kali dan penasaran mengapa manusia bisa sekejam dan sebiadab itu terhadap manusia lain.

Nikmatnya kemerdekaan
Dibanding zaman penjajahan yang begitu menyakitkan, sebagaimana diceritakan dalam buku ini, rasanya kehidupan kita kini jauh lebih baik dan lebih beruntung. Menyimak perjuangan hebat para martir ini membuat saya bersyukur bahwa kita sudah merdeka dan mengenyam pendidikan layak juga kehidupan yang memadai, walaupun relatif.

Serampung membaca buku ini, muncul semacam kesadaran untuk tidak menyia-nyiakan kemerdekan yang telah diraih dengan darah dan air mata di berbagai wilayah Nusantara. Rasanya rugi bila kita sibuk mengecam pemerintah tanpa berbuat positif menurut kemampuan kita. Ingat, kesulitan kita tak ada apa-apanya dibanding petaka yang pernah menimpa pendahulu kita. Kini kita bisa bersekolah, bekerja, dan menghirup udara kebebasan tanpa susah payah.

Pasangan yang harmonis
Rukmini dan Sroedji ibarat dua sisi mata uang logam. Mereka adalah pasangan yang serasi dan dinamis. Rukmini berangkat dari keluarga terdidik dengan didikan keras dan disiplin tinggi, sedangkan Sroedji dari keluarga pedagang yang menjunjung tinggi kejujuran dan nilai agama. Mereka ibarat Yin dan Yang, saling melengkapi. Keduanya kadang keras tapi tegas, logis tapi tetap idealis, terutama dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Rukmini dengan legowo merelakan suaminya bergabung sebagai prajurit meskipun mereka harus mengorbankan perpisahan dan kerinduan. Pun juga Sroedji, ia mampu menenangkan istrinya dan para pasukannya dalam berbagai situasi genting yang sangat penting.

Pentingnya bahasa daerah
Saya tak tahu apakah ini ide penulis ataukah Sroedji muda memang memiliki pandangan demikian. Yang jelas, larangan Sroedji terhadap Rukmini untuk tidak menggunakan bahasa Belanda atau bahkan Madura di dalam rumah mereka patut menjadi renungan bagi saya. Ini memang terdengar ekstrem, namun relevan. Betapa banyak keluarga masa kini yang tak lagi mengenal bahasa ibu akibat lebih mengutamakan penguasaan bahasa asing.

Ini tentu saja bukan sentimen negatif terhadap bahasa asing, namun lebih pada penekanan akan pentingnya melestarikan budaya daerah, salah satunya dalam bentuk penggunaan bahasa. Menurut data Google, saat ini ada ribuan bahasa lokal yang terancam punah akibat tak lagi digunakan. Dan Google bahkan membuat proyek khusus untuk menyelamatkannya.

Semangat dan nasionalisme Sroedji
Tak ada perasaan lain selain kekaguman pada semangat dan nasionalisme Sroedji. Ini dibuktikan dengan pengorbanannya beberapa kali berpisah jauh dari keluarga dan kepatuhan pada perintah atasan meskipun harus berhadapan dengan sanggahan dari bawahan atau kepentingan pribadinya. Dalam berbagai kesempatan, Sroedji selalu menegaskan bahwa kemerdekaan dan kebebasan bagi anak cucunya dan kemenangan republik jauh lebih penting daripada menjadi bangsa babu atau terjajah.

Dedikasinya yang tinggi terbukti saat ia harus mengosongkan kantong-kantong gerilya sebagai konsekuensi perjanjian pemerintah dengan Belanda. Nasionalisme dan patriotisme Sroedji saya duga juga dipompa dari Rukmini istrinya yang cerdas dan tabah, yang tidak pernah mengeluh saat ditinggal bertempur demi cita-cita kemerdekaan.

Memori sejarah
Novel ini tak ayal menjadi salah satu referensi pembelajaran sejarah yang asyik. Meskipun disajikan dalam bentuk fiksi, namun garis besar sejarahnya rasanya mampu mengingatkan kita bahwa NKRI yang tegak berdiri saat ini bukan mukjizat belaka, melainkan dibentuk dan direbut melalui serangkaian perjuangan panjang dan berat demi sesuatu bernama kemerdekaan. Ini membuat saya berpikir bahwa pasti banyak pahlawan daerah yang selama ini tidak terekspos padahal mereka telah gigih berjuang dengan jiwa dan raga. Muncul ide untuk menuliskannya, kenapa tidak?

Biadabnya pengkhianat dan opotunis
Dalam beberapa kesempatan, tentara republik harus rela dihujani peluru penjajah akibat keberadaan mereka yang terendus oleh Belanda atau Jepang. Rencana dan strategi para pejuang entah mengapa bisa tercium oleh radar musuh. Ternyata itu akibat ulah tikus biadab bernama pengkhianat. Kejadian paling tragis adalah tewasnya Letkol Sroedji setelah dikepung musuh di Karang Kedawung, Jember. Gerak-gerik pasukan Sang Patriot terbaca karena Somad—seorang Indo-Belanda—menyusup dalam jajaran prajuritnya. Karena pengkhianatan Somadlah Sroedji akhirnya terjepit dan tewas dengan mengenaskan. Dalam pertempuran itu gugur pula sahabat dekatnya dr. RM Soebandi.

Pengkhianatan memang berbahaya. Dan saya memandang ini relevan dengan kondisi terkini di tanah air. Maraknya kasus korupsi dan suap sungguh memprihatinkan. Pada konteks Indonesia modern, para koruptor adalah pengkhianat. Apa sebab? Mereka yang telah mendapat amanah dari rakyat justru mencampakkan kepercayaan itu. Di depan rakyat mereka bermuka manis dan tampil intelek, namun di balik punggung kita mereka asyik menggerogoti kekayaan dan sumber daya Indonesia. Siapa pun yang tidak berpihak pada rakyat berarti ia pengkhianat. Mengkhianati hati nurani dan titah Tuhan untuk memakmurkan alam semesta.

Sayang sekali, dalam novel ini tdak dijelaskan bagaimana nasib para pengkhianat. Padahal saya membayangkan mereka mendapat pembalasan dendam setimpal ala film Hollywood. Serius, jengkel benar saya!!!

Tiga momen sentimentil
Saya tak bisa menyembunyikan perasaan haru ketika membaca beberapa adegan dalam buku ini. Ada tiga fragmen yang sangat menyentuh hingga membuat saya hampir menitikkan air mata.

“Sayang ya Bu … kamu demikian pintar, tapi nasib dan kondisi kita menyebabkan kamu tidak dapat memenuhi cita-citamu…” (hal. 65)

Ini terlihat seperti kalimat sederhana, dan memang sederhana. Namun ia mampu menggugah hati saya karena didahului dengan momen-momen atau peristiwa penting sebelumnya. Untuk bisa menangkap ‘jiwa’ kalimat ini, harus dibaca dahulu kejadian-kejadian sebelumnya. Silakan baca ya. 😉

Fragmen kedua adalah ketika rumah Rukmini dijarah oleh maling padahal ia tengah seorang diri dan sedang hamil tua (hal. 112-113). Beruntunglah ia telah pindah ke rumah di seberang rumahnya dahulu. Dari jauh ia mengintip rumahnya ‘dikosongkan’ oleh para maling. Ia terduduk lemas di tengah malam. Membayangkan wajah sang suami dan memanjatkan doa. Sungguh menyedihkan juga menyentuh. Mata langsung memerah, ihiks. 😦

Peristiwa terakhir adalah gugurnya Sroedji di Jember. Suasana berkabung cukup berhasil digambarkan, mulai dari prajuritnya yang menyamar hingga tembakan salvo yang seolah terdengar nyata. Sungguh menyedihkan.

Terjemahan kalimat/frasa asing
Dalam beberapa adegan, penulis menghadirkan tokoh berujar dalam bahasa Jepang, Belanda, ataupun Jawa. Dalam beberapa dialog, kalimat atau ekspresi asing kadang diikuti terjemahan langsung dalam bahasa Indonesia. Namun tak jarang pula kalimat berbahasa asing muncul tanpa penjelasan sehingga pembaca harus meraba-raba maksudnya melalui konteks cerita. Ketidakkonsistenan ini agak mengganggu alur pembacaan.

Saya memahami bahwa kalimat atau ekspresi asing itu tak mungkin diganti dengan kalimat berbahasa Indonesia karena mereka memuat emosi tertentu. Kalimat yang sering muncul adalah ekspresi berbahasa Jawa yang memang menunjukkan unsur khas di daerah Jawa Timur. Bagi pembaca berbahasa Jawa tentu bukan masalah. Namun pembaca dari daerah lain bisa jadi akan kebingungan menduga artinya akibat tak disertai penjelasan.

Bila memang harus dituliskan terjemahannya langsung setelah kalimat asing, tak masalah. Hanya saja dialog akan menjadi lebih panjang. Ini yang biasanya dipakai dalam novel-novel berbahasa Inggris. Atau bisa pula dibubuhi tanda bintang lalu disematkan terjemahannya di bawah halaman sebagai catatan kaki. Ini menurut saya akan sangat membantu. Mungkin bisa diupayakan dalam edisi revisi pada cetakan berikutnya.

Narasi dan dialog
Harus saya akui komposisi narasi dan dialog dalam buku ini tidak berimbang. Narasi hadir lebih dominan yang tak jarang dituliskan dalam paragraf-paragraf panjang. Ini bisa membawa risiko yakni pembaca menjadi megap-megap saat mencoba merangkai jalinan cerita. Kehadiran dialog akan membuat cerita menjadi lebih hidup dan yang lebih penting lagi: melibatkan emosi pembaca.

Mengenai dialog, pada bagian-bagian awal penulis tampaknya belum luwes mengakrabi tokohnya. Dialog terkesan kering dan kurang emosional. Namun pada dialog-dialog yang muncul belakangan, walaupun tidak banyak, penulis tampaknya sudah menguasai psikologi tokoh sehingga mereka berbicara dengan alami dan komunikatif. Secara otomatis cerita pun kian hidup karena emosi pembaca terbawa larut dalam setiap ucapan tokoh. Hanya saja cukup disayangkan karena dialog minim adanya.

Untungnya, penulis piawai menyusun narasi yang memikat. Teknik bercerita yang digunakan memang tidak istimewa, tapi menurut saya sangat berhasil mengantarkan kisah kepada pembaca seperti yang ia mungkin harapkan. Walaupun berlatar belakang hukum dan mengaku ini merupakan novel debut, namun jelas ini bukan kali pertama ia menulis karya fiksi. Saya menduga dia telah berlatih atau malah punya beberapa karya (mungkin cerpen) yang belum diterbitkan.

Kohesi dan koherensi cerita
Dari awal higga akhir saya tak menemukan ketimpangan penceritaan. Penulis menceritakan kisah Sroedji dengan percaya diri dan tenang. Harap maklum, Sroedji yang menjadi objek penceritaan tidak lain adalah kakek sang penulis. Kalimat-kalimatya kohesif dan efektif menyampaikan setiap gerakan peristiwa. Namun bila ditilik dengan lebih cermat, maka rangkaian kisahnya ternyata tidak terlalu mulus. Kepaduan seluruh cerita terasa kurang kuat.

Ini patut dipahami karena saya membayangkan penulis menghadapi banyak sekali bahan sejarah yang harus diolah menjadi cerita fiksi namun tetap menawan. Riset sejarah yang panjang tentu menghasilkan kajian yang berlimpah. Banyaknya sumber membuat penulis agak kewalahan menyisipkan elemen sejarah ke dalam novelnya.

Dan yang paling penting, fragmen sejarah yang dimasukkan ke dalam cerita tentu tidak bisa sembarangan, melainkan harus selektif hanya yang berkaitan atau memaparkan sepak terjang sang kakek atau Letkol Sroedji. Yakni latar sejarah yang bisa membangun sosok Sroedji yang patriotik. Ini menjadi kesulitan tersendiri. Menjahit sobekan kain sejarah menjadi cerita fiksi yang memikat bukanlah perkara gampang.

Alur dan sudut pandang
Untuk mengatasi hal itu, penulis menggunakan alur yang kadang maju dan mundur. Alur maju dan mundur ini dipakai untuk membangkitkan emosi serta keingintahuan pembaca. Langkah ini saya rasa cukup berhasil. Misalnya digunakan saat Hasan diinterogasi Rukmini tentang kabar tersiarnya Sroedji yang sudah meninggal. Efek dramatis tercipta di sini berkat alur mundur. Untuk memudahkan pembacaan, ia menandai loncatan peristiwa dengan keterangan tanggal. Ini sangat membantu menentukan rentetan atau kronologi cerita.

Elemen penting lain adalah sudut pandang penceritaan. Dalam pengantar disebutkan bahwa novel ini ditulis sebagai janji kepada almarhumah nenek penulis, yakni Rukmini yang tak lain adalah istri tercinta Letkol Sroedji. Bisa diduga bahwa selain beberapa saksi sejarah yang masih hidup, sumber sejarah utama adalah Rukmini atau sang nenek. Mengingat Rukmini tidak selalu berada di sisi Sroedji dalam setiap pertempuran, saya pribadi berpendapat bahwa penggunaan orang ketiga sebagai pengisah agaknya kurang tepat. Dr. RM Soebandi sebagai sahabat karib Sroedji rasanya cocok menjadi mata pembaca yang menuturkan setiap peristiwa yang bergolak. Atau mungkin lewat Abdul Syukur yang juga dekat dengan sang komandan. Namun ini adalah soal pilihan. Dan pilihan bukan soal benar atau salah.

Dari Jember untuk Nusantara
Akhirnya, menutup review ini, saya ingin mengutip kalimat dahsyat pada halaman 81 sebagai berikut.

Kekurangan senjata bisa ditambah, kekurangan pasukan bisa digalang, kekurangan ilmu perang bisa dipelajari, tapi kehilangan semangat juang sama artinya dengan kehilangan segala-galanya.

Kalimat tersebut benar adanya. Dalam konteks apa pun, semangat sangatlah vital. Semangat berarti harapan. Bila tak ada harapan, mana mungkin kita sanggup mencapai impian? Sebanyak apa pun dan selengkap apa pun sumber daya yang kita punya, jika tak ada semangat, tak ada kemauan, manalah mungkin kita maju dan meraih cita-cita? Saya teringat ujaran seorang sahabat penyair, bahwa kekalahan sejati bukanlah ketika kita gagal; kekalahan sejati adalah ketika matahari semangat telah padam dalam diri kita.

Kita tiru Sroedji yang berjuang dengan semangat berkobar. Bahkan saat ia tertembak dalam kondisi terkepung pun, ia tetap merangsek Belanda dengan ganas. Sroedji boleh gugur, namun nyala semangatnya tetap menguar di angkasa. Tidak hanya di Bumi Jember, namun untuk kita teladani di mana pun kita berada. Semangatnya begitu menginspirasi. Semangat besar dari kota kecil, demi kemerdekaan Bumi Pertiwi. Dari Jember untuk Nusantara!

Jadi, apa pun kondisi kita sekarang, yuk bersemangat! Kita tak harus mengangkat senjata untuk menjadi patriot. Dengan berfungsi sesuai peran dan kemampuan kita—sejauh itu positif—itulah patriot sejati!

Artikel ini disertakan dalam lomba review novel Sang Patriot

review sang patriot

32 Comments

  1. novel ini memang mengasyikkan untuk dibaca..tak puas rasanya bila tak tuntas ,,,bahkan sekali baca pun tak cukup…..novel ini laksana sebuah oase pelepas dahaga akan novel kepahlawanan yg sudah mulai jarang diterbitkan di Indonesia.. 🙂
    selamat berlomba..semoga menjadi yang terbaik…
    keep happy blogging always…salam dari makassar 🙂

    Like

    1. Setuju banget, Mas Hari. Sudah rampung baca sekarang, nanti bisa dibaca-baca lagi pas pengen menikmati adegan tertentu ya. Adegan favorit saya adalah penghadangan tentara Inggris di jembatan Surabaya oleh pasukan Pak Sroedji. Mantab!

      Like

      1. Bukan jembatan Surabaya mas. Tepatnya jembatan Kali Porong, yang posisinya tepat di utara Pertigaan Porong arah ke Bangil. Salah satu gerbang menuju Kota Sidoarjo dari arah utara (Surabaya). 🙂

        Like

  2. Keren banget reviewnya… soal pemakaian bahasa daerah dan bahasa asing (belanda dan jepang) memang mengganggu karena tidak disertai dengan terjemahan di belakangnya.

    Like

    1. Uneg-uneg saya tumpahkan semua di sini, Mbak. Ga tahu ini review atau bukan. Yang jelas novelnya mengesankan. Soal terjemahan mungkin bisa diperbaiki pada edisi revisi kali ya Mbak.

      Like

    1. Belakangan ini saya memang gemar ngopi, Mas. Tapi kopi produk lokal. Mau dong nanti kita ngopi bareng di Panaongan. Saya belum pernah ke Jember. Pengen liat gumuk dan stasiun Kalisat yang sering disebut teman-teman.

      Like

    1. Ayo Mak beli buku ini. Terus baca deh, kisahnya benar-benar bikin geregetan. Karena inspiratif, bisa juga didongengkan kepada Nadia. Yuk ikutan kontesnya. Jadi ingat belajar sejarah saat SMP-SMA 😀

      Like

    1. Sangat saya rekomendasikan, Mbak, Dibaca bolak-balik juga tetap asyik. Harus lebih banyak buku seperti ini–tentang kisah heroik pahlawan lokal. Atau Mbak Ika tertarik menulis tokoh lokal? Yuk yuk….

      Like

  3. Membaca novel ini seperti mengumpulkan mutiara-mutiara hikmah di kedalaman samudera kata. Saya harus berhenti berkali2 karena terbawa perasaan.

    Mengenai sudut pandang orang ketiga, saya setuju dengan sudut pandang itu, kita berbeda di situ ya mas 🙂

    Tapi secara keseluruhan review ini keren sekali, dituturkan dengan gaya khas mas Rudi, dengan kritis, membangun, dan santun.
    Eh … lho koq malah saya mereview tulisan ini ahahaha

    Pokoknya sukses Mas, kalo ada casting langsung dong casting jadi pemeran utamanya – Mayor Sroedji. Kolonel Sungkoni kan pemeran pembantu posisinya di sini meski dia atasan Sroedji 😀

    Moga menang ya 🙂

    Like

    1. Betul, Mbak. Buku ini memang sarat pelajaran dan mutiara hikmah, tentang banyak hal: tekad mengejar impian, cinta keluarga, tekad untuk merdeka, dan hidup mandiri tanpa campur tangan bangsa lain.

      Alangkah eloknya bila buku ini menjadi bacaan wajib untuk mendampingi buku ajar sejarah di sekolah. Semoga pemerintah merespons dengan penyediaan buku murah atau gratis, Bisa-bisa para siswa lebih tertarik menikmati buku ini ketimbang buku sejarah asli.

      Saya teringat film Freedom Writers yang mengisahkan perjuangan guru mengajar anak-anak berandal dan bermasalah. Mereka gemar tawuran dan saling menghabisi karena tergabung dalam geng yang berbeda. Sang guru ternyata berhasil menyatukan semua murid setelah mereka memperoleh buku gratis, kalau tak salah memoar selama pendudukan Nazi.

      Mereka lalu menyadari betapa rendah permusuhan yang selama ini mereka pelihara. Perkelahian antargeng pun menurun dan mereka berhasil menjadi kuda hitam di sekolah yang sebelumnya dianggap underdog. Terbukti bahwa sejarah bisa menyentuh sisi kemanusiaan mereka.

      Terima kasih dan semoga buku ini menginspirasi ya Mbak. Salam sukses juga untuk Mbak Niar! 😀

      Like

  4. Mas Rudi,… wah reviewnya memang keren mas 🙂 Sudah di akui tuh sama banyak orang, termasuk mbak Rini 😉 Rekomendasinya mas rudi buat para pengunjung blog membuat saya tersipu malu (dan senang tentunya). Terima kasih lagi untuk yang itu. he.he.he.he.he.. 🙂 Mohon doanya teman2 semua agar novel ini bisa menemukan nasib nya sendiri dan menjadi bagian dari pembentukan karakter anak bangsa. aamiin.. 🙂

    Like

    1. Terima kasih, Mbak Irma. Buku yang keren dengan semangat yang keren pula. Semoga ada jalan bagi sang novel untuk tampil dalam bentuk lain ya. Apa pun bentuknya, yang penting sang patriot menginspirasi ya Mbak 😀

      Like

  5. Selama ini jika membaca novel based on true story yang diangkat seringnya tidak jauh-jauh dari cinta, tapi begitu tau based on true story-nya tentang perjuangan jadinya gimana gitu meskipun tetap ada bumbu-bumbu cintanya juga sih..
    Dan begitu baca review ini, wuih makin sensasional haha.. keren reviewnya Cak! mau dong diajarin bikin review yang makjleb seperti ini hehe

    Like

    1. Kisah Sroedji ini memang senasional ya Mbak, namun sensasional dalam pengertian positif. Perjuangan dan pengorbanannya demi kemerdekaan sangat menginspirasi, juga menyentuh. Terima kasih atas apresiasi Mbak Yuni. Yuk jalan-jalan ke JMP 😀

      Like

Tinggalkan jejak