Mengiri (2): Going the Extra Mile

footstep.usegrid.net
footstep.usegrid.net

Setelah berkutat pada definisi dan arti kata iri dalam tulisan bagian pertama, mari kita pertajam makna iri dengan menyelami contoh-contoh konkret. Contoh-contoh yang kerap kita jumpai atau bahkan kita alami sendiri.

Saya yakin perasaan iri, baik envy maupun jealousy pernah menghampiri kita. Perasaan ini menyambangi kita dalam ranah yang beragam: prestasi belajar, kepemilikan sesuatu, kelanggengan hubungan, kesuksesan usaha, kemapanan hidup, dan sebagainya.

Saat melihat pasangan yang hidup serasi dan harmonis, misalnya, batin kita mungkin mencetuskan sesuatu, “Ah, sungguh indah hidup seperti itu. Berdampingan penuh kasih sayang, saling mendukung dan menguatkan demi kebaikan bersama.” Siapa yang tak mengiri melihat pemandangan indah demikian? Orang normal tentu mendambakan kondisi rumah tangga yang harmonis dan sinergis dalam berbagai hal. Inilah envy itu, tapi jangan suburkan ia menjadi jealousy sehingga berpotensi merusak hubungan orang lain akibat ketidaksukaan kita. Tidak suka karena kita tak mampu mewujudkan keharmonisan yang sama, atau tak senang semata-mata karena kita senang melihat hubungan orang lain pecah. Kedua alasan ini sama-sama berbahaya, walaupun yang kedua tentu lebih parah.

Pegawai dan pengusaha
Saya ajukan contoh yang lain. Misalnya kita bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Kita mungkin mengiri pada teman kita yang mendapat bonus lebih besar padahal kita merasa telah mengerjakan tugas yang sama dengan kualitas yang sama pula. Lantas kita didera perasaan iri, juga pertanyaan besar, “Mengapakah bonus kita lebih kecil dibanding rekan kerja tersebut?” Jika perasaan ini tidak segera ditangani, maka ia cukup berbahaya untuk berkembang menjadi dengki.

Atau skema kita ubah. Misalnya kita mengelola suatu usaha, dan seorang teman kita juga menjalankan bisnis yang sama. Katakanlah usaha kita dan teman tersebut dimulai pada tahun yang sama, atau mungkin usaha teman tersebut baru dimulai setahun setelah usaha kita berdiri.

Seiring waktu berjalan, usaha teman tersebut ternyata jauh lebih menjanjikan dengan keuntungan yang menggiurkan. Pesanan barang atau pengguna jasa terus meningkat dan menyumbangkan omset yang tinggi. Lalu perasaan iri pun mengusik kita, “Bagaimana mungkin usaha yang dirintis belakangan justru menghasilkan profit yang berlimpah dibanding usaha kita?” Atau ungkapan batin lain seperti, “Sial, gua udah kerja capek-capek, eh dia yang jalan belakangan malah untung besar dan makin maju aja usahanya!” Atau mungkin bisikan yang lebih ekstrem, “Tuhan maunya apa sih? Kenapa gua kerja udah lama dan peras keringat siang malam tapi tetap aja omset ga sebesar usaha temen gua?” Jika perasaan ini tidak kita tumpas segera, hidup kita pasti tersiksa.

Blogger memborong hadiah
Ada contoh lain yang lebih relevan dengan dunia blogging. Saya menjadi pelanggan setia sebuah blog yang ditulis oleh seorang narablog asal Surabaya. Blognya bertema kuliner dengan tulisan yang menarik dan foto-foto yang ciamik. Blogger bernama Jie ini pernah menggondol tiga unit netbook dari beberapa lomba yang berbeda. Dalam dunia sepak bola, kemenangannya mungkin bisa disebut hat trick ya, hehe. ๐Ÿ˜€ Selain 3 komputer jinjing, dia juga sukses membawa pulang ponsel pintar Blackberry dan 1 unit tablet PC besutan Apple yakni IPad dari lomba yang lain.

Siapa sih yang tak mengiler melihat rentetan hadiah yang menggiurkan itu? Maka tak heran bila para pengunjung ikut bergembira juga mengiri atas keberhasilan Jie memenangi aneka kontes. Sebagian komentator bahkan gemas dan penasaran karena mereka ingin mendapatkan hadiah serupa, termasuk saya.

Namun saat komentator tersebut ditanya, “Sudah ikut lomba apa?” mereka menjawab, “Belum ikut.” Jiaaah, gubrakk!!! Inilah kunci pembahasan kita kali ini: action, plus effort! Betapa banyak orang mengiri kesuksesan orang lain, tapi mereka enggan melakukan apa yang dikerjakan oleh pemenang. Tidak sedikit orang mendambakan keberhasilan atau mencicipi gurih kemenangan, namun mereka tak mau meniru langkah dan upaya para jawara.

Pengorbanan plus plus
Saat kita mengiri pada keluarga yang harmonis, kita tak tahu seperti apa pengorbanan masing-masing pasangan demi mewujudkan keharmonisan itu. Entah berapa kali mereka harus saling melebur ego demi mencapai keseimbangan dalam keluarga. Entah seberapa berat beban yang mereka pikul agar pasangan bisa berdiri dengan percaya diri tanpa terlalu dibebani. Hal-hal semacam ini mungkin tak pernah kita ketahui sebagai orang luar. Bahwa membangun keluarga yang serasi bukanlah abrakadabra semata. Perlu usaha dan kerja keras yang kreatif agar keseimbangan tercapai.

Begitu rekan kerja menerima bonus yang aduhai, kita mungkin tak menyadari bahwa dia telah mengerjakan tugas dengan lebih baik dibandingkan kita. Mungkin tugas kita selesaikan pada tenggat yang sama, namun mutu pekerjaannya boleh jadi lebih teliti, akurat, dan lebih memuaskan bagi atasan. Kita tak akan tahu jikalau kita membiarkan kita dikuasai rasa iri.

Usaha teman kita yang sukses, padahal usianya masih belia, bukan jatuh dari langit semata-mata. Walaupun kita memulai usaha lebih dahulu, namun boleh jadi usaha kita belum sekeras dan secerdas teman tersebut. Mungkin kita kurang promosi sehingga produk kita tak banyak dikenal. Atau barangkali strategi pemasaran kita tidak tepat sasaran sehingga justru menghamburkan biaya alih-alih meraup keuntungan. Atau malah pelayanan kita kurang prima dan kurang tulus sehingga konsumen tidak mendapatkan nilai plus yang membuat mereka kembali pada kita. Konon orang sekelas Ciputra yang sudah kaya raya pun masih rajin bangun pukul 3 pagi untuk menyiapkan langkah dan strategi usahanya. Bagaimana dengan kita?

Nilai tambah
Dan contoh terakhir tentang sobat narablog, ia tidak begitu saja memenangkan beragam kontes blog dengan duduk manis sambil mengakses Facebook, haha. Ia jelas melakukan sesuatu yang lebih dibanding kontestan yang tidak juara. Untuk memperbesar peluang kemenangan, dia berpesan, “Berikan nilai tambah.” Misalnya juri mensyaratkan minimal 500 kata, tentu jangan buat sebanyak 400 kata. Sebaliknya, tampilkan 600 kata yang bertenaga. Bila panitia menghendaki tulisan, tambahkan gambar-gambar yang bagus. Bila disyaratkan adanya gambar/foto, jangan ragu untuk menyisipkan video atau animasi untuk mendukung konten lomba. Intinya, give them more. Jangan sekadar menghadirkan syarat minimal agar bisa menang.

Nah, dari beberapa contoh di atas, semoga kita bisa segera merevisi rasa iri menjadi iri yang lebih produktif. Mereka semua berhasil bukan dengan mengerjakan apa adanya. They are going the extra mile, begitu ujar para pakar motivasi. Mereka melakukan pekerjaan ekstra yang luput oleh perhatian orang lain. Mereka menggarap pasar dengan lebih cerdik dan efektif. Mereka berupaya keras demi mendapat apa yang mereka targetkan.

“Mas, bagaimana kalau kita sudah berjuang dan menerapkan aneka strategi ekstra, namun usaha atau pekerjaan kita tak juga membuahkan hasil yang memuaskan? Ada kalanya saat saya sudah tempuh cara-cara ekstra dibanding orang lain, atau minimal sama dengan mereka, tapi mengapa hasilnya masih tak sesuai yang diharapkan?”

Izinkan saya menjawabnya dalam tulisan terakhir, Mengiri (3).

9 Comments

  1. Saya nunjuk, yang sering iri melihat perkembangan usaha orang lain. Tapi gak pake sakit hati karena tahu bahwa mereka yang lebih maju bekerja dan bertindak lebih baik dari saya. Nah cara meniru mereka yang lebih maju itulah yang saya belum punya, Mas Rudi ๐Ÿ™‚

    Like

    1. Sama dong dengan saya, Mbak Evi. Saya pun mengiri ketika melihat usaha teman berhasil tapi tidak sakit hati sebab saya menyadari mungkin kami belum mengerahkan segala energi untuk bisa menyamainya–atau melebihinya ๐Ÿ™‚

      Like

    1. Harus percaya diri, Mbak. Yang penting mencoba dan berusaha. Soal hasil atau komentar orang kan soal lain. Ngomong-ngomong, tulisan Mbak tentang parenting kan dimuat di antologi Blogger Bicara Parenting. Selamat ya!

      Like

Tinggalkan jejak