Antara Aku, Sroedji, dan Princess Anna of Arrandale

Beberapa bulan terakhir Rumi anak sulung saya sangat gemar menonton film animasi anak-anak. Ada beberapa judul yang kerap ia tonton secara bergantian. Mulai dari Madagascar, Yogi Bear, Kung Fu Panda, dan Frozen. Walaupun berlabel film anak, namun kami tetap mendampingi Rumi atau Bumi saat menonton karena jelas setiap film membawa misi tertentu.

Pesan seragam dalam keempat film tersebut adalah tentang cinta. Madagascar mengisahkan cinta dalam wujud persahabatan antara Marty Zebra dan Alex Singa. Yogi Bear menceritakan perjuangan Yogi dan sahabatnya Bubu dalam upaya penyelamatan taman kota dan seekor binatang langka di dalamnya. Kung Fu Panda merangkum kecintaan Xiao Po Panda terhadap bela diri kungfu. Dalam kesempatan lain akan saya beberkan kisah lengkap petualangan mereka semua.

Cinta antarputri
Film terakhir adalah Frozen. Saya menduga sebagian sahabat narablog sudah akrab dengan film berlatar kerajaan ini. Saking seringnya menemani Rumi-Bumi nonton, saya sampai hafal alur hingga detail beberapa percakapan antartokoh dalam film ini, dan tentu saja dua lagunya yang populer itu.

Anna dikisahkan hendak menikahi Hans namun tak direstui kakaknya, Putri Elsa yang naik tahta sebagai ratu menggantikan ayahnya. Saat terkuak bahwa Elsa memiliki kekuatan membekukan apa saja yang ia sentuh, Sang Ratu pun melarikan diri ke Gunung Utara dan mendirikan kastil megah di sana. Anna sang adik bergegas menyusulnya dengan harapan akan mengenyahkan musim dingin abadi di kerajaan mereka akibat kekuatan Elsa.

Dalam perjalanan Anna dibantu Kristoff lelaki penjual es yang sebenarnya menaruh hati padanya. Saat Anna terkena serangan dari kakaknya, jalan satu-satunya adalah mempertemukan Anna dengan cinta sejatinya, yakni Hans yang kini menjalankan Kerajaan Arrandale sementara. Kristoff pun melesat di atas hewan tunggangannya agar Anna bisa diselamatkan dengan bertemu Hans.

Ternyata mereka salah. Cinta sejati yang bisa menyembuhkan Anna bukanlah ciuman ala Hollywood dari Hans untuk Anna, melainkan cinta kasih Anna dan Elsa sebagai saudara. Ketika Anna terdiam membeku menjadi es, Elsa memeluknya erat sambil menangis dan meratapi tindakan (kekuatan)nya. Cinta yang tulus lantas mengembalikan Anna untuk berubah menjadi manusia normal.

Anna menghalau pedang Hans demi menyelamatkan kakaknya padahal ia tidak merestuinya. Dalam satu scene Olaf si manusia salju menyatakan bahwa cinta adalah melakukan sesuatu di atas kepentingan sendiri. Seperti Kristoff yang mengantar Anna pulang kepada Hans walaupun ia sebenarnya mencintainya. Seperti Anna yang mengorbankan dirinya demi sang kakak saat akan dilukai Hans.

Dari Jember untuk Indonesia
Kisah cinta yang tak kalah menggetarkan saya serap dari perjuangan Sroedji, seorang letkol yang gigih mengusir penjajah dengan gagah berani. Cinta antara dirinya dan istrinya Rukmini tak perlu diragukan lagi. Namun cintanya pada tanah air begitu menginspirasi. Setelah digembleng sebagai elemen PETA di Bogor, ia kembali ke Jember dan bertempur tanpa ampun, dengan cerdik dan penuh semangat bersama pasukannya.

Dalam beberapa adegan Sroedji jelas menunjukkan kualitas pemimpin sejati. Ia berjuang langsung tidak sekadar mengobral perintah. Ia berjuang bukan agar dirinya hidup nikmat, namun lebih karena cita-cita luhur kemerdekaan agar Indonesia tidak menjadi bangsa babu, pecundang, dan terjajah. Cintanya ini melampaui batas wilayah dan menembus sekat kedaerahan atas dorongan kehidupan yang beradab. Ia memilih mati sebagai syuhada atau hidup dengan mulia, tanpa menjadi jongos bangsa mana pun. Sungguh cinta yang menginspirasi.

Kisah lengkapnya bisa dibaca dalam buku menggugah berjudul Sang Patriot karya Irma Devita. Atau intip catatan saya tentang buku ini di sini.

ATM dan anak-anakku
Beberapa pekan yang lalu saya menjalani hari yang agak unik. Seperti biasa suatu siang saya meluncur untuk membeli lauk. Kami memang jarang masak di rumah sehingga membeli lauk di luar hampir menjadi agenda wajib setiap hari. Biasanya agak siang ketika warung-warung sudah siap menjajakan sayur dan lauk matang.

Hari itu saya berencana sekalian mentransfer uang pembelian gamis yang kami beli di Griya Lahfy (GL). Maka saya pun meluncur ke SPBU terdekat di Jl. Tentara Pelajar, tak jauh dari Balitro. Saat akan memasukkan kartu ATM, ternyata dari celah mesin ATM muncul kartu ATM lain. Tentulah itu punya orang yang tertinggal. Saya dilanda kekalutan. Perlukah saya ambil dan amankan? Ataukah cukup saya cabut dan tinggalkan di atas mesin ATM? Saya tengok kiri kanan, melongok ke luar, lihat atas-bawah, tak ada gejala sang pemilik yang ketinggalan. Yang ada malah cahaya yang memantul, jiaahhh. 😉

Setelah mengirim uang pembayaran gamis ke GL, saya putuskan meraih kartu ATM tersebut. Sejujurnya saya bimbang apakah harus saya kirim ke bank pusat ataukah meninggalkannya di bilik ATM. Namun teringat kisah Anna yang berjuang demi kakaknya, dan terinspirasi kisah heroik Sroedji demi tanah air, tentulah mengantarkan ATM ke bank di Jl. Juanda (di seberang Kebun Raya Bogor) belum sebanding dengan pengorbanan mereka.

Saya hanya mengorbankan waktu dan sedikit bahan bakar untuk sampai ke sana. Di rumah saya membayangkan Rumi sudah tak tahan ingin segera menyantap lauk-pauk atau sayuran segar. Biarlah mereka menunggu. 20 menit kemudian saya tiba di bank dan langsung naik ke lantai dua untuk bertemu CS. Saya utarakan maksud kedatangan dan saya meminta petugas untuk mengecek validitas kartu ATM tersebut.

Setelah tahu bahwa kartu tersebut dimiliki oleh seseorang bernama Robert something, petugas CS menanyakan nama saya. Jujur saja saya terbayang akan mendapatkan imbalan berkat tindakan saya tersebut. Pikiran manusia yang normal. Siapa tahu Pak Robert suatu hari menghubungi saya dan membalas saya dengan imbalan setimpal. Namun itu bukan cinta sebab cinta tidak mengenal pamrih. Saya pun lega dan memastikan agar kartu tersebut kembali ke tangan Pak Robert.

Saya sadar betul bahwa pengalaman saya ini berpotensi memancing pikiran negatif tentang upaya riya atau pamer. Tapi begitulah, setiap tulisan memang punya peluang membawa kebaikan atau keburukan, bergantung pada pembaca yang menangkapnya. Yang jelas, berbuat baik itu asyik, menenteramkan, menyehatkan, dan mengundang kebaikan lain untuk kita dari arah yang tidak kita duga.

Jadi, berbuat baiklah kepada siapa saja. Dan lupakan perbuatan mulia itu seperti goresan di atas pasir pantai. Biarkan ia mengundang buih-buih kebaikan yang lebih besar. Lepaskan, ikhlaskan ….

Conceal, don’t feel, don’t let them know.
Let it go..let it go

…..

Gambar dari filmreviewonline.com
Gambar dari filmreviewonline.com

38 Comments

  1. Let it go… let it go… tiap hari nadia muter tu lagu dr suka bosen mblenger suka lg mblenger lg…kyanya harus bikin konser trio deh nadia…rumi..bumi… ^^

    Like

  2. Elsa… do you wanna build a snowman??

    *seorang anak berumur 5 tahunan mengetuk pintu kamar yang ditutup, di balik pintu ada anak berumur 8 tahun yang memakai jubah dari sarung… ini adegan tiap hari di rumahku… -_-

    Like

    1. Luar biasa bius Frozen ya, Mbak. Beberapa kali saya ke percetakan para stafnya cowok maupun cewek juga pada asyik nonton Frozen pas jam istirahat. Hehe.

      Yogi Bear bagus, Mbak. Itu dulu ada film kartunnya, terus sekarang dibikin versi animasi digabung sama manusia biasa, Biar anak peduli lingkungan dan tahu asyiknya piknik bareng keluarga 😉

      Like

  3. Jujur sekali mas Rudi (ttg kisah ATM itu) salut. Sy juga sih kadang2 ada pikiran materialis begitu tapi ketika kemudian saya mendapati diri saya malu (jiah bahasanya), saya kemudian istighfar dan membuang pikiran itu jauh2. Mesti belajar ikhlas ya Mas

    Ttg Sroedji dan Rukmini, saya masih merinding mengingatnya …

    Like

    1. Kisah ini saya tulis sebagai pengingat bagi saya pribadi, Mbak Niar. Agar tidak lupa menyumbangkan amal sekecil apa pun dalam masyarakat. Apalagi setelah nonton Frozen dan menyisir kisah cinta Pak Sroedji.

      Semoga kita bisa menemukan rahasia ikhlas ya, Mbak. 🙂

      Like

Tinggalkan jejak