Gemah Ripah Loh Kok Belum Sejahtera?

Saat duduk di kelas 2 SMA, seorang guru ekonomi pernah berujar sesuatu. Orang Jepang konon berkata kepada orang Indonesia, “Wahai, orang Indonesia, mau tidak kita bertukar tempat? Kalian semua pindah ke Jepang dengan membawa apa saja yang kira-kira kalian butuhkan dan kami akan pindah ke Indonesia hanya dengan celana kolor saja?”

Saya tak tahu apakah kalimat tersebut sebuah anekdot ataukah humor belaka. Namun spirit kata-katanya jelas. Implikasi kalimat itu sangat kuat: Betapa kita memiliki sumber daya alam yang melimpah, dan sebaliknya, Jepang jauh lebih miskin dalam soal mineral dibanding negara kita. Perbedaan lainnya adalah, kita ternyata tidak piawai mengelola SDA yang aduhai tersebut. Begitu cerobohnya kita menangani SDA sampai-sampai negara asing begitu gatal untuk mencaplok dan memanfaatkan sumber daya dengan optimal.

Sobat narablog tentu tak asing dengan lagu populer gubayan Koes Plus yang menyatakan bahwa tanah air kita adalah tanah surga. Boleh dikata segala jenis tanaman atau binatang menemukan kesuburan di negeri ini. Ikan-ikan dan aneka hasil laut siap menjadi cadangan protein kita. Tinggal kita tangkap dan berdayakan. Bahkan tongkat kayu pun disebut-sebut bakal tumbuh menjadi pohon yang subur. Ini sebuah perumpamaan betapa Indonesia adalah karunia besar dari Yang Kuasa.

Emha Ainun Nadjib menyebut Indonesia sebagai bocoran surga. Surga pernah bocor dan bocorannya mengalir menjadi sekuntum zamrud bernama Indonesia. Mungkin ini simile yang hiperbolis, namun ini tepat menggambarkan limpahan rahmat yang melingkupi Nusantara. Hamparan fauna-flora yang menawan, juga kekayaan mineral kita, sungguh patut kita syukuri dengan cara berhemat dan kerja keras.

Dalam coretan ini, untuk meraba pengertian bangga’, saya memilih menampilkan hal-hal yang membuat kita tidak bangga. Dengan kata lain, bila poin-poin di bawah ini bisa kita kurangi, kita kikis hingga habis, maka sensasi kebanggaan akan berangsur muncul dan terbentuk.

1 – MAKANAN IMPOR

Dalam kehidupan modern, interaksi dagang antarnegara lazim terjadi. Negara A membeli barang X dari negara B, atau negara C memasok barang Y ke negara B, dan seterusnya. Yang menurut saya tidak lazim adalah terjadinya impor yang masif di negeri kita dalam hal pangan.

Bila yang kita impor adalah teknologi atau benda yang tidak/belum kita miliki, saya maklum. Namun bila kita mengimpor beras, kedelai (untuk tempe), garam, jeruk, apel, dan daging sapi, sungguh otak saya tak sanggup menalar. Saya orang bodoh soal distribusi bahan pangan, namun rasanya produksi bahan-bahan yang saya sebut itu bisa digenjot dengan aneka teknologi yang kita kembangkan. Bahkan kentang, yang tersedia dalam ragam camilan kemasan, juga kita impor dari luar negeri.

dok. pribadi
dok. pribadi

Gambar di atas saya ambil di sebuah minimarket suatu malam. Saya tak mempermasalahkan rasa atau kehalalannya, namun cukup penasaran mengapa bahkan kentang yang melimpah di negara kita harus diterjunkan dari bangsa asing. Seorang teman bercerita bahwa di Wonosobo sana kentang begitu luar biasa banyak dihasilkan. Lalu mengapa bahkan urusan camilan saja kita beli bongkokan dari negara lain?

Belum lagi dengan beras, padahal petani di kampung saya kerap kesulitan menjual padi mereka lantaran harga dipermainkan oleh tengkulak. Dan pikiran kita mungkin masih segar saat tempe tiba-tiba langka di pasar menyusul demo para perajin tempe yang tak kuat membeli bahan kedelai. Juga insiden para petani garam dari Madura yang menaburkan satu truk garam di tengah jalan sebagai protes menentang kebijakan pemerintah mengimpor garam. Saya persilakan Anda menyusun daftarnya.

2 – BAHASA ASING

Pernah saya singgung dalam blog ini tentang kekaguman seorang bule asal Belgia mengenai kecakapan orang kita yang menguasai beberapa bahasa sekaligus. Orang Belgia tidak memiliki bahasa Belgia. Mereka bercakap dalam bahasa Belanda atau Perancis, sedangkan kita bisa cas-cis-cus dalam aneka bahasa. Satu orang mungkin menguasai lima bahasa, misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Indonesia, dan Inggris. Belum lagi bahasa-bahasa di luar Jawa yang sangat unik dan autentik. Dan tambahkan bahasa asing lainnya, maka kita boleh jadi poliglot yang hebat. Itulah yang membuat takjub orang asing terhadap kita.
talk
Namun kita sendiri kerap abai pada kekayaan khas ini. Kita gemar menyisipkan bahasa asing dalam percakapan padahal tidak terlalu diperlukan. Kita canggung berbahasa daerah saat bertemu rekan sesama daerah lantaran bertemu di ibukota. Saya tidak alergi atau membenci bahasa asing. Hanya saja, bahasa ibu harus tetap lestari sebagai bagian dari khazanah Nusantara yang kaya. Bahasa asing perlu dikuasai dan dipergunakan secara relevan dan proporsional dalam konteks yang tepat.

Bila sebuah percakapan sudah jelas, tentu tak perlu lagi disisipi bahasa asing yang tak perlu. Suatu kali seorang tetangga berujar, “Wah, ini bisa jadi jebakan buat kita nih. Trap ini!” Mengapa harus muncul kata asing sementara jebakan sudah sangat kuat menggambarkan konteks? Inilah penyakit bahasa kita. Lain soal bila memang kata dalam bahasa Indonesia belum bisa mewakili suatu pengertian sehingga mau tak mau membutuhkan uluran tangan anasir asing.

3 – SAMPAH

Saya cukup prihatin karena persoalan sampah belum diangkat sebagai isu nasional yang mengkhawatirkan. Masalah sampah adalah problem lingkungan yang mendesak. Setiap hari saya jengah melihat orang buang sampah sembarangan, dan pelakunya tidak memandang status sosial atau pendidikan. Tak jarang mobil bagus pun menghempaskan tisu atau plastik bekas kemasan ke jalan raya tanpa rasa bersalah. Pejalan kaki atau pengendara motor tak jauh berbeda. Mereka asyik ‘mewarnai’ jalanan dengan aneka sampah yang membuat mata tertusuk-tusuk.

http://www.hispanicallyspeakingnews.com/
http://www.hispanicallyspeakingnews.com/

Padahal bila sudah banjir, semua orang saling melempar tudingan dan sibuk menyalahkan pihak lain. Memang tak ada jaminan bila banjir dielakkan bila tak ada sampah. Namun setidak-tidaknya ketiadaan sampah akan membuat lingkungan terlihat berish, indah, dan asri sehingga kita pun dapat berpikir jernih dan kreatif? Bukanlah Allah mencintai keindahan dan menyukai orang-orang yang membersihkan diri (dan lingkungannya)?

4 – ANTRE

Budaya satu ini entah mengapa cukup sulit diterapkan di masyarakat kita. Bila tanpa nomor urut, tak jarang orang-orang berebut merangsek untuk dilayani padahal mereka datang belakangan. Dan bila diingatkan untuk mengantre, orang-orang tersebut biasanya lebih galak dibanding orang yang datang lebih awal.

Budaya antre tampaknya sederhana dan sepele, namun sebenarnya mengajarkan nilai yang besar. Betapa kita harus mengelola waktu dengan cermat dan keharusan untuk menghargai kepentingan orang lain. Bayangkan betapa sakitnya bila kita telah mengantre beberapa jam di suatu antrean lalu diserobot oleh orang yang tak tahu diri. Sakitnya tuh….di sini.. 😉 Dan apa hebatnya menyakiti orang lain jika kita tidak bisa mendisiplinkan diri?

Suatu sore istri saya tengah berbelanja di sebuah minimarket dan bersiap untuk membayar di depan kasir. Namun sekonyong-konyong seorang gadis remaja menyerobot antrean tanpa memperhatikan bahwa dia melanggar etika dengan mengabaikan wanita yang tengah menggendong anak bayi. Istri saya geleng-geleng kepala dan tak sempat menegurnya kala itu. Ini hal yang terkesan remeh namun sangat potensial menghambat kemajuan pribadi dan bangsa secara keseluruhan.

5 – LALU LINTAS

Pemandangan ini saya tangkap suatu malam di pelintasan kereta api yang menghubungkan Jl. Martadinata Bogor dan jalan yang menuju ke Tentara Pelajar. Seperti biasa, malam hari kereta-kereta Commuter Line dari Jakarta memang menyerbu stasiun Bogor. Saat palang kereta bergerak turun, para pengguna jalan pun bergeming. Semua menanti kereta yang hendak lewat sambil mendengarkan sirene khas di pelintasan KA.

Saya memilih bergerak dan menunggu di lajur kiri. Begitu juga dengan pengguna jalan yang lain. Namun, beberapa pengendara motor malah menepi ke lajur kanan sehingga jalanan penuh terisi kendaraan tanpa ada ruang bagi pengendara dari arah depan untuk lewat selepas kereta melintas. Ketika palang terangkat, kami semua pun bergerak, termasuk para pengendara yang memilih berada di lajur kanan. Bisa dibayangkan betapa hiruk-pikuk suasana malam itu. Para pengendara motor di lajur kanan harus berhaddapan dengan pengguna jalan dari arah berlawanan yang berada di lajur kiri. Arus lalu lintas pun tersendat.

Kekacauan tak bisa dihindari ketika kereta api berikutnya akan lewat. Raungan sirene lintasan KA membuat pengendara di lajur kanan itu panik dan mulai sibuk membunyikan klakson mereka dengan harapan lalu lintas bergerak maju. Namun harapan tinggal harapan. Karena pengendara terlalu menumpuk di lajur yang sama dan tak ada yang mau mundur mengalah, keadaan pun genting. Saat suara sirene kian menghebat, petugas (tak resmi) pelintasan mengomando para pengendara itu agar mundur alih-alih menyeberang. Walaupun alot, akhirnya mereka mau beringsut dari lajur kanan demi memuluskan perjalanan KA.

Saya masih ingat betul betapa kacaunya suasana malam itu. Saya berhenti sejenak dan memandangi dari kejauhan. Ini semua akibat ketidakdisiplinan berlalu lintas. Ini berkaitan dengan budaya antre di atas. Bila saja merekaa mau mengambil posisi di belakang sesuai waktu datang, tentulah kejadian itu tak perlu terjadi meskipun antrean akan mengular hingga Jl. Sudirman.

Ketidakdisiplinan lain meliputi berboncengan tiga dalam satu motor, keengganan untuk memakai helm dengan alasan jarak yang ditempuh dekat, serta asyiknya mengambil lajur kanan dari arah berlawanan padaa jalan satu arah. Biasanya pelaku pelanggaran terakhir enggan memutar balik karena cukup jauh menuju titik putaran. Cobalah Anda mengklakson atau mengingatkan mereka, niscaya mata melotot yang akan Anda dapat. Sekurang-kurangnya itu yang pernah saya amati. Makanya istri saya sebal bila saya melakukan pelanggaran terakhir ini. Dan memang tindakan semacam itu amat menggangu kenyamanan pengguna jalan, apalagi bila mereka melaju dengan cukup cepat.

BANGGA KARENA BERMARTBAT
Mengapa hal-hal di atas saya anggap bisa membanggakan kita? Saya tak perlu mengelaborasi alasannya. Sobat semua paham bahwa jika hal-hal itu bisa kita benahi, maka kejayaan kita sebagai negara akan tumbuh. Perlu kita renungkan bahwa kebanggaan kita bukanlah lahir begitu saja, melainkan melalui serangkaian usaha secara sengaja dan kontinu. Negara maju tidak terbentuk dari warga-warga yang tidak disiplin dan mengabaikan aturan, sekecil apa pun itu. Pribadi-pribadi baik akan menyusun negara yang santun dan bermartabat. Itulah kebanggaan sejati sebagai kesatuan bangsa.

Nah, sobat punya ide tentang nilai kebanggaan terhadap Indonesia dan diri Anda? Bagikan kisah atau gagasan Anda untuk mendapatkan 1 unit ponsel pintar Galaxy Ace 3 dan aneka hadiah menarik lain dalam Kontes Unggulan: Aku Dan Indonesia.

27 Comments

  1. Indoneisa itu kaya dalam segala hal. Suatu produk di buat di Indonesia, di ekspor keluar, yang beli orang indonesia sendiri di negara lain padahal produk tersebut made in Indonesia ya pak 🙂

    Like

    1. Sangat kaya, Mbak Lidya. Betul banget yang Mbak bilang, Kita punya produk garmen yang sangat berkualitas, namun diekspor dan dilabeli merek luar, lalu kita beli lagi dengan harga lebih mahal. Kertas yang kita pakai juga masih kita impor karena kita konon belum punya teknologi buat mengolahnya. Hiks, padahal anak-anak Indonesia pintar-pintar ya Mbak, kayak Pascal dan Alvin 🙂

      Like

    1. Sebanyak butiran pasir di pantai kita yang memukau, Mbak Dame. Luar biasa betul kan? Mbak yang sudah pernah ke Jepang tentu tahu ada hal-hal yang perlu kita perbaiki di tanah air karena pada dasarnya kita punya kok SDA yang memadai dan SDM yang andal.

      Like

  2. sy juga bangga pada Indonesia, pada tetangga-tetangga saya, yang pemberani dan tahan banting. Ada yang belum mapan kerjanya, tapi sudah berani nikah dengan istri dua, dan ternyata bisa tercukupi hidupnya 🙂 [ini fenomena nyata lho mas walang]

    Like

    1. Iya Mas, soal rezeki tak ditentukan usia. Manusia Indonesia sebenarnya berbakat untuk mandiri bila dilatih sebab bangsa kita ini orang kreatif dan adaptif. Asal mencoba dan berusaha, pasti ada jalan. Asal jangan serakah, kata Mbah Gandhi. Jangankan dua istri, sepuluh juga pasti beraaat, hehe ….

      Like

  3. Wah.. beneran cerewet belalang ini, panjang bgt tulisannya.. Atau memang banyak sekali yahh bahan kalau mau cerita Indonesia? Dulu aku sering kesal kalau lihat sampah di tanah Indonesia, tapi sekarang sudah nggak kesal banget, ternyata ada manfaatnya. Salah satunya buat di bahas di postingan blog. :X

    Like

    1. Jarang-jarang update blog, Mas, biar pembaca mabok sekalian, hehe. Pelampiasan sebenarnya karena hal-hal di atas memang perlu perbaikan segera bila kita mau maju.

      Sampah bisa jadi bahan postingan ya, hehe … Terima kasih atas kunjungan Anda.

      Like

  4. saya sependapat dengan yang Anda utarakan dalam uraian di atas. Kalau setiap pribadi pribadi di negeri nan elok ini mampu memerankan diri secara baik dan disiplin bangsa ini akan menjadi bangsa yang benar2 besar.bukan hanya secara kuantitas juga dalam hal kualitas.

    Like

  5. betul bingiiit mas….aku paling gak suka sama sampah yang dibuang sembarangan, orang yang suka nyerobot pas antri atau lalu lintas yang gak tertib….bikin dongkol dah kalau ngadepin itu….

    Like

  6. Aku bangga punya Indonesia. Semoga suatu saat nanti hal-hal di atas bisa dirubah dan membuat Indonesia yg bangga memiliki rakyat yg peduli pada negaranya 🙂

    Like

Tinggalkan jejak