Puisi 100 Ribu Rupiah

Dulu saat masih berstatus mahasiswa, entah pada semester keberapa, seorang dosen menggelar lomba menulis puisi dalam rangka Dies Natalis kampus kami. Karena yang menyelenggarakan pribadi, maka mekanisme pengumpulannya pun unik. Bila lomba biasanya dikirim via pos atau lewat email, kali ini peserta cukup mencetak puisi yang dilombakan lalu meletakkannya di loker dosen tersebut.

Puisi yang dilombakan mencakup dua kategori, yakni dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sesuai dengan jurusan yang saya ambil, saya pun tergerak untuk menyusun puisi dalam bahasa bule tersebut. Dengan imajinasi yang lebay dan (seolah) puitis, puisi bertema sejarah kampus pun jadi. Saya tulis nama saya dengan mantap dan segera menyisipkannya di loker sang dosen. Saya sempat mengintip puisi lain, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Hmm, sepertinya saya bisa menjadi salah satu pemenang. Begitu pikir saya.

Oh iya, kontes ini akan melahirkan enam pemenang: tiga berbahasa Indonesia dan tiga puisi berbahasa Inggris; masing-masing akan diganjar dengan uang tunai Rp100.000. Jangan tanya berapa besarnya manfaat seratus ribu bagi mahasiswa saat itu. Maka saya pun berbinar membayangkan meraup seratus ribu berkat puisi tersebut.

Entah mengapa, saya ingin menulis puisi yang lain. Mungkin karena ide berdesakan, atau semata-mata kemaruk ingin hadiah, hehe. Tentu saja kali ini dengan nama berbeda. Saya menggunakan nama teman satu kamar. Lalu puisi sederhana itu pun jadi, tertulis atas nama teman. Saya optimistis puisi saya yang pertama akan menjadi juaranya.

Waktu pengumuman pun tiba. Sehelai kertas itu dikerumuni teman-teman di kampus sastra. Saya tak sabar melihat nama saya tercetak sebagai pemenang pertama dan berhak menggondol 100 ribu rupiah. Namun lutut saya lemas, hati saya menciut tatkala tak ada nama saya tercantum di sana. Ada apa gerangan? Mengapa puisi yang saya anggap bagus itu justru keok? Apakah mungkin ada kesalahan penjurian atau penulisan nama pemenang?

Ternyata tidak. Alih-alih nama saya ada di sana, ternyata nama teman saya yang saya pinjam untuk menulis puisi kedua muncul di urutan kedua. Ya, sesak dada juga. Namun masih beergembira karena teman tersebut sudi berbagi separuh hadiah.

Akhirnya, inilah menulis dalam waktu kurang lebih 10 menit.

13 Comments

  1. Lho, Lho. Pinjam nama teman kok jadi degdegan baca daftar pemenang? Ya jelas ndak bakalan terpampang, mas :mrgreen:

    Like

  2. Kalo membuat puisi, aku kok ga bisa ya mas, benerr loh aku blm pernah bikin puisi. Kalo membacanya sih kadang suka, tapi kadang juga ga bisa utuh menangkap pesannya. Mgkin dulu karena kebanyakan baca cerita silatnya Kho Ping Hoo ya hahaa…#curhat

    Like

    1. Ya karena sejak awal kami sudah sepakat bahwa kalau puisi atas nama dia itu menang, maka hadiahnya untuk pemilik nama. Syukurlah, dia mau berbagi separuh dengan saya 🙂 Begitu ceritanya.

      Like

Tinggalkan jejak