Memori Daun Jati

Saat masih kecil, kira-kira usia kelas 3-5 SD, kami anak-anak kampung memiliki kegiatan yang menyenangkan. Pagi hari kami berangkat ke sekolah dengan riang gembira. Berjalan kaki menyusuri kali dan persawahan dengan sepatu mungil kami. Bila kami bosan melewati jalanan utama, kami biasanya menempuh jalan pintas. Yang kami sebut jalan pintas adalah jalan berkelok melewati sawah-sawah, menapak di atas pematang, dengan sesekali terperosok ke dalam jerami kering atau yang sedikit busuk.

Kami bercerita banyak hal dan bernyanyi-nyanyi tanpa beban. Ya memang kami hidup menjalani momen seutuhnya tanpa memikirkan hal-hal lain yang tak bisa kami jangkau seperti anak-anak kota. Sepeda baru bisa kami miliki menjelang tahun-tahun terakhir. Itu pun bekas alias membeli dari tetangga di kampung sebelah. Sepeda yang sudah usang akan kami las dan cat ulang agar tampak baru. Bila ada uang lebih, kami mengganti jeruji atau memasang boncengan agar bisa mengajak teman lainnya.

Uang saku kami cukup. Kami tak tahu apakah jumlah yang kami terima banyak atau sedikit. Kami selalu menerimanya dengan semangat tanpa mengeluh. Yang jelas kami gembira masih dibekali uang saku setiap hari. Agar hemat, kami terlebih dahulu makan pagi di rumah, biasanya nasi goreng atau nasi pecel. Bila uang saku berlebih, kami bisa menyantap sarapan sebelum jam sekolah yakni semangkuk lontong sayur lodeh yang sangat lezat.

Selesas jam sekolah, biasanya pukul 2 siang kami berkumpul di suatu tempat untuk mengadakan permainan. Tentu saja permainan tradisional. Mainan paling keren saat itu adalah game watch yang bisa kami mainkan dengan membayar sewanya. Kami jarang bisa memainkannya dan lebih memilih menonton teman kami saat memainkannya. Kami lebih asyik main damparan, gobak sodor, petak umpet, dan jamuran. Yang juga kami sukai adalah bermain polisi dan maling yang saling berkejaran. Atau bermain peran menjadi superhero dan penjahatnya.

Namun memori yang paling menyenangkan adalah tentang daun jati. Ini boleh jadi menjadi saluran rezeki kami yang pertama. Warung milik bibi yang tinggal di sebelah rumah menjual aneka bumbu dan bahan dapur. Nah, ia selalu membutuhkan pembungkus untuk mengemas rempah dan aneka sayuran bagi pembeli. Karena kertas belum populer kala itu, maka daun jatilah yang jadi solusi.

Bersama seorang kerabat yang jago memanjat, saya pun meluncur ke area pemakaman desa. Di sana tumbuh banyak pohon jati dengan daun-daun yang lebat. Kerabat yang kini sudah almarhum itu akan memanjat dan memetik pohon lalu menjatuhkannya untuk saya tangkap. Tugas saya adalah mengumpulkan daun yang sudah dipetik dan menghimpunnya jadi satu karena saya tak piawai memanjat.

Pulang dengan gembira karena disambut dengan imbalan rupiah dari pemilik warung. Betapa senangnya mendapat uang saku tambahan dari alam semesta. Rezeki memang tersebar di mana-mana, dari dulu hingga sekarang. Alam dan lingkungan menyediakan peluang dan berkah. Tugas kita menangkap kesempatan itu. Maukah kita memetiknya? Semangat Senin pagi, Sobat!

26 Comments

  1. Aku pernah punya catatan memori spt ini jg bang,,memori belik,,mata air di sungai belakang rumah yg skrg sdh tdk ada lagi,,memang selalu indah untuk dikenang,,spt memori daun jati ini 🙂

    Like

  2. Bener mas, memori masa kecil kadang terlihat sederhana,namun memiliki nilai yang sll mampu membuat kita tersenyum…aku ada beberapa memori yg sampai saat ini ttp membuatku merindukannya. Salahsatunya, main catur bersama bapak dan ke 4 saudara laki2…

    Like

    1. Walaupun tidak semua, anak sekarang memang cenderung dimanjakan oleh fasilitas dan tidak ditempa dengan keterbatasan dan kesulitan hidup. Semoga mereka tetap bisa hidup kreatif kelak. 😀

      Like

  3. Aku juga ngalamin masa seperti cerita ini mas. beberapa teman malah ada yang sekolahnya nyeker. Walaupun secara fasilitas kalah jauh, seingat aku sekolah jaman dulu tuh menyenangkan ya mas.

    Like

  4. waktu SD,di samping rumah dinas ayah saya ada satu pohon jati yg sangat besar. Saya sering mengumpulkan biji2 jati tsb. Memori waktu kecil saya muncul kembali setelah membaca postingan ini 🙂

    Like

  5. Baru kemarin aku cerita tentang aroma daun jati sama temen2 kantor Mas, cuma memorinya begini, dulu jaman masih kecil suka ke rumah nenek di desa, nah kalo sedang mempunyai hajat, untuk nganterin nasi hajatan gak pake besek/kardus, tapi di bungkus daun jati….

    Dan aroma nasi beserta sayur dan lauk paukya itu sedep sekali, memori aroma itulah yang paling kuat melekat dalam hati sampai sekarang….jadi ngences ah ! :d

    Like

    1. Di kampung zaman dulu nasi berkatan memang dibungkus pake daun jati ya Mbak. Namun kini berubah pake kertas nasi yang cokelat itu. Aromanya memang jadi sedap dan menggugah selera, walaupun lauknya cuma berupa ikan bandeng asam manis dan bihun gurih plus kuah dikit.

      Daun jati juga dipake bungkus nasi Jamblang khas Cirebon itu Mbak. Menurut teman saya. Tapi saya sih belum pernah, hehe.

      Waktu kecil daun jati juga kitaa pakai sebagai pewarna kalau main masak-masakan biar jadi merah kayak sirop 😉

      Like

  6. Memori daun jati di masa kecilku adalah daun jati yg masih muda, kan berwarna merah tuh, nah dipakailah jadi salah satu mainan. Kalau daun yg mengunungkan (bisa diuangkan) adalah daun pisang dan daun kelapa.

    Like

    1. Sama dong Mbak. Biasanya kami gunakan untuk membat sirop atau agar air berwarna merah. Hingga kini pun daun pisang dan daun kelapa masih sangat menguntungkan ya Mbak. Cuma ga bisa asal ambil dan jual karena rata-rata sudah dimiliki oleh orang lain. Berbeda dari pohon jati yang biasanya tumbuh di hutan kampung.

      Like

  7. Kalau waktu kecil, saya dan teman-teman sepantaran nyari tambahan uang saku dengan mencari melinjo yang sudah jatuh dari pohonnya, kami kumpulkan jadi satu dan dijual ke warung. uangnya kami bagi rata untuk beli “mie remez”.
    Konon snack ini banyak memakai penyedap rasa sehingga kalau minta dibelikan jajan ke ibu selalu dilarang. 😀

    Like

Tinggalkan jejak