Merampas dan Dirampas

Beberapa pekan terakhir kita begitu akrab dengan idiom perampasan hak, yakni mengenai terbitnya undang-undang pilkada yang akan dikembalikan menjadi wewenang DPRD. Sebagaimana yang terjadi pada setiap keputusan krusial yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dua macam reaksi pun mengemuka. Sebagian pro, dan sebagian lain kontra. Sejumlah orang mendukung, dan yang lain menolak. Saya pribadi termasuk yang tidak setuju dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, dan telah menandatangani petisi untuk mengembalikan pilkada langsung oleh rakyat. Tapi tak perlu ada huru-hara atau bahkan pertikaian karena perbedaan pandangan ini. Biarlah proses hukum berjalan.

Kembali kepada frasa perampasan hak, saya tergelitik untuk menuliskan postingan ini. Tulisan ini semoga membuka ingatan dan bilik sejarah dalam memori kita tentang aktivitas merampas dan dirampas dalam kehidupan kita sehari-hari. Merampas adalah kata kerja aktif yang menyiratkan konotasi negatif. Baik merampas ataupun dirampas sama-sama tidak mengenakkan. Pihak yang merampas akan mendapat kecaman, sementara pihak yang terampas akan dirundung kesulitan–terlepas apakah yang dirampas termasuk hak atau bukan haknya.

Bila kita sepakat bahwa pilkada oleh DPRD merupakan perampasan hak demokrasi rakyat, maka ada baiknya kita juga sepakat tentang perampasan-perampasan lain yang sudah berlangsung dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal-hal yang saya sebutkan berikut sudah demikian biasa sehingga tak lagi kita sadari sebagai perampasan hak. Kondisi ini harusnya menjadi fenomena, atau bahkan nomena yang bersemayam dalam bungkus hak yang begitu ambivalens tafsirannya.

Hak pejalan kaki

Mari kita telusuri contoh-contoh yang saya maksud. Seorang sahabat mengunggah sebuah gambar di akun Facebook. Sebuah gambar kartun yang menampilkan pejalan kaki dan sebuah usaha kecil di pinggir jalan raya. Begitu banyaknya item yang dipajang, sehingga pejalan kaki harus merelakan diri berjalan di badan jalan karena trotoar sudah dirampas oleh kios usaha tersebut.

Menurut saya ini pelanggaran, namun entah mengapa pemerintah/aparat berwenang tidak pernah menertibkannya atas nama hak asasi. Saya pribadi pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan. Saat berkendara motor, tiba-tiba ada percikan api yang menghambur ke arah saya dari usaha las yang berada tepat di pinggir jalan lantaran trotoar pun sudah diembat. Saya paham mereka pengusaha kecil, dan harus didukung oleh pemerintah. Tapi kenyamanan pengguna jalan hendaknya jadi perhatian juga. Pemerintah bisa menyalurkan kredit mikro dan merelokasi usaha dengan solusi yang saling menguntungkan.

Buang sampah sembarangan

Di negara kita ini saya heran bukan kepalang. Mengapa aparat begitu sigap saat ada yang melanggar lalu lintas, namun mendadak loyo begitu ada orang membuang sampah sembarangan, padahal sudah ada undang-undang yang menjaminnya. Apalagi bila sampah atau kotoran dihempaskan begitu saja dari mobil mewah atau yang mentereng. Buang sampah sembarangan jelas merupakan perampasan hak, yaitu merampas hak orang lain untuk menikmati pandangan yang bersih dan meneduhkan. Bayangkan bila sampah menumpuk dan menimbulkan banjir atau penyakit, bukankah akan ada perampasan hak yang lain? Membuang sampah secara sembrono juga merampas hak Bumi untuk kita rawat sebagai sesama makhluk Tuhan. Bukankah Tuhan senantiasa memerintahkan kita berlaku bersih? Buang sampah tidak pada tempatnya adalah perampasan hak yang sangat serius.

No smoking

Contoh lain adalah merokok di ruang publik. Ruang publik yang saya maksud adalah misalnya di dalam angkot, di tempat pelayanan umum, atau di rumah makan yang jelas melarang kegiatan merokok. Di ruangan sempit seperti angkot asap rokok akan bergerak terbatas sebelum ia lepas ke udara luar. Banyak saya jumpai kaum hawa yang tidak nyaman saat berada di dekat orang merokok dengan cara menghalau asap rokok atau menutup hidung mereka. Bagi ibu-ibu yang pemberani, si perokok akan segera didamprat untuk mematikan rokoknya.

Di lingkungan masjid juga pernah saya jumpai orang merokok asyik padahal jelas tertera di setiap dinding bahwa merokok tidak diperbolehkan di area tersebut. Entah ia tak baca ataukah ia memang buta huruf, saya tak tahu. Yang paling parah adalah jika memang ia bisa membaca dan paham akan larangan itu namun bersikeras merokok karena ia merasa itu adalah haknya. Bagaimana dengan hak orang lain untuk mengonsumsi udara bersih tanpa racun? Bolehkah dirampas begitu saja demi hak orang lain? Merokok boleh saja, namun ada batas-batas yang jangan sampai melanggar kenyamanan orang lain.

Antre dong!

Masalah antre tidak jauh berbeda. Suatu kali saya mengantre untuk menukarkan tiket kereta di stasiun Jakarta. Di luar dugaan saya, antrean begitu membludak pada setiap loket yang tersedia. Antrean bahkan mengular hingga ke luar pintu padahal saat itu bukan menjelang lebaran. Saya pun mengambil tempat paling ujung tepat di pintu masuk. Antrean pun perlahan bergeser maju, dan giliran saya akan tiba setelah 2-3 orang pengantre di depan.

Lalu muncullah seorang lelaki yang mengacung-acungkan KTP dan bukti pembayarannya kepada pengantre di sebelah dengan harapan menitip penukaran tiket. Kebanyakan menolak walaupun pada akhirnya ada juga yang berbaik hati membantu. Petugas loket pun mengomeli orang yang dititip dengan alasan bahwa memang dilarang titip-menitip penukaran tiket karena mekanismenya berdasarkan antrean. Ini semua demi menghargai jerih orang yang mengantre karena telah berangkat lebih awal dan mengorbankan waktunya. Maka tidak elok bila kita merampas hak pengantre yang sudah menunggu demikian lama.

Polusi suara

Telinga kita ini didesain untuk mendengarkan hal-hal baik dan suara yang menenangkan. Maka sungguh menyebalkan bila ada pengendara motor yang membunyikan klakson dengan suara tak wajar atau menggunakan knalpot dengan suara yang memekakkan telinga. Tanpa sadar mereka telah merampas hak orang lain yang ingin melindungi telinga dari mendengarkan hal-hal yang menyakitkan. Anak-anak remaja yang gemar menyanyi sambil bermain gitar hingga larut malam sehingga tetangga merasa terganggu adalah bentuk lain dari kejahatan polusi suara.

Properti kantor

Seorang sahabat bercerita tentang temannya yang kaya mendadak setelah bergabung dalam departemen pemerintah yang ‘basah’. Belum lama dia menikmati harta hasil ‘kerja’-nya sebelum akhirnya ia menderita sakit yang tak kunjung sembuh. Semua hartanya terkuras tak bersisa, bahkan hingga jiwa raganya–ia lalu meninggal karena sakit tersebut. Bukan rahasia lagi bila di negeri ini penilap pajak adalah penjahat menyeramkan. Penggelapan pajak merupakan perampasan hak atas potensi dana yang harusnya dibelanjakan untuk kesejahteraan rakyat.

Kejadian ini mengingatkan pada aktivitas saya saat masih bekerja di sebuah perusahaan enam tahun silam. Jangan-jangan kertas-kertas kantor yang saya pergunakan untuk mencetak dokumen pribadi termasuk pelanggaran hak employer saya. Saya hampir yakin bahwa berselancar di dunia maya saat kerja (bukan dalam rangkan tugas kantor) merupakan perampasan hak yang tak saya sadari. Belum lagi mengobrol di saat jam kantor yang tidak ada gunanya. Sungguh berat menjaga hak pribadi agar tidak merampas hak orang lain. Maka saya menolak tawaran seorang teman yang berbaik hati akan mengirimkan faksimile lewat kantor istrinya. Apa pasal? Menghindari sekian puluh ribu rupiah tapi dihadapkan pada ketidakjelasan status pengiriman faksimile tersebut adalah berat bagi saya. Hal-hal yang bisa saya hindari, saya jauhi. Saya takut itu juga sebentuk perampasan hak employer istrinya yang tidak tahu menahu soal faksimile saya yang tak pernah diizinkannya.

Blogger dan penulis

Jangan mengira perampasan hak tidak pernah dilakukan oleh narablog atau blogger. Blogger yang sengaja menahan ilmunya agar narablog lain tetap bodoh menurut saya merampas hak orang lain untuk mendapat pencerahan. Saya tidak bisa menyebut nama, namun blogger jenis ini memang ada. Ada pula bentuk perampasan lain, yakni perampasan informasi tentang lomba atau event tertentu. Informasi kontes atau blogging event sengaja disembunyikan untuk mengurangi kompetitor sehingga keuntungan berpotensi mengalir ke kantongnya. Kasus kedua ini saya pernah lakukan sendiri. Saya menyimpan informasi lomba atau acara tertentu agar saya yang meraup manfaat sendiri. Tahu tidak? Merampas hak seperti ini tidak akan banyak gunanya, justru mudarat yang akan kita terima suatu saat.

Tapi jangan bersedih! Kabar baiknya adalah bahwa ada banyak sobat narablog yang memiliki sifat sebaliknya. Begitu banyak blogger yang rela membagi ilmunya dengan cuma-cuma. Tidak sedikit blogger yang menghambur-hamburkan informasi lomba atau acara penting agar kaum blogger bisa bergerak bersama-sama menjadi komunitas berkualitas dan saling menyumbangkan manfaat.

Kini pilihan ada di tangan kita.

22 Comments

  1. Point terakhir mengingatkanku pada beberapa blogger yang posting di menit2 akhir menjelang DL karena takut dicontek. Katanya kadang yang nyontek malah menang. Kalau aku sendiri sih, ada ide ya tulis trus publish daftarin. Perkara dicontek ya monggo, Orang ada rejekinya masing2 kok.

    Like

    1. Betul, Mbak. Saya pun demikian, Kalau ada ide, ya saya ikut, kalau tak ada ide, ya kadang terpaksa ga ikut. Kadang ikut dah mepet deadline sebab idenya baru muncul atau baru ada waktu senggang untuk menuliskannya. Soal menyontek tulisan kontestan lain, saya malah ga bisa gimana caranya. Mungkin dari segi teknik penyampaian kali ya. Kalau rezeki tak akan ke mana, bener banget! 🙂

      Like

      1. Kalo ikut GA sebisa mungkin aku malah pengin secepatnya publish, ada ide lgs tulis. Gak mikirin peserta lain gimana, kalo udah tau banyak yg ikut malah kdg jadi ga mood lagi buat ikut, apalg kalo tau ide yg mw kita tuangkan udah ditulis sm org lain, ntar dianggep nyontek lagi…hehee
        Ini aku komen juga pas jam kerja mas, tp kdg kerjaanku sering keluar kantor je, kdg ke KPPN, ke Bank, yg seringnya ngantri. Yaa drpd bengong mendingan BW, kasi komen ke tmn2…hahaa. Kalo spt ini gmn ya?

        Like

  2. Benar juga secara tidak sadar selain hak kita dirampas kita juga turut andil merampas hak hehe.. makasih sharingnya mas..

    Like

  3. bila postingan ini berjudul merampas dan dirampas,maka saya pernah membuat satu tulsian berjudul penipu yang tertipu, disitu ada yang menipu dan ada yang ditipu, tapi yang jadi point penting adalah bahwa yang menipu dan ditipu keduanya adalah penipu. Pelajaran yang bisa diambil adalah, apapun cara dan alasannya, jika akhirnya ada pihak yang dirugikan maka itu harus kita hindarkan.

    Like

    1. Jadi penasaran pengen baca mengapa yang ditipu pun termasuk penipu, Mas. Ada link tulisannya, Mas? Betul sekali, Mas. Memang sebisa mungkin kita menghindari tindakan zalim pada orang lain.

      Like

  4. Dari keseluruah soal merampas hak, hanya point 1 sy tidak setuju. Mau dilihat dari sisi mana pun pemilu langsung tidak baik untuk Negeri ini. Terlalu banyak kasus yang bisa diurai yang menunjukkan bahwa pemilu langsung rentan dan rawan di Negeri ini. Hanya dua hal pihak yang di untungkan dari Pemilu Langsung: Makelar Politik dan Makelar Bisnis. Hanya itu. Salam 🙂

    Like

    1. Terima kasih sudah berkunjung, Mas. Memang betul, pemilihan langsung atau tak langsung memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pemilihan langsung memang rentang politik uang misalnya. Namun pemilihan oleh anggota dewan juga tidak sepi risiko. Eksekutif bisa mati-matian mempertahankan posisinya bila misalnya legislatif mengancam ketika eksekutif melakukan kesalahan. Di sinilah kekhawatiran itu di mana transaksi dua pihak bisa berbahaya juga.
      Tapi karena sudah diberlakukan, mari kita dukung dengan doa semoga keputusan pilkada lewat DPRD bisa lebih baik daripada zaman orba dulu. Salam 🙂

      Like

  5. Ups….. dan aku baru aja ngeblog n download lagu n buku di kampus (ndilalah dino iki wifi ne kenceng je) ….
    Semoga tidak ada yg merasa tersinggung atau terdzolimi :p

    Like

  6. Semoga saya mempunyai kesempatan dan mood untuk menuliskan ilmu yang saya punya dalam rangka ngeblog, semoga ilmu yang saya bagikan bisa bermanfaat bagi semua.

    Like

  7. tertarik dengan poin terakhir mas, semoga aku tidak menjadi blogger yang pelit..hehe
    kalopun ikut lomba mepet2 DL itu memang karena keadaan emak2 rempong seperti aku yang kadang sulit membagi waktu…^alesan aja hehe…tapi swear aku gak pernah nyontek lho…

    Like

    1. Saya percaya kok Mbak Anda tidak menyontek, hehe. Emak-emak yang masih sempat ikut kontes atau lomba blog memang layak diacungi jempol sebab kesibukan mereka kan memang sudah padat di rumah. Luar biasa!

      Like

Tinggalkan jejak