Idealisme

Seorang teman mengelola usaha penerbitan bersama istrinya. Dibantu beberapa staf, mereka memilih menerbitkan buku-buku Islam populer. Buku-buku anak juga termasuk di dalamnya. Awalnya, buku-buku terbitan mereka kerap menyambangi toko buku kenamaan dan toko buku lain dengan mencetak penjualan yang lumayan. Namun belakangan, saya kesulitan menjumpai buku terbitan mereka di toko buku langganan kami.

Kuat karena taat
Namun setiap bisnis tidak selalu berjalan mulus seperti harapan. Tantangan dan ujian kemacetan adalah pupuk untuk menyuburkan usaha agar lebih maju dan kokoh lagi. Ibarat sebuah pohon, batang yang tumbuh di halaman rumah dengan suntikan pupuk teratur dari sang pemilik konon tidak tahan banting ketimbang pohon yang tumbuh di hutan dan harus berjuang untuk mencari sinar matahari dengan mandiri.

Teman saya ini memang unik. Bila kebanyakan penerbit mendengarkan apa kebutuhan atau permintaan pembaca, dia punya kebijakan lain. Alih-alih mati-matian ikut tren demi meraup keuntungan besar, mereka memilih mendengarkan sebuah dewan yang menentukan akurasi setiap tema yang akan mereka luncurkan kepada publik. Ya, mereka punya guru atau ustaz yang bertugas memberikan penilaian atas naskah mereka. Bila menurut dewan naskah tak layak karena tak sesuai syariat, maka mereka urungkan penerbitan buku bersangkutan walaupun buku itu punya potensi pasar yang menggiurkan.

Mereka memilih berdiam pada idealisme ketimbang semata-mata oportunisme yang menjanjikan. Betapa banyak buku agama Islam yang muncul sekadar mendompleng ketenaran buku-buku lain sejenis meski disajikan secara dangkal dan tidak punya roh. Bisa dipahami, mengingat buku-buku pengekor biasanya ditulis dengan cepat dan diterbitkan sering kali atas dorongan ekonomi belaka.

Perbaiki tauhid
Lalu bagaimana nasib mereka kini? Lambat laun buku-buku mereka memang tidak beredar di pasar. Sebagai manusia biasa, kegalauan pun menyinggahi hati mereka. Betapa tidak? Mereka punya karyawan yang harus digaji, juga aneka tagihan yang harus dibayar. Apalagi menjelang Lebaran, tentu mereka ingin membayar THR juga untuk para staf yang telah membantu penerbitan.

“Benerin dulu tauhidnya,” begitu jawab teman tersebut saat kami main ke rumahnya. Tauhid yang benar adalah kunci sekaligus jalan keluar mereka dari kesulitan yang mengancam. Selama ini kita sering terpaku pada pekerjaan sebagai satu-satunya sumber rezeki. Tak jarang kita mati-matian membela perusahaan karena menyangka itu tempat utama yang menyuplai kebutuhan bulanan kita. Kita sering abai dengan berpikir bahwa pekerjaan dan usaha kitalah yang menjadi sumber rezeki. Padahal ada sumber rezeki yang hakiki, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mengangkat Allah sebagai Tuhan mengandung konsekuensi logis untuk menggantungkan segalanya pada Dia. Pekerjaan dan usaha memang penting, tapi hanyalah sarana yang tidak perlu dirisaukan terlalu berat ketika terjebak pada kesulitan. Tugas kita adalah meluruskan mindset bahwa Dialah yang menjadi sumber segala sesuatu, selanjutnya kita ambil langkah untuk berupaya dan berdoa. Bukan mengarahkan pikiran agar berkutat pada pekerjaan atau usaha semata-mata. Pasti ada jalan. Begitu keyakinan teman saya.

Tak berselang lama, idealismenya pun berbuah berkah. Seorang saudagar dari negeri jiran mengontak mereka dan memesan buku terbitan mereka untuk diterjemahkan ke dalam bahasa pemesan. Yakinlah bahwa uang yang mereka terima cukup besar sehingga gaji dan THR karyawan bisa terbayarkan dengan baik.

Buku-buku terbitan mereka memang jarang terlihat di toko buku dalam negeri. Rupanya mereka mendapat proyek bermutu yang lebih menjanjikan daripada sekadar ikut tren pasar. Pelajaran pertama untuk saya: hati-hati menerbitkan buku sebab begitu buku dilepas kepada publik, maka saya punya andil dalam menyebarkan pengaruh positif maupun negatif. Setidak-tidak kami bisa mengantisipasi potensi dampaknya dalam kapasitas kami sebagai penerbit. Ada tanggung jawab besar dalam setiap buku yang diterbitkan. Pelajaran kedua: kesulitan hidup itu lumrah. Tugas kita adalah berusaha dan mengenyahkan pikiran bahwa usaha/pekerjaan kitalah yang memberi kita rezeki. Fokus pada Dia yang menjadi Sumber Rezeki.

“Ngakunya bertuhan, tapi dirundung kesulitan malah terjebak dalam kegalauan,” begitu ujar saudara kembar saya. Selagi kita berpegang pada idealisme dan kebenaran, pasti ada jalan. Pasti ada jalan. Yakinlah, Teman!

29 Comments

  1. Memang tak mudah bertahan dengan idealisme di tengah hiruknya dunia (penerbitan) saat ini. Selama mampu memegang keyakinan dengan teguh, insya allah rezeki ada terus. *riga lagi bijak* :p

    Like

  2. Buku saya mungkin kurang memerhatikan kebutuhan pasar ya Mas he he he
    Biarin, wong saya nulis hanya untuk berbagi ilmu dan pengalaman yang bermanfaat agar bernilai ibadah.
    Salam hangat dari Surabaya

    Like

  3. Betul sekali rezeki itu bukan hanya dari gaji semata, banyak dari sumber lain yang terkadang terabaikan. Namun kita juga jangan lupa bahwa gaji adalah bagian dari rezeki itu sendiri.

    Like

    1. Iya, Mas. Gaji memang salah satu bentuk rezeki. Tulisan di atas mengingatkan saya pribadi agar fokus pada Pemberi rezeki, bukan pada hilangnya sumber rezeki yang selama ini kita miliki. Salam 🙂

      Like

    1. Ayo atuh, menulis yuk. Sekarang banyak penerbit yang cari naskah loh. Atau kalau belum pede dan buat media latihan, Mbak bisa manfaatkan jasa penerbitan indie yang banyak tersedia. Pilah pilih aja yang sesuai. Salam kreatif! 😀

      Like

  4. Selama niat kita kuat untuk kebaikan, insyaallah sesulit apapun keadaan, pasti Allah memberi kekuatan dan jalan keluar. Saya menyakini itu seyakin-yakinnya mas… kr memang pernah membuktikan dan mengalaminya…

    Like

    1. Saya pikir juga sama, Mbak Anaz. Penulis punya tanggung jawab yang sama untuk menyediakan karya yang bermanfaat dan menjauhkan mudarat–walaupun mungkin tak banyak yang akan membeli karyanya. Tapi pasti ada jalan.

      Liked by 1 person

  5. yakin dan tetap bertahan pada idealisme adalah suatu hal yang layak dipuji..sudah jarang ditemukan orang-orang seperti ini….,
    sebab rezeki itu tak akan tertukar..bila memang sudah menjadi hak kita….,
    selama diri tetap yakin akan lindungan ALLAH SWT…
    keep happy blogging always,,,salam dari Makassar 🙂

    Like

    1. Benar yang Anda katakan, Mas. Sudah jarang dan semoga kita menjadi bagian yang jarang itu ya.
      Yakin dan terus berusaha, insyaAllah selalu diberikan jalan keluar.
      Salam sukses juga untuk Anda dari kami di Bogor, Mas! 😀

      Like

  6. What inspiring story mas..
    Ketika idealisme sdh banyak ditertawakan krn kalah oleh nilai ekonomi.
    Pasti lupa bahwa sang pemberi rezeki sdh punya hitungan sendiri.
    #selfreminder bt sy

    Like

    1. Betul sekali, Mbak. Yang penting berpegang pada nilai yang kita yakini, tak peduli apa pun. Insya Allah selalu ada jalan keluar dan kemudahan. Rezeki akan selalu mengalir selama kita berusaha. Aaamiin.

      Like

Tinggalkan jejak