Kepo

kepo

Ada istilah yang kini sedang tren di kalangan anak muda, yakni kepo. Kata ini bahkan tak jarang dipakai di kalangan orang-orang dewasa, barangkali sebagai selingan untuk menyegarkan pilihan bahasa percakapan lisan. “Kepo” sendiri bukanlah produk asli bahasa Indonesia. Ada yang menyatakan bahwa “kepo” diadaptasi dari bahasa Hokkien yang kerap dipakai di Singapura, yaitu kay poh atau kaypo.  Kata tersebut dipergunakan untuk menggambarkan orang yang gemar mencampuri urusan orang lain. Orang yang sibuk mengetahui apa yang sebenarnya tidak layak ia ketahui.

Dalam bahasa Inggris, meskipun tak banyak referensi, KEPO merupakan singkatan dari Knowing Every/Each Particular Object–yang bisa diartikan dengan kecenderungan untuk ingin tahu segala sesuatu. Istilah ini, sependek pengetahuan saya, tidak lazim dipakai dalam bahasa Inggris walaupun pengertiannya bisa dipadankan dengan kaypo di atas. Bahasa Inggris biasanya menggunakan nosey parker atau busybody untuk menyebut orang yang suka mengurusi persoalan orang lain.

Bolehkan kita “kepo”?

Lantas bolehkah kita merasa “kepo”? Dalam konteks yang positif, tentu boleh, bahkan wajib. Misalnya, ada sekelompok anak remaja yang bergerombol dan tampak mencurigakan karena berbicara berbisik sambil menenteng senjata tajam. Kita wajib “kepo” karena boleh jadi mereka berencana untuk melakukan tawuran atau bertindak negatif lainnya. Sikap “kepo” seperti ini demi kebaikan mereka dan kenyamanan bersama.

Namun bila “kepo” sudah menjurus pada tindakan mencampuri urusan yang bukan hak kita, tentu harus dihindari. Saya sajikan kasus sahabat saya yang juga blogger. Beberapa waktu lalu dia berlibur ke luar negeri bersama suami tercintanya. Berliburnya bukan ala selebritas ibukota, Saudara-saudara!  Mereka berdua berpelesir ke manca negara ala backpacking atau traveling murah meriah.

Namun ada saja orang yang merasa wajib menghakimi. Sejumlah orang “kepo” dan menuduh sahabat saya tersebut hanya mementingkan urusan duniawi semata, tanpa memedulikan kepentingan akhirat. Dalam benak pengkritik itu, sahabat saya mungkin harusnya menggunakan duit untuk beramal ketimbang jalan-jalan ke luar negeri. Padahal sahabat tersebut bisa ke negeri jiran berkat usaha keras menemukan tiket murah sampai harus bergadang.

“Kepo” yang negatif

Boleh jadi mereka bisa berlibur karena sudah hidup hemat dan menahan keinginan ini-itu demi memperkaya pengalaman wisata dan memetik budaya manca negara. Toh pasangan tersebut berkunjung ke luar negeri tetap menjalankan shalat dan kewajiban lainnya kok. Adapun kewajiban beramal, infak, dan lain-lain, apakah dia harus mempublikasikannya sebelum berangkat? Itu termasuk ranah pribadi yang menjadi urusannya dan Tuhan.

Bila semua orang “kepo” secara negatif, mungkin tidak akan ada orang yang maju. Ada temannya beli mobil, “Ih, kamu tuh ya? Ekonomi susah dan rakyat banyak yang menderita kok ya beli mobil? Mending buat sedekah!” Padahal dia beli mobil memang karena tuntutan usaha atau demi memudahkan fasilitas bagi orangtuanya yang sudah sepuh. Toh itu pun dibeli secara kredit setelah menimbang banyak hal. Dan tentu saja keputusan membeli mobil itu tidak sampai melanggar kewajibannya untuk beramal yang tidak harus ia umumkan.

Ada temannya beli ponsel baru, “Gaya banget sih! Tinggal di kontrakan saja belagu banget pake hape canggih!” Padahal temannya tersebut membeli ponsel pintar untuk menunjang kegiatannya sebagai penjual online misalnya, dengan tujuan mengoptimalkan penjualan dan layanan pelanggan sehingga omsetnya naik dan akhirnya bisa membeli rumah.

Contoh lainnya, ada seorang ibu yang bekerja di kantor dan ada pula yang jadi ibu rumah tangga penuh. Tak jarang orang lain “kepo” dengan berseloroh, “Punya anak kok malah dikasih ke pembantu. Buat apa kerja seharian tapi anak diasuh pembantu!?” Sementara ibu rumah tangga juga tak lepas dari kritikan, “Kuliah sih tinggi tapi sayang malah ndekem di rumah aja. Udah habis biaya banyak buat apa ya gitu doang?”

Bukan urusan kita

Kita mesti ingat, kita tak tahu bagaimana kebutuhan dan pengelolaan rumah tangga setiap keluarga. Banyak hal yang tidak kita ketahui dan tak perlu kita korek untuk memenuhi nafsu ke-kepo-an kita. Begitu banyak hal yang tak perlu kita risaukan atau pikirkan sebab itu domain milik orang lain yang tak mengancam kepentingan publik.

Kesimpulannya, silakan “kepo” pada tempatnya. Janganlah cepat menilai orang lain tapi lupa melongok keburukan diri sendiri. Waktu yang kita gunakan untuk “kepo” jauh lebih bermanfaat untuk zikir dan membaca atau kegiatan-kegiatan produktif lainnya.

Salam “kepo”!

29 Comments

  1. makasih jadi lebih tahu ttg kepo, mudah2an bisa menempatkan si kepo ini pada tempatnya. kadang memang mulut ini bisa terjaga, kadang ngga..

    Like

  2. Aku juga baru tau istilah kepo, ya baru2 saja hihihi. Setuju deh, mari kita kepo yang positif aja, kalo kepo negatif seperti cerita diatas namanya sudah bukan kepo lagi, tapi “nyinyir” kali ya 😀

    Like

  3. hahaha jaman sekarang kepo mah wajar, tapi klo masalah orang lain dikepoin ya jangan 😀

    Like

  4. Ini sih sudah termasuk nyinyir, bukan kepo lagi. Semua kegiatan selalu dikomentari dengan hal-hal yang menurutnya sendiri. Tidak melihat sisi lain yang mengharuskan seseorang berbuat sesuatu

    Like

  5. Kepo positif oke, kepo negatif not oke
    noted!
    tapi kadang kalau baca berita dan saya kepo, cukup googling saja
    dan kalau penyakit kepo yang bukan urusan saya lebih baik alihkan pikiran, seperti mikir mau posting apa di blog. hehehe…

    salam kepo!

    Like

  6. kalau nggak salah ada hadits yang berbunyi.. kejarlah akhiratmu, tapi janga lupakan urusan duniamu… kalau mempermasalahkan urusan liburan orang lain, saya akan menyebutnya… Resek… :p

    Like

Tinggalkan jejak