Ukuran

Dalam kehidupan sehari-hari kita tak bisa luput dari ukuran. Sebagai contoh, saat membeli sesuatu di pasar atau minimarket, kita tentu akan berhadapan dengan pilihan ukuran. Kita membeli kecap kemasan, bisa dalam ukuran botol kecil atau botol besar. Beli gula, kita bisa memilih yang dikemas satu kilogram atau setengah bahkan seperempat. Untuk benda yang lebih besar dan lebih mahal, seperti rumah atau mobil, kita juga harus menentukan pilihan ukuran. Rumah yang kecil, sedang, atau besar? Mobil mini, sedang, atau yang sangat lega? Hidup kita memang berpindah dari satu ukuran ke ukuran lainnya.

Ukuran tidak hanya mendominasi objek fisik atau hal-hal materiil seperti sembako yang saya sebutkan di atas. Hal-hal yang berupa konsep atau prinsip juga selalu menyandang ukuran. Misalnya kepintaran, kesuksesan, kebaikan, dan sebagainya. Kita harus menggunakan ukuran tertentu untuk bisa melakukan penilaian mengenai hal-hal nonfisik tersebut.

Bram, Bagyo, dan Amy
“Kemarin kamu kenapa ga ikutan reuni? Eh, masih ingat Bram kan? Wah, dia sekarang udah jadi orang sukses loh!” Mungkin Sobat pembaca pernah mendengar komentar seperti itu selepas acara reuni sekolah atau kuliah. Komentar yang menyusul kemudian bisa berupa persetujuan atau penolakan dalam hati. Seseorang bisa disebut sukses atau tidak bergantung pada ukuran atau standar yang dipakai. Bila ukuran kesuksesan adalah jumlah perusahaan yang banyak dan mobil mewah yang berderet rapi di garasinya, maka Bram layak disebut orang sukses.

Namun bila ukuran yang dipakai adalah dampak atau jangkauan manfaat yang bisa ditebarkan oleh seseorang kepada orang lain, mungkin yang lebih cocok disebut sukses adalah Bagyo, yang mengelola rumah singgah dan sanggar tempat anak-anak putus sekolah belajar dan menggali potensi untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Dan jika ukuran sukses adalah banyaknya penggemar atau popularitas, barangkali Amy yang layak menyandang predikat orang sukses sebab profesinya sebagai penyanyi telah mengganjarnya nama besar dan ketenaran di antero negeri.

Gambar dari http://triplecrownleadership.com/
Gambar dari http://triplecrownleadership.com/

Ukuran memang menentukan
Jika anak kita disebut bodoh lantaran dibandingkan anak-anak lain yang lebih cerdas dalam ilmu eksakta, jangan pusing. Sebab kita punya ukuran sendiri tentang definisi dan ciri kecerdasan, misalnya anak kita gemar berbagi, ringan tangan, bertutur kata santun, dan piawai memetik gitar. Saya teringat Elly Risman yang menyatakan bahwa anak bisa unggul dari banyak aspek, bukan melulu dari sisi intelegensi semata. Tak perlu risau menanggapi pendapat orang sebab kita sudah punya ukuran sendiri mengenai target yang harus dicapai oleh anak kita. Potensi itulah yang harus kita pertajam dan kembangkan.

Ketika orang lain tidak menganggap kita sebagai orang hebat, lantaran kita tak pernah terlihat mendapatkan penghargaan atau pengakuan sosial atas sebuah prestasi, jangan berkecil hati. Ingat, kita sudah sepakat bahwa kita punya ukuran sendiri untuk menakar karakter dan poin ‘kehebatan’ diri. Tak perlu kita tonjol-tonjolkan agar dihargai, cukup lakukan semampu kita sesuai dengan keyakinan yang kita anut.

Pada akhirnya, kebahagiaan atau kesedihan kita bergantung pada ukuran yang kita gunakan untuk menilai segala hal. Ukuran kita boleh seragam seperti ukuran orang lain, tapi boleh pula berbeda dan unik menurut standar kita masing-masing. Yang jelas, ukuran menentukan nilai (values) diri kita. Dan kita tahu apa values yang penting bagi hidup kita.

12 Comments

    1. Kejujuran! Sepakat, Mas. Itu elemen dasar yang harus dimiliki anak-anak juga oleh kita 🙂 Malah belakangan saya dengar soal sekolah akhlak karena lebih menitikberatkan pada akhlak.

      Like

  1. Jd memang orang tua hrs bener2 ikhlas ya dalam melihat apa bakat dan potensi anak. Nggak bisa berpatokan pada satu ukuran saja, misal: nilai rapor. Nilai rapor pun nggak bs yg dilihat cm eksakta nya saja.

    Liked by 1 person

    1. Beda parameter, beda konsekuensi ya Mbak Thia, jadi tak perlu galau bila kondisi kita tak seperti orang lain. Ada bagian yang dilebihkan untuk kita, ada bagian yang dilebihkan untuk orang lain. Memilih parameter agar hidup lebih bersyukur. Mengingatkan diri sendiri juga Mbak 🙂

      Like

  2. Bener, tiap orang ukurannya nggak sama ya. Tiap anak juga punya keistimewaan sendiri2, dan patokannya bukan hanya nilai pelajaran saja tapi juga nilai2 lainnya semisal kejujuran, kerendahan hati, kebaikan hati dsb. Makasih sudah diingatkan lewat postingan ini 😀

    Like

  3. Kalau menghadiri acara pernikahan, isi amplop sesuai ukuran kita, bukan ukuran si empunya hajat ya.
    Waktu menghadiri undangan pernikahan anak saya, salah satu bupati nasih angpao 8 juta. Kalau beliau mantu saya mungkin ngasih 200 rb saja hehehe
    Terima kasih tipsnya
    Salam hangat dari Surabaya

    Like

    1. Kirain Pakde kasih 200 jeti, hehe. Iya De, kita sendiri yang tahu sejauh mana kapasitas dan kemampuan kita dalam hal apa pun. Menggunakan ukuran orang lain untuk mengukur kebahagiaan kita tentu cenderung akan merepotkan.

      Like

  4. Jadi keinget sama ucapan tetangga kmren neh mas. “Kok anaknya blom sekolah tar susah loh, ga bisa baca”. Emang sekolah dini bisa nentuin anak bisa langsung pinter, kan beda2, Sudah aja jawab “anak saya blom sekolah udah bisa baca tulis,karena emaknya yg ngajarin”. Kan mengukur kepintaran bukan hanya dgan sekolah dini ya mas..hehe.
    Tulisannya keren….

    Like

    1. Iya, Mbak. Kita kan punya parameter dan ukuran sendiri anak kita mau diarahkan ke mana dan kualitas apa saja yang menurut kita wajib mereka miliki. Orang lain silakan berpendapat, tapi tetap kita yang menentukan. Baik buruknya, kurang lebihnya anak kita bakal kita sendiri yang tanggung jawab kok 🙂

      Like

Tinggalkan jejak