Bersyukur Empat Kali

Awal Maret silam, keluarga kami mendapat ‘hadiah’. Suatu malam di hari Selasa istri saya tiba-tiba didera mual berat, plus muntah-muntah. Entah karena salah makan ataukah lantaran keletihan, semalaman dia terpaksa tak bisa tidur dalam kondisi lemah. Aneka makanan dan ramuan herbal yang biasa ia konsumsi ternyata tak mampu mengusir penderitaannya.

Hingga pagi hari mual dan lemas belum juga hilang. Kondisinya bahkan kian parah sehingga tak ada lagi yang bisa dimuntahkan. Setelah anak-anak bangun, saya pun memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit terdekat, yakni RS Karya Bakti yang kini telah diakuisisi oleh Pemkot Bogor menjadi RSUD Kota Bogor. Bila bertahan di rumah, saya khawatir kondisinya bakal semakin buruk tanpa ada asupan makanan yang masuk. Bila sampai pingsan, tentu urusan menjadi semakin runyam. Lima belas menit kemudian, kami tiba di ruang UGD.

Harus dirawat

Perawat langsung menerima istri saya dan cekatan memeriksa semua yang relevan. Karena anak-anak tak boleh masuk ke ruang UGD, maka saya menunggu di luar bersama Rumi dan Bumi dengan hati waswas tentang hasil pemeriksaan. Tak lama kemudian perawat muncul dan meminta saya segera mencari kamar inap karena istri saya harus dirawat di RS tersebut.

Dengan langkah lunglai, saya membimbing anak-anak menuju bagian informasi dan layanan pelanggan untuk melakukan registrasi dan memesan kamar yang tersedia. Setelah dilakukan penyisiran data, dapatlah kamar kelas 2. Setelah mengisi data, saya diminta menyetorkan deposit di kasir. Lalu saya pun menunggu agar istri segera dipindahkan ke ruangan yang disepakati.

Menanti dengan cemas hati

Kepiluan baru saja dimulai. Di saat menunggu itulah saya dirundung perasaan tak menentu. Betapa tidak, istri saya di dalam tanpa didampingi keluarga sementara saya berada di luar bersama anak-anak, tak tahu apakah Bunda mereka sudah dipindahkan dan mendapat penanganan semestinya. Saat saya sampaikan kepada satpam penjaga, alasan saya tetap ditolak. Ingin menangis rasanya karena tak bisa berbuat apa-apa. Sementara keluarga berada jauh di Jawa Timur.

Setelah anak-anak tenang karena masing-masing mendapatkan roti sobek kesukaan mereka, saya lalu merapat ke bagian informasi agar diberitahu kondisi terkini istri saya. Syukurlah sudah dipindahkan dari UGD. Demi memastikan sakitnya, saya lantas mengambil tindakan sedikit nekat. Karena anak-anak tak boleh masuk, maka Rumi dan Bumi saya titipkan pada satpam penjaga di ruang lobi, tepat di depan meja pendaftaran. Khawatir tentu, sebab proses menitip tentu tak pakai tanda apa pun seperti titip tas di supermarket yang biasanya menggunakan label nomor.

“Anak-anaknya suka rewel ga, Pak?” tanya satpam penjaga ragu.
“Tenang, insyaAllah mereka ga rewel, Pak (karena sudah pegang makanan) :). Paling agak berisik karena bermain-main di situ.”

Pindah ke ruang VIP

Akhirnya bertemu juga Bunda yang terbaring lemas di atas ranjang. Hati tentu tetap waswas meninggalkan anak-anak pada pak satpam. Bunda lalu mengusulkan agar saya mencari kamar VIP. Oh iya ya, kenapa tak terpikir? Gumam saya. Di kamar VIP anak-anak bisa keluar-masuk dan bahkan menginap dengan bebas. Memang harga per malam relatif lebih besar, namun kenyamanan anak-anak menjadi prioritas utama saya. Dengan begitu, saya juga bisa meninggalkan mereka bersama Bunda sewaktu-waktu saya harus keluar membeli obat atau mengerjakan hal lain.

Alhamdulillah, ada kamar VIP yang siap. Perawat segera memindahkan ke ruangan baru dan anak-anak bisa saya bawa serta ke dalamnya. Lega rasanya soal ruangan akhirnya bisa teratasi. Anak-anak gembira bertemu Bunda setelah beberapa jam terpisahkan. Ibu yang ada di Jawa sedang repot jadi tak bisa berkunjung ke Bogor. Jadi, menginap di ruang VIP adalah pilihan paling tepat bagi kami.

Masuk Rabu pagi, hari berikutnya atau Kamis pagi kondisi Bunda … [bersambung ke Bersyukur Empat Kali (2)]

14 Comments

Tinggalkan jejak