Kalau Enggak “Ke Mana-mana”, Mana Mungkin Dapat Rezeki

Suatu hari seorang teman di jaringan Facebook menulis status atau meme — saya lupa — yang sangat menarik. Bunyinya kira-kira begini:

Kalau sudah rezeki, memang enggak akan ke mana, tapi kalau enggak ke mana-mana, mana mungkin bisa dapet rezeki.

Kalimat di atas terdiri dari dua klausa yakni: (1) kalau sudah rezeki, memang enggak akan ke mana dan (2) kalau enggak ke mana-mana, mana mungkin bisa dapet rezeki. Klausa pertama sudah cukup populer di masyarakat kita, entah diucapkan dalam acara televisi atau kehidupan sehari-hari. Intinya jelas: kalau sesuatu memang sudah digariskan jadi rezeki kita (dari Tuhan), maka bagaimana pun akan tetap menyinggahi kita walau orang lain coba menghalanginya.

Status BBM sudah jadul?

Nah, yang menggelitik adalah tambahan klausa kedua itu bahwa untuk bisa meraup rezeki kita dituntut untuk ke mana-mana. Beberapa hari lalu saya memasang klausa kedua sebagai status di Blackberry Messenger (BBM). Namun tidak tampil apa adanya, melainkan dengan tambahan tanda kutip pada “ke mana-mana”. Tanda ini saya maksudkan sebagai sinyal bahwa frasa tersebut punya makna berbeda, bukan harfiah. Berikut bunyi status BBM saya tempo hari:

Kalau enggak “ke mana-mana”, mana mungkin dapet rezeki.

Tak berselang lama, seorang sahabat pun mengomentari status tersebut. Dia menyatakan bahwa status saya sudah usang alias jadul. Maksudnya, maknanya kini sudah tidak relevan sebab dia pun tetap menghasilkan uang walaupun tidak ke mana-mana. Ya, usaha toko buku online yang dia kelola memang terbilang lumayan dan berjalan dengan pesanan yang terus mengalir dari para pelanggan.

Saya tentu tak mau menerima tudingannya bahwa status saya sudah basi. Saya ingatkan dia bahwa ada tanda kutip pada frasa “ke mana-mana”. Itu artinya kata tersebut punya makna lain, tidak melulu yang tersurat dalam status. Setelah saya jelaskan panjang lebar, dia pun sepakat dengan pendapat saya. Intinya, untuk bisa memetik rezeki, manusia memang harus “ke mana-mana”.

Tak harus fisik

“Ke mana-mana” menyiratkan aktivitas yang dilakukan secara sengaja. “Ke mana-mana” tidak hanya berarti gerakan fisik mengunjungi suatu tempat atau melangkahkan kaki meninggalkan tempat kita berada sebelumnya. Itu baru lapisan makna pertama. Pada lapisan kedua, “ke mana-mana” mendedahkan makna lain. Kita harus bergerak, harus berusaha, harus mencari cara agar mendapat rezeki, tidak hanya menunggunya.

Untuk mempermudah memahaminya, saya akan sajikan beberapa contoh. Suatu pagi sepulang dari pasar, saya melihat seorang pria paruh baya berjalan menyusuri pasar. Dia terlihat menjinjing sebuah termos air panas di tangan kanan dan keranjang di tangan kiri. Bisa diduga, keranjang tersebut berisi aneka produk kopi instan kemasan yang siap diseduh. Usahanya memang tokcer. Dia menyasar para penjual di pasar yang barangkali telah berjaga semalaman di pasar dan pagi itu didera rasa kantuk. Saya sangat memuji aktivitasnya karena sudah “ke mana-mana” sepagi itu.bakso kita promosi

Bayangkan bila dia hanya menunggu di depan rumah atau kontrakannya. Siapakah yang akan membeli kopi seduhannya? Mungkin tetangga, tapi jumlahnya tidak banyak sebab tempat tinggalnya berlokasi di gang buntu, misalnya. Dia mengambil langkah aktif, menyambangi calon konsumen di pasar–sebuah arena yang pas untuk meludeskan kopinya. Ini contoh “ke mana-mana” secara fisik.

Bahkan sebuah kedai bakso laris di Lamongan harus terus mempromosikan produknya melalui grup kuliner kota kami agar calon pembeli tahu dan pembeli loyal akan datang lagi dan lagi.

Menggunakan senjata

Contoh lain, ada teman saya yang punya produk mebel yang bagus. Saya pun mengiler melihatnya. Dia bercerita bahwa sudah punya web untuk usaha tersebut. Namun sayang, saat saya tanyakan apa alamat web-nya, dia tersenyum malu dan menolak memberitahukannya. Walhasil, produknya tak terjual dan kini dia tetap menjadi karyawan. Bukan soal menjadi karyawan, melainkan keengganannya membocorkan alamat web usahanya yang jadi soal.

Dia berpikir bahwa membuat web saja sudah cukup tanpa perlu menyebarkannya. Padahal masih ada pekerjaan lain yaitu mempromosikan web tersebut seluas-luasnya. Misalnya dengan mengadakan kontes, menjadi sponsor, atau bentuk promosi lainnya. Konon, dia malu memublikasikannya, ahaha. Lucu betul. Padahal saya berniat membantu menyebarkan info usahanya melalaui web tersebut.

Teman saya ini memang religius dan merawat rutinitas bertahajud dan dhuha. Saya sepakat bahwa dua shalat sunah ini merupakan senjata yang powerful untuk melancarkan apa saja yang kita hajatkan. Namun senjata setajam apa pun akan mandul bila tidak digerakkan atau dipakai melalui tambahan kerja keras. Itulah yang saya maksud dengan “ke mana-mana”.

Seorang penulis yang karyanya bagus tidak akan dibeli oleh pembaca bila dia tidak mengirimkannya kepada penerbit, atau setidak-tidaknya menerbitkannya sendiri melalui indie publishing. Seorang orator ulung tidak akan disinggahi rezeki bila dia malu menunjukkan kebolehannya atau bila dia enggan melakukan pendekatan kepada pihak yang sekiranya membutuhkan. Produk sebagus apa pun tak akan menemukan pembeli bila ia tidak diumumkan secara publik.

Bukan diam dan menanti

“Ke mana-mana” bisa berarti seorang ibu yang memetik daun singkong atau buah pepaya lalu menjualnya di pasar pagi-pagi. “Ke mana-mana” bisa berarti seorang atlet yang terus melatih keterampilannya agar berprestasi dan mendapat penghargaan semestinya. “Ke mana-mana” bisa berarti seorang penjual yang mengemas produknya dengan baik lalu mencoba menjualnya dengan berbagai cara kreatif.

“Ke mana-mana” tidak hanya berarti pergi ke suatu tempat. “Ke mana-mana” berarti sengaja bergerak, melakukan aktivitas baik di rumah atau di luar rumah, yang sesuai dengan kecakapan yang kita miliki.

Dua hari lalu saya dengar seorang pemain Google Adsense yang berhasil meraup 60-an juta rupiah sebulan dari blog-blog yang dikelolanya. Menakjubkan bukan? Ini contoh nyata tentang perlunya “ke mana-mana”. Dia tidak harus meninggalkan rumahnya (kecuali mungkin untuk beli pulsa paket data), tapi dia terus bekerja mengelola rumah mayanya dengan cermat dan serius dan akhirnya menghasilkan rezeki berlimpah.

“Ke mana-mana” berarti tidak hanya diam dan tidak berbuat apa-apa. Kalau sudah rezeki, memang enggak akan ke mana, tapi kalau enggak ke mana-mana, mana mungkin bisa dapet rezeki?

40 Comments

  1. Biarpun punya bisnis online… Saya tetap hrs kemana-mana dalam arti sebenarnya. Keluar keringet juga. Supaya bisa dionlinekan, sdh pasti ada pekerjaan offlinenya. Dan itu asyik-asyik aja tuuh…

    Kalau yg punya Jolla Jolly sih pastinya sdh kemana2 menjelajah ya… Karungnya udah makin gede isinya. Ntar minta alamat rumah tingkatnya ya…

    Btw, ada info C nia tuuh… Mau?

    Like

    1. Hihihi, sarua eta mah. Saya juga masih suka ke mana-mana dalam arti sesungguhnya kok Mbak. Ya termasuk antar pesanan dan beli kelapa, hehe. Kapan ya bisa “ke mana-mana” ke Kemanggisan buat ketemu Ceu Nia? Mau duonkk….

      Like

      1. Wahzzup, Kangbro? Sudah bagus itu mencoba “ke mana-mana”, mungkin belum ketemu aja jalan yang pas. Sesuaikan sama passion, Sir. Insya Allah nanti sinkron dan semangat jalaninya. Moga-moga nanti kalau bisa kopdar kita bisa sharing. 🙂 Semangat!

        Like

      1. Dolarnya lagi seret mas… fokus jadi content writer di situs orang, hehehe.. 😀
        Tapi yah itu, dikira orang malas dan pengangguran… saya terima dengan sabar 😀

        Like

  2. Pada jaman IT ini ke mana-mana bukan hanya di dunia nyata tetapi di dunia maya. Misalnya promosi barang dan jasa di sosmed.
    Nulis job review, ikut lomba blog, nulis buku, dll harus diartikan ke mana-mana yang bisa mendulang rezeki.
    Salam hangat dari Surabaya

    Like

    1. Menurut saya, blogwalking juga salah satu perwujudan “ke mana-mana” kok Mbak karena banyak manfaatnya, salah satunya menambah kenalan, tambah info lomba dan mendapat ilmu baru yang berharga.

      Like

  3. “Ke mana-mana” kuartikan sebagai bersilaturahmi 🙂 sowan/berkunjung ke rumah teman/saudara. Atau ketemuan di mall/tpt makan. Tp intinya adalah silaturahmi yg memang dijanjikan olehNYA dapat menambah rejeki bagi yg melakukannya. Rejekinya jg berupa byk hal: materi, makanan gratis (hehehe), dapet nasehat. Atau rejeki berupa info2 bermanfaat.

    Like

  4. Setuju mas… Mmg mesti ‘kemana-mana’ utk mengais rezeki..mski tak selalu pergi / bergerak scra fisik..bs jg info yg digerakkan…
    Mari mendulang rizki dg ‘kemana-mana’.. 🙂

    Like

    1. Betul, Mbak. Pokoknya kita kerjakan aja yang kita bisa. Sisanya biar Allah yang atur 🙂 Mau ngeblog kek, mau nulis buku, mau jualan, juga hayuuk aja, yang penting bisa menghasilkan, sekurang-kurangnya menginspirasi orang lain ya.

      Like

  5. Sepakat. Kemana2 memang bisa kita artikan secara fisik maupun pikiran kita. Orang jualan secara online promosinya tetep
    Berada di rumah duduk manis tapi pikirannya yang ke mana2. Tangannya terus bergerak, bertemu orang tidak face to face. Itulah yang namanya ke mana2.
    Rezeki tidak akan ke mana tapi rezeki harus dijemput. Terima kasih artikelnya.

    Liked by 1 person

  6. Iya bener banget. Kalau kita nggak ada usaha sama sekali, itu kan sama saja menyalahi peraturan untuk terus ikhtiar. MAntap tulisannya, padahal udah lama tapi masih relevan

    Like

Tinggalkan jejak