ditelan sunyi
solitude
asing bunyi
magnitude
kosong
kosong
celah. merekah
sombong
sombong
pecah. bernanah
hari ini
hari esok
melukai diri
terseok-seok
membuncah perih
kata-katamu
sakit
langkah tertatih
biru-biru rindu
pahit
matahari
matahari
matahari
ditelan gelap
diliput kabut
disaput malam
tanda dari rembulan
dihampakan bibir beracun
penantian rumput
pada embun
basah palsu
kesah ilmu
hanya di sini
di dalam hati
nyanyian terdengar
tanpa musik
selain tiktok jam
tanpa kata
selain makna yang jauh
samar-samar
menegaskan dusta
dan nyala pamrih
yang berbahaya
yang berbahaya
saya
membuncah sedih
malam ingat permata
LikeLike
Terima kasih.
LikeLike
Kesunyian bisa membawa kita ke berbagai arah.
Pada sepertiga malam terakhir, kesunyian bisa mendekatkan diri kita kepada Ilahi Rabbi, bermunajat dengan penuh harap
Salam hangat dari Surabaya
LikeLike
Benar sekali, Pakde. Dalam sunyi kita kerap bisa berpikir macam-macam. Tapi hendaknya pikiran dijernihkan agar mengarah pada Sang Kuasa. Bermunajat dan meminta apa saja yang kita kehendaki, tak ada yang tak mungkin sebab Dia memberi yang kita butuhkan. Tentu saja penuh harap dan yakin akan terkabul. Setelah itu, dunia seisinya akan kita raih, bahkan lebih dari itu.
Alhamdulillah, terima kasih. Salam dingin dari Bogor 😀
LikeLike
Sunyi
Cahaya redup
pikiran kosong
Suara-suara langkah
membuat resah
bayangan hitam menghampiri
rasa takut dan ingin pergi
tapi langkah terhenti
Karena ternyata
dalam sunyi
ada suami yang menemani
hihi, jadi inget puisi ini juga mas…sudah berpikir aneh kalau sedang sunyi.
LikeLike
Iya, Mbak. Sunyi membuat kita merenung dan berpikir jernih tentang banyak hal, termasuk memunculkan ketakutan tersendiri 🙂
LikeLike
ditelan sunyi
di sudut bumi
di miliaran galaksi
betapa mini
semini-mininya mini
di hadapan Ilahi
LikeLike
begitu sunyi
kebodohan hakiki
begitu rinai
istigfar yang berderai
LikeLike
Wah puisinya dalem banget mas…. Btw saya lebih suka kesunyian daripada keramaian mas, meski kadang kesunyian memandu pada pemikiran yang aneh2 😀
LikeLike
dalam sunyi justru kita banyak mendengar..
Dan menjadi mawas..
salam mas…
LikeLike
Betul sekali, Mbak Indah. Kita bisa mengambil jarak sejenak bahkan dari diri kita sendiri untuk melihat lintasan waktu ke belakang ya…
Salam 🙂
LikeLike
jadi pengen bikin puisi..
LikeLike