Berbagi Nasi Bogor Jilid X

Tanggal 13 November saya gembira sekali bisa kembali berpartisipasi dalam Bernas (Berbagi Nasi) Bogor yang memasuki jilid ke-10 bila tak salah. Jika Jumat malam sebelumnya cuaca Bogor cerah, kali ini sejak sore Bogor disirami hujan yang cukup lebat dan kontinu.

Badan agak meriang, namun ingin ikut bergabung bersama para pejuang nasi. Sejak siang grup WA Bernas Bogor sudah ramai tentang siapa yang bisa dan tak bisa turun ke jalan. Rupanya Jumat itu banyak rekan yang berhalangan, entah karena pekerjaan atau kesibukan lain.

Tak apa, namanya juga kegiatan sukarela, jadi tak ada paksaan atau ikatan apa pun. Dan justru inilah asyiknya, siapa pun bisa bergabung kapan saja saat yang lain berhalangan. Kesuksesan kegiatan bukan ditentukan oleh jumlah personel yang terjun atau amunisi yang dibagikan, melainkan pada intensitas hati yang tersentuh dan terbantu.

The Three Musketeers

Pukul 8 lewat saya sudah tiba di Mesra. Karena belum ada yang datang, saya segera membungkus amunisi satu per satu — menyatukan sebungkus nasi dengan air mineral atau teh tawar. Ada 10 amunisi yang siap dibagikan, termasuk donasi yang disampaikan lewat Novi admin Bernas Bogor.

Tak lama kemudian Renaldi (Ray) muncul. Ray adalah anak SMAKBO yang tengah magang di Jakarta. Keluarganya tinggal di Jakarta sementara dia indekos di Bogor dekat sekolahnya. “Asyik aja Pak, kegiatan begini sambil menambah rezeki.” Begitu jawabnya saat saya kulik mengapa tertarik ikut Bernas padahal di malam dingin itu enaknya bergumul dengan kemul. Salut!

Berdasarkan pantauan di WA, Fuad akan menemani kami malam itu. Dia bertolak dari Depok sehingga kami harus sabar menanti. Saat asyik mengobrol, Novi mengirim pesan bahwa ada donasi masuk lagi. Saya segera meluncur ke Jl. Ciheuleut untuk membeli beberapa amunisi tambahan. Saya tinggalkan Ray untuk menjaga amunisi yang sebelumnya saya bawa.

“Pak, saya balik ke kos ya, cari helm,” ujarnya lewat pesan di WA. Saya masih di warung nasi Padang. Kembali ke halaman Mesra, Ray belum terlihat. Tak lama berselang muncullah Feris dengan membonceng Ray sambil membawa 3 amunisi. Total amunisi malam itu sebanyak 17 bungkus.

Ketiduran dan kemalaman

Hingga pukul 10 malam Fuad belum juga menampakkan diri. Betapa kaget mendengar kabar dari Ray bahwa Fuad ternyata ketiduran. Olala, pantesan lama. Fuad meminta maaf dan minta ditinggal saja. Kami bertiga pun langsung tancap gas ke Jl. Surken. Malam itu sepanjang Jl. Otista hingga Surken sudah sangat ramai. Para penjual sayuran dan buah tumpah ruah ke badan jalan. Walhasil, kami pun bergerak merambat meskipun berkendara motor.

“Ini gara-gara nunggu Fuad nih jadi kejebak penjual!” gumam saya geli hehe. Padahal ketemu Fuad pun belum pernah. Jalanan becek dan basah selepas hujan deras yang mendera. Tak apa kemalaman dengan jumlah amunisi seadanya. Yang penting malam itu ada yang terbantu terisi perutnya. Begitu tekad kami.

Terhibur dengan tertidur

“Maaf, Pak. Saya ganggu tidurnya.” Lelaki paruh baya itu tergeragap dan memandang saya, agak terkejut.

“Ya?” jawabnya singkat.

“Bapak sudah makan?” saya tanya balik.

“Sudah, tadi siang.” Kali ini dia sudah terduduk tak jauh dari kantong plastik besar berisi barang-barang pulungannya.

“Silakan, Pak. Ini ada nasi. Maaf ya ganggu.” Nasi bungkus diterima. Saya menoleh ke sebelah: ada lelaki lain di emperan toko itu. Sebungkus lagi saya serahkan. Saya langsung pamit dan bergabung dengan Ray dan Feris yang sedari tadi mengamati dari seberang jalan. Tanpa menunggu kami beranjak pergi, kedua lelaki tua itu langsung membuka nasi dan menyantapnya. Lapar.

Lamat-lamat ucapan terima kasih masih bergaung dalam memori. Ya Allah, berarti bapak itu berencana tidak makan malam karena makan terakhir adalah makan siang tadi. Betapa beruntung saya yang masih bisa makan tiga kali sehari, atau mungkin lebih, dengan jaminan kemampuan hingga sebulan ke depan. Sementara mereka tak tahu esok akan makan apa, di mana, dan bahkan mungkin tak punya sesuatu untuk dimakan.

Lelaki paruh baya itu memutuskan untuk tidur sebagai cara menghibur dirinya guna melupakan rasa lapar. Duhai Sobat, pernahkah Anda lapar? Seberapa hebat rasa lapar itu saat kita tak punya makanan untuk disantap?

Dari Kebun Raya ke Empang Raya

Malam itu tak banyak pemulung atau gelandangan yang kami jumpai–setidak-tidaknya dibandingkan Jumat pekan sebelumnya. Kami berdoa agar ketiadaan mereka saat itu adalah lantaran mereka telah mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan tidak kehujanan di tempat lain. Feris dan Ray bergantian membagikan nasi bungkus yang tersisa. Dari Surken hingga ke lampu merah Empang.

“Belum,” jawab seorang bapak yang terbangun. Istrinya ikut bangun dan duduk menemani sang suami. Lokasinya di emperan ruko baru di kawasan Empang sebelum lampu merah. Dari tempat mereka ada pula seorang pemulung, masih muda, tertidur tanpa suara. Sepertinya tidur adalah teknik paling efektif untuk melawan rasa lapar bagi mereka. Tiga amunisi pun berpindah tangan.

Pasangan suami istri itu tak henti mengucapkan terima kasih. Menurut penuturan mereka, biasanya mereka bermalam di sekitar Kebun Raya Bogor, lalu pindah ke emperan toko atau ruko ketika hujan turun. Lega rasanya 17 amunisi sukses terdistribusi malam itu.

Mengakhiri malam itu, teringat ucapan Kanaz pada Bernas sebelumnya. “Kalau lihat kayak gini kita jadi merasa kaya ya Pak?” Saya mengangguk. Semoga kita bisa terus bersyukur salah satunya dengan cara berbagi nasi.

30 Comments

  1. Meluangkan waktu untuk kegiatan ini juga butuh usaha mengalahkan kemalasan yang sering menghinggapi diri. Apalagi ini ada hujannya juga. Salut kang.

    Like

  2. Luar biasa. Kerjaan orang-orang kaya secara batin. Jarang sekali yang bersedia melakukan hal macam begitu. Saya benar-benar iri, Mas. Sumpah!
    Omong-omong, bagaimana dengan sampah bungkus nasinya, Mas? Beberapa saat lalu sepertinya hal itu ramai dibincangkan.

    Like

    1. Terima kasih atas dukungannya, Mas. Tentang sampah bungkusnya, itu sepenuhnya tanggung jawab penerima nasih sebab kami tidak menunggu mereka hingga selesai bersantap. Adapun mengenai ramainya perbincangan soal sampah terkait, saya malah baru dengar, Mas. Tapi saya memang sempat menyindir salah satu foto Bernas suatu kota yang mejeng dengan banyak sampah di sekeliling mereka. Semoga bisa diselesaikan.

      Like

  3. kegiatannya positif bgt mas. Jadi inget dulu sy dan suami jg sering masak lebih d hari jumat dan mmbrikannya buat bbrp org di jalan. Udah lama bgt ga bagi2 nasi lg, serasa ditegur lg sm postingan ini. Makasih mas 🙂

    Like

  4. Wah, asyik juga kalau ada kegiatan seperti ini di Pamulang dan Ciputat, ya. Tapi blogger di wilayah ini seperti sedikit. Yang bikin seru kan kegiatan ini diadakan oleh blogger. Iya, kan.

    Like

    1. Yang saya tahu ada Bernas Tangerang, Bunda. Ciputat juga ada tapi sepertinya sedang vakum karena akun Twitter-nya ga update. Bogor juga tadinya vakum lalu dihidupkan lagi oleh anak-anak muda lulusan SMAKBO. Seru dan sangat bermanfaat, Bunda. Belum ketemu sesama blogger sih, baru ma Mbak Anazkia.

      Like

Tinggalkan jejak