Harum Kopi Memanggilku; What’s Our Passport to Happiness?

“Traveling––it makes you lonely, then gives you a friend. It offers you a hundred roads to adventure, and gives your heart wings. It leaves you speechless, then turns you into a storyteller. It gives you a home in a thousand strange places, then leaves you a stranger in your own land. All you do is take the first step.”
IBN BATTUTA

Dua tahun belakangan kami (saya dan istri) entah mengapa sangat menggandrungi kopi. Awalnya karena ada promo produk baru kopi sachet dari sebuah brand besar, namun itu tak bertahan lama. Selera kami lantas bergeser ke kopi tubruk yang plain tanpa tambahan apa pun. Kopi tubruk yang wangi dan pas akhirnya kami temukan di sebuah kedai kopi di kawasan Pecinan Suryakencana, Bogor. Kemasannya sederhana, hanya dibungkus kertas cokelat dan plastik bening pada lapisan terluar. Namun sedapnya jangan tanya, lezat dan mantap. Kami masih mengonsumsinya hingga kini, hanya saja dengan frekuensi yang dikurangi.

Kopi, aku datang!

Maka saat sobat blogger asal Semarang, yakni momtraveler, mengundang kami untuk mencicipi kopi langsung di kebunnya, kesempatan itu tak kami sia-siakan. Awal Januari silam pun kami meluncur ke Semarang. Tiba di Semarang malam hari, esok paginya kami dibawa meluncur ke Kampung Kopi Banaran di Jl. Raya Semarang – Solo Km. 35. Kampung ini merupakan unit usaha agrowisata kepunyaan PT Perkebunan Nusantara IX (Persero), yang terletak di Areal Perkebunan Kopi Kebun Getas Afdeling Assinan. Dari kota Semarang, kita bisa masuk pintu tol ke arah Ungaran, sebab lokasi kampung kopi tersebut sangat dekat dengan exit tol Ungaran.

tugu copy
Tugu kampung kopi yang menyambut setiap pengunjung

Sekitar pukul 10.00 kami tiba di lokasi. Cuaca Semarang tumben tidak galak–redup dengan semburat matahari yang malu-malu. Setelah mengobrol sebentar dengan sahabat saya yang datang dari Kudus, kami segera memasuki tempat wisata yang menawarkan banyak permainan. Selain rumah balon, tersedia pula camping ground, flying fox, water park, motor ATV, dan wisata berkuda. Ada juga taman bunga dan beberapa gazebo tempat kita bisa menyantap makanan.

mainan
Gazebo dan wahana permainan lain siap memanjakan pengunjung

Bermain sudah, kini saatnya menjelalajah kebun kopi seluas 400 hektare tersebut. Sayangnya kereta wisata seharga Rp50.000 itu sedang sibuk lantaran banyaknya pengunjung di hari Minggu. Kami pun mengantre sambil mengamati bunga-bunga tak jauh dari loket kereta wisata.

DSCN0419 copy
Kereta siap meluncur, walau harus antre
bunga copy
Bunga-bunga indah, cukup meredakan kebosanan sembari menunggu giliran naik kereta

Kereta kami pun tiba. Karena ada tiga keluarga dengan empat bocah, maka kami menyewa dua kereta. Meskipun tampangnya tak meyakinkan, ternyata kereta yang kami tumpangi bergerak dengan cukup garang. Jalanan berbukit dan berkelok-kelok sama sekali tidak masalah bagi mesin tunggangan kami. Menurut pengemudi kereta, mobil jenis ini justru kerap dipakai untuk menderek atau menarik truk-truk yang mogok. Pantas saja, cc-nya yang tinggi membuatnya powerful namun berjalan tetap nyaman.

jalan copy
Jalanan yang membelah perkebunan

Menepi dan déjà vu

Di suatu titik, pengemudi menawari kami untuk berhenti sejenak guna melihat sekeliling. Saya tak sia-siakan peluang emas itu. Saya turun dan ingin menyaksikan langsung tanaman kopi dari dekat. Sewaktu kecil, saya pernah melihat tanaman kopi yang berjajar rapi di sebuah jalan di Jombang, Jawa Timur. Pemandangan di kampung Banaran seolah menghadirkan déjà vu yang kian menguatkan kenangan dan memori indah bersama ayah. Tak sabar rasanya untuk segera turun ke resto dan mencicipi harumnya kopi Robusta ini.

DSCN0442 copy
Inilah kopi Robusta yang ditanam di Banaran sesuai dengan ketinggian lokasi

Karena kereta-kereta lain mengantre di belakang kami, maka kami tak bisa berhenti telalu lama. Kami segera beranjak dan menyusuri jalanan di tepi jurang dengan berbagai pohon hijau meneduhkan. Anak-anak kegirangan menikmati pengalaman baru ini. Apalagi saya, hehe. Dari kereta yang kami tumpangi, tampaklah danau Rawa Pening yang legendaris itu. Sayang sekali mata kamera terbatas untuk bisa mengabadikannya. Akhirnya mata batin yang menyimpannya, *apasih* 😀

kereta jurang copy
Jalanan tak selalu di tengah; kadang juga melewati tepian jurang

Saking asyiknya melanglang areal perkebunan kopi, tak kami sadari bahwa langit bergerak memucat. Matahari sudah sempurna hilang ditelan gugusan awan kelabu. Wah, bentar lagi hujan nih! Gumam saya. Untunglah kami sudah mulai merapat ke tempat kami berangkat. Begitu kereta tiba di pemberhentian terakhir, anak-anak ternyata ingin menjajal naik kuda. Walau ditemani sang pawang, tetap saja kaki saya tak berhenti gemetaran selama menapaki jalanan di sisi lain perkebunan. Bumi (3 tahun) tampak antusias duduk di depan, saya mendampinginya di belakang. Lagi-lagi kami disambut dengan pemandangan Rawa Pening yang memukau. Seolah ada kabut tipis yang menyelimuti himpunan air yang luas itu.

mendung copy
Cuaca mulai mendung

Hujan akhirnya turun dengan deras–seolah ditumpahkan dari langit. Kami menepi ke gazebo terdekat. Bang Indra kemudian memantau area resto yang kosong. Awalnya kami mengincar makan di gazebo, namun semuanya penuh. Tak apalah, akhirnya ada juga ruang kosong di dalam resto. Pelayan datang, kami pun memesan. Selain makan besar, tentu saja kami memesan kopi spesial khas Banaran Cafe. Sambil menunggu pesanan, saya mencari kudapan berupa sosis pisang. Pisang yang dilumat dan harum juga enak rasanya. Entah apa sebutannya di daerah lain.

kopi copy
Kopi-kopi yang di-dispay di dinding resto
sosis pisang copy

Keharuman yang membahagiakan

Nah, saatnya menikmati secangkir kopi spesial ala Banaran Cafe. Sayangnya, rasa kopi yang tersaji tidak sesuai ekspektasi kami. Saya dan momtraveler sepakat soal ini. Bukannya tidak enak, hanya saja tidak terlalu spesial seperti namanya. Betul kata Muna, barangkali baristanya perlu menggali inovasi untuk meramu racikan rasa yang lebih prima. Namun harumnya masih tercium hingga kini–memanggil-manggil saya untuk kembali.

Kami tidak kecewa, sebab pengalaman hari itu sangat menyenangkan. It was one of the happiest days of our life! Bisa menjelajah kebun kopi juga reuni bersama duo sahabat semasa kuliah. Sungguh perjalanan yang membuat kami bahagia–terutama bagi anak-anak. Selain mendapat teman baru, mereka juga mengenal kekayaan alam dan potensi wisata dalam negeri.

kopi banaran copy

Itulah sepenggal perjalanan yang sangat mengesankan buat kami. Hanya satu lokasi wisata, satu kota saja, namun kisahnya bisa terjabar hingga mendekati seribu kata. Bila menilik salah satu kalimat Ibnu Batuta yang membuka tulisan ini, memang betul saya sudah menjadi pencerita (storyteller) dengan menuliskan kembali pengalaman berkunjung tersebut. Pada beberapa momen, saya mungkin terkesiap hingga pada titik tak mampu berkata-kata (speechless) seperti saat memandang Rawa Pening.

Sekali lagi, itu baru satu tempat dan satu kota loh! Bagaimana bila yang saya kunjungi adalah belasan kota dan kota-kota itu menerabas batas-batas geografis hingga sudut-sudut budaya dunia yang berbeda? Tentulah stroytelling yang lahir bakalan lebih impresif. Pengalaman berharga itu saya dapatkan setelah membaca buku karya Ollie, blogger cum penulis, yang kini lebih terkenal sebagai pengusaha di ranah teknologi.

Tema yang tak biasa

Sebelum membuka buku berjudul Passport to Happiness ini, saya sudah membekali diri dengan beberapa praduga. Saya sering membaca jurnal Ollie yang diabadikan di blog pribadinya. Saya membatin, apakah kisah kegagalan berumah tangga akan ia sisipkan dalam buku ini? Bila iya, seberapa jauh ia akan mengekplorasi perasaan dan menyelami emosi dirinya saat melakukan travelogue ke 11 negara berbeda? Apakah Ollie akan melakukan kompromi terhadap hubungan baru yang ia harapkan bisa dibangun? Pertanyaan-pertanyaan ini menarik sebab tema perceraian masih dianggap sensitif atau bahkan tabu dalam masyarakat sosial kita.

cover

Pertanyaan demi pertanyaan pun terjawab begitu saya membuka lembar demi lembar buku mungil ini. Saya sebut mungil sebab ukurannya mirip novel pada umumnya yang nyaman digenggam atau dibaca di dalam bus sepulang saya dari toko buku beberapa hari yang lalu. Bukunya juga tidak terlalu tebal, sekira 190-an halaman, sehingga bisa dibaca dengan cepat. Despite its physical appearance, the book does keep a lot of surprises. Kejutan itu ia siapkan dalam setiap tulisan yang dibagi dalam 11 keping cerita sesuai jumlah kota yang ia kunjungi.

Dalam bagian pengantar, Ollie memberi clue bahwa buku ini merupakan hasil pengalaman, pengamatan, dan perenungannya tentang cinta dalam kurun empat tahun melalui 11 kota di dunia, mulai New York hingga Alexandria–Mesir. Love is a journey, begitu tulis Ollie di bagian lain. Dan betul bahwasannya the journey finally leads her to a variety of love–cinta pada sahabat maupun lawan jenis, juga terhadap budaya-budaya dunia serta dunia kata-kata yang memang sudah menjadi passion–nya sejak semula.

Gaya bahasa yang memikat

Membaca buku ini tidak menuntut kita mengernyitkan dahi atau memeras otak. Setiap kata dan kalimat adalah ungkapan sehari-hari yang kerap kita jumpai setiap hari di berbagai media. Kendati begitu, Ollie tidak membiarkan kalimat dan paragraf terhambur sia-sia di depan pembaca. Saya merasakan setiap kata dipilih secara selektif dan hati-hati agar pengalaman yang ia sampaikan tetap bertenaga. Mau tak mau saya lantas membandingkan dengan buku Trinity yang juga menurunkan tulisan traveling. Bila Trinity lebih blak-blakan, meledak-ledak, dan bercerita apa adanya, nah Ollie memilih untuk cermat menghadirkan setiap kalimat–termasuk beberapa ungkapan dalam bahasa Inggris yang memang mewakili perasaan atau circumstances di mana dia berada.

Kelebihan Ollie dari segi bahasa tidak bisa dipungkiri. Maklumlah, jam terbangnya sebagai penulis puluhan buku berbagai genre tentu membantunya menyajikan buku ini dengan manis. Kendati kisah dalam buku ini merupakan pengalaman pribadi yang nyata, namun saya menikmatinya seolah-olah saya menghadapi karya fiksi–mungkin seperti cerpen. Berbagai tokoh hadir sesuai kebutuhan pada setiap keping tulisan di setiap kota yang ia ceritakan. Pada setiap kota, saya tak mau kehilangan langkah tokoh-tokoh yang saya amati.

Sungai Seine yang termasyhur (Foto dari http://www.worldfortravel.com)

Dengan gaya bahasanya yang filmis, saya seolah menyaksikan setiap scene secara langsung. Sungai Seine di Paris seolah terlihat berkilau di depan mata dengan aliran yang tenang. Atau suasana London Canal dengan deretan kapal-kapal panjang yang parkir di pinggir sungai. Tak jauh dari sana konon ada kapal yang berfungsi sebagai toko buku (Hal. 54-55). Saya dibuat penasaran saat Ollie tak kuasa menahan tangis ketika menyaksikan sunset di langit Istanbul dengan paduan warna biru dan oranye pekat. (Hal. 120)

Dalam buku ini Ollie memang berbagi banyak hal, terutama sesuatu yang mungkin tidak pernah ia ceritakan di blog atau buku-bukunya yang lain. Meski begitu, ia tidak melepaskan semua kendali dan membeberkan semuanya secara blatant. Ia tetap meyakinkan diri sebagai pemegang cerita dan sesekali membebaskan saya untuk masuk ke dalam cerita. Mungkin bersatu dengan tokoh-tokoh yang ada lalu menebak isi pikiran lawan bicara mereka.

Nathan, Peter, dan Youssef

Ada tiga nama lelaki yang disebutkan dekat dengan Ollie. Nathan menemani Ollie selama dia pelesiran di London walau keduanya dikisahkan sudah putus hubungan. Nathan terlihat pingin balik merajut asmara sementara Ollie melihat hal itu sebagai hal yang mustahil. Mengenai ketiga cowok ini, Ollie seolah sedang menarik ulur benang layang-layang. Saat saya sudah memaklumi putusnya dia dari Nathan dan berharap dia langgeng sama Peter, Ollie ternyata dilanda kegamangan. Padahal di atas kertas, Peter yang menemaninya selama di Istanbul adalah sosok ideal baginya. Semua kriteria yang ia tetapkan dalam soulmate list ada pada diri Peter. Ollie menduga ada sesuatu yang kurang, dan saya tak urung menyusun dugaan sendiri mengapa.

Seberkas petunjuk agaknya terkuak di halaman 144 saat Ollie memberitahu Peter tentang cincin pemberiannya yang hilang. Kala itu Ollie tengah jalan-jalan di Mesir bersama teman-temannya sementara Peter berada di Turki. Respons Peter sungguh di luar harapan atau dugaan Ollie. Mungkinkah Peter mengalami semacam emotional detachment sehingga Ollie diliputi kekesalan lantaran pasangannya tak ‘hidup’ secara emosional? Pembaca bebas menerka, terlebih saat Ollie diperkenalkan dengan Dr. Youssef Gharbia, pengusaha blasteran Prancis-Tunisia yang juga penulis buku. Saya hampir klop dan setuju agar Ollie memilih Youssef namun kembali ia digelayuti ketakutan–ataukah trauma? Wahai Ollie, apa lagi yang kamu cari? Demikian pekik saya saat mengikuti karakter Youssef. Analisis Arnaud tentang keraguan Ollie (hal.97) seolah menjawab mengapa Ollie bersikap maju-mundur. Analisis yang tepat,menurut saya.

baca

Saya menghadapi setiap kisah sebagai sebuah fragmen yang belum selesai. Tampaknya Ollie sengaja menuturkan setiap keping pengalaman dengan gaya yang menggoda–agar saya sebagai pembaca mempunyai ruang untuk menafsirkan atau bahkan melanjutkan ceriitanya. Penyajian ala novel membuat buku ini enak dinikmati sampai akhir, bahkan untuk dibaca kembali. Setiap cerita di masing-masing kota ditutup dengan paragraf pamungkas yang bernas, seperti saat ia berpesan pada Jamal salah satu peserta seminar asal Afganistan tentang social media. (Hal. 137)

Cinta dan petualangan

Cinta selalu memikat siapa saja, dan buku ini mengulik cinta yang ia kejar, atau cinta yang coba ia maknai. Pencarian akan cinta inilah–pascaperceraian yang dialami penulis–mendorong alur buku untuk terus bergerak dengan irama cerita yang terjaga. Pembaca akan terus mengikuti beat setiap kota yang menawarkan kesempatan untuk menemukan cinta baru atau merekonstruksi makna cinta yang pernah ada.

Pemilihan 11 kota yang sudah kesohor juga menjadi poin menguntungkan bagi buku ini. Siapakah yang tak pernah mendengar Bali, London, Paris, Seoul, Istanbul, Alexandria, dan New York? Sayang sekali China tidak termasuk. Padahal dengan kekayaan budaya dan peradaban negeri Tiongkok rasanya akan menguak kisah-kisah penuh makna. Cinta dan petualangan di kota-kota terkenal itulah yang akan menahan pembaca untuk terus tenggelam dalam certa.

Pengalaman yang evokatif

Beberapa bagian dari buku ini terasa evocative atau membangkitkan kenangan yang pernah saya alami atau terhadap apa yang pernah saya baca. Perjumpaan Ollie dengan Ketut Liyer segera mengingatkan saya pada Elizabeth Gilbert yang juga pernah dibantu oleh Ketut saat dia mengalami depresi pascaperceraiannya. Julia Roberts memerankan sosoknya dengan bagus dalam film berjudul Eat, Pray, and Love dengan setting Bali. Lucunya, saat Ollie berjumpa Ketut, sang penasihat spiritual justru memintanya untuk memakai make-up selain tersenyum. Walau sempat bingung mendapat wejangan seperti itu, Ollie akhirnya paham maksud ucapan Ketut. (Hal. 14)

Adegan kedua yang menggugah secara pribadi adalah saat penulis mendadak jatuh cinta pada puisi ketika berada di Dublin, Irlandia. Begitu menyebut penyair William Butler Yeats, saya langsung teringat masa-masa kuliah saat membaca puisi karyanya. Ollie menghibur kita dengan menampilkan salah satu puisi indah milik Yeats di halaman 25-26. Selain dianggap sebagai pilar kesusastraan Inggris dan Irlandia, Yeats juga pernah menjabat sebagai senator selama dua periode di Irlandia. Hebat kan penyair bisa jadi wakil rakyat?

Finally, Marrakech mengingatkan saya pada seorang guru asal Maroko yang galaknya minta maaf. Walau galak (lebih tepatnya tegas), guru yang mengajar bahasa Inggris dan Arab tersebut sebenarnya baik hati. Suatu sore saat saya tak kebagian lauk menjelang berbuka, beliau menghibahkan setangkup roti khas Maroko. Entah apa namanya, langsung saya embat keburu lapar. Rotinya mirip cane hanya saja dilumuri aneka bumbu dan lebih lezat juga gurih. Marrakech juga menjadi tempat shooting salah satu film fenomenal The Bourne Ultimatum yang dibintangi Matt Damon.

Adanya pengalaman evokatif tersebut membuat saya mudah me-relate pada pengalaman pribadi atau setidak-tidaknya memudahkan visualisasi tentang Cafe de France saat penulis menyesap mint tea yang sepertinya segar dan sedap.

Beberapa kutipan menarik

Layaknya sebuah buku yang disarikan dari kisah nyata, Passport to Happiness pun menawarkan beberapa kutipan yang mengesankan. Kalimat-kalimat itu paling tidak bisa menguatkan pembaca saat mereka ‘terpukul’ atau didera masalah yang sama atau bahkan yang lebih parah.

Untuk siapa aku menulis puisi? Untuk siapanya tidak penting. Yang penting adalah bagaimana puisi bisa menjadi media untuk melebarkan perasaanku hingga menyentuh sudut-sudut yang tidak pernah aku sadari ada di dalam hati, termasuk sudut-sudut gelap yang hanya berisi bayangan. Mereka sudah merindukanku. (Hal. 30)

Terbukti bahwa puisi bisa menyembuhkan dan mengantarkan orang menuju perspektif yang baru.

Confidence is power. …kenyamanan dan kebahagiaan ada pada saat kiita bisa menjadi diri sendiri. (Hal. 76)

Kepercayaan diri itu berguna, tentu saat kita percaya diri dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal.

“Ollie, when you see your soulmate, you just knew. Anda when you knew, you don’t waste your time.” (Hal. 85)

Jawaban Arnaud seperti menjawab pertanyaan beberapa tahun silam sebelum saya menikah dan bimbang menentukan pilihan. 😛

Menjadi bahagia itu pilihan. Dan hanya kita yang bisa mengambil pilihan ini, dengan segala konsekuensinya. Pertanyaannya, apakah kita sudah siap untuk menjadi bahagia? (Hal. 128)

Bahagia memang mudah, namun hal yang mudah tidak akan terasa bila kita tidak pernah siap menyambutnya.

Beberapa catatan

Tak ada typo atau salah eja yang cukup mengganggu dalam buku ini. Hanya dua ekspresi dalam bahasa Inggris yang mungkin terlewat diedit. I’ve learned there are many ways to expressed love (halaman 34) harusnya berbunyi: I’ve learned there are many ways to express love. Lalu pada halaman 120 ada kalimat, “I wish he can expressed his feelings more.” Ini bentuk pengandaian yakni pengharapan yang belum terjadi. Kalimat yang tepat seharusnya: I wish he could express his feelings more. Selain itu, semuanya compact dan entertaining.

Catatan berikutnya mungkin tentang foto. Foto-foto yang ditampilkan di halaman akhir buku akan jauh lebih hidup bila berwarna atau full color. Kisah-kisah yang sudah dipaparkan sebelumnya akan menjadi semakin kuat bila foto-fotonya besar (satu halaman penuh) sehingga pembaca dapat menciptakan ‘chemistry’ antara cerita dan atmosfer yang dibangun.

Pertanyaan akhirnya adalah, what is our passport to happiness? Ternyata menjadi bahagia itu mudah sebab kebahagiaan ada dalam diri kita. Mengobrol bersama teman, mengunjungi tempat asing dan mencoba hal atau hobi baru pun bisa membuat kita bahagia. Bila memungkinkan, traveling bisa menyembuhkan luka-luka. Melakukan perjalanan bisa menguatkan.

Lewat bukunya, Ollie rasanya sudah membuktikan adagium Ibnu Batuta. Ia telah menjadi stroyteller, menemukan rumah dan (makna) cinta di tempat-tempat baru, menjalani berbagai petualangan seru dan akhirnya punya “sayap” untuk membawanya pada pemikiran yang lebih matang dan sinkronistis. Ia semula kesepian lalu menemukan teman baru, entah cinta atau sekurang-kurangnya pengalaman baru. Yang perlu dilakukan adalah action! yakni mengambil langkah pertama, ke mana saja.

Semua orang pernah gagal, terluka, dan kecewa. Seperti ujaran dramawan Amerika Edward Albee, “If you have no wounds, how can you know if you’re alive?” Betul bahwa penderitaan dan kekecewaan pasti dirasakan semua orang sebagai tanda bahwa mereka memang hidup. Itu artinya, luka atau kecewa adalah hal lumrah. Masalahnya adalah, maukah kita beranjak dari tempat kita berdiri untuk menemukan penawarnya? Melangkah untuk mencari pengalaman baru, why not? Setiap kegagalan akan membentuk diri kita.

Bagi saya, yang tak bisa berlibur lantaran habis sakit dan harus banyak beristirahat di rumah, meneguk secangkir kopi tubruk sambil membaca buku ini pun sudah menjadi luxury dan simple happiness. Sambil membayangkan, kapan tukang wingko seperti saya bisa menyinggahi sudut-sudut dunia yang dikisahkan dalam buku tersebut.

Bagaimana dengan Sobat sekalian? Selamat berlibur ya. 😀 Semogaa resensi buku ini menghibur Anda yang enggak bisa berlibur.

30 Comments

    1. Saya juga sekali ketemu Ollie di sebuah peluncuran buku teman. Namun ya cuma lihat dari jauh aja, hehe. Buku terbarunya ini memang berbeda, Mbak Nita. Dia membuka diri dan melalui pergulatan untuk transformasi diri.

      Like

  1. Saya duluu juga doyan kopi. Tapi sekarang sudah jarang minum kopi, menyesuaikan dengan umur, hehehe… Apa kopi liong masih berjaya di Bogor, kang?

    Kayaknya buku itu menarik. Boleh nih nitip beli?

    Like

    1. Saya juga mulai mengurangi, Mas. Terlalu banyak tentunya ga bagus. Kopi liong masih merajai Mas di bogor dan sekitarnya, terutama warung – warung kecil. Di luar Jawa konon Liong juga kesohor, Mas.
      Mau nitip buku? Tentu boleh mas. Nanti saya cek dulu stoknya ya. Tempo hari di gramedia pajajaran habis, akhirnya dapet di botani square; tinggal 9 eksemplar termasuk yang saya beli.

      Like

  2. *kemudian pengen ngopi*
    Itu kopi yang di-display cantik ya mas.. Berarti seruangan gitu enak banget ada aroma kopi 😀
    Oh iya, selamat yaa mas. Tulisannya menang nih ^^

    Like

    1. Ngopi asyik loh, Mbak. Memang cantik desain kopi yang dipamerkan di dinding.

      Terima kasih Mbak Hardiyanti atas informasinya, saya malah belum tahu. Makasih, makasih. Alhamdulilllaaah…

      Like

  3. If you have no wounds, how can you know if you’re alive?…. setuju banget mas, kadang2 luka itu yg menguatkan kita ya. Iya kudoakan tukang wingko itu bisa berkeliling dunia, bawalah wingko mendunia mas. Jolali jolajoline kirimke aku sing soklat, tenin iki aq ngiler 🙂

    Like

Tinggalkan jejak