Pesona Metamorfosa Mas Gagah

/1/

Karya fiksi dan film, bagi saya pribadi, adalah dua anugerah besar dalam peradaban manusia. Baik cerpen maupun novel mampu menciptakan kembali dunia dalam media lain untuk dikunjungi pembaca di mana mereka bisa memutuskan untuk menjadi bagian di dalamnya, bersatu dengan tokoh-tokoh yang ada, atau sebaliknya memilih mengambil jarak dari setiap peran dan peristiwa yang dibentangkan dalam cerita.

Prosa yang ditulis dengan kreatif dan imajinatif mampu menggugah pembacanya untuk bergerak, berempati, untuk menemukan identitas atau bahkan hilang lalu muncul sebagai pribadi baru melalui katarsis dan serangkaian drama yang membangun jiwa. Tentu saja karya fiksi seperti itu tak terlalu banyak jumlahnya. Apalagi karya yang fenomenal dan mampu bertahan hingga dua dekade.

Itulah yang mendorong kami sekeluarga untuk melangkah ke bioskop kesayangan lantaran saya dan istri penasaran soal film berjudul Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) yang tayang serentak mulai 21 Januari silam. Kami jujur belum membaca bukunya, yang konon merupakan cerpen lalu dikembangkan menjadi novelet. Buku ini diklaim menjadi novel best seller selama kurang lebih 20 tahun hingga versi filmnya digarap. Melihat buku yang punya staying power semacam itu dalam versi layar lebar tentu akan menjadi pengalaman mengesankan tersendiri.

Selain itu, ada nama besar Helvy Tiana Rosa (HTR) yang menggawangi film ini sebagai produser sekaligus penulis novel. Siapa tak kenal HTR, sebuah nama penting di balik fenomena FLP yang disebut Taufik Ismail sebagai anugerah bagi Indonesia. Selain sebagai penulis, saya mengenal HTR sebagai dosen di Universitas Negeri Jakarta. Dari berita yang saya pantau, keluarganya memiliki budaya literasi yang tinggi. Tak heran bila putranya Abdurrahman Faiz piawai menggubah puisi yang memukau bagi saya–mengingat usianya yang masih belia kala itu.

Ketenaran ACT juga kian menguatkana semangat kami untuk ikut menonton film KMGP. Sebagai lembaga kemanusiaan, ACT telah membantu ratusan penanganan bencana di tanah air dan bahkan dunia–tanpa melihat ras, suku, atau agama korban bencana. Tahun lalu saya baca dari media daring bahwa Helvy bertekad untuk mendonasikan 1 miliar dari keuntungan film ini untuk mendukung pendidikan di Indonesia bagian Timur dan 1 miliar untuk membantu anak-anak duafa Palestina. Nah, nonton plus amal: kombinasi yang tepat! Ya terhibur ya menghibur.

/2/

Hari Kamis 21 Januari kami meluncur ke BTM, sebuah mal yang lokasinya berseberangan dengan Kebun Raya Bogor. Kami membawa serta Rumi (5 tahun) dan Bumi (3 tahun) untuk nonton KMGP di bioskop. Terakhir kali kami nonton sekitar setahun yang lalu yakni akhir Desember saat film silat besutan kreator Indonesia ditayangkan. Sayang sekali, film tersebut tidak ramah anak sebab terdapat adegan dewasa sehingga kami harus waspada setiap saat.

Berbeda dengan KMGP, anak-anak kami janjikan bahwa seluruh adegan akan aman ditonton, meskipun kami baru menyaksikan trailer-nya. Syukurlah, scene demi scene tersaji tanpa menguras kekhawatiran kami. Mereka tampak asyik menikmati tayangan sarat pelajaran juga menikmati aneka camilan yang memang kami siapkan sejak awal agar mereka anteng selama film diputar.

Bagaimana kesan kami setelah menuntaskan film KMGP? KIta lihat cuplikannya yuk sebelum kami beberkan komentar kami. 🙂

Tema besar yang relevan

KMGP berkisah tentang persahabatan kakak beradik, Gagah dan Gita, yang selalu kompak dalam banyak hal. Gita begitu membanggakan kakaknya–yang ia panggil Mas Gagah–sebab ia keren, pintar, humoris, model, disukai banyak orang dan terutama sangat menyayangi Gita. Lebih-lebih ketika sang ayah (diperankan Dwiki Dharmawan) telah meninggal, maka secara otomatis Gagah mengambil alih tanggung jawab keluarga walaupun Mama (Wulan Guritno) tetap bekerja untuk membesarkan mereka.

Namun semua berubah setelah Gagah kembali dari Ternate tempat ia melakukan penelitian untuk skripsinya selama beberapa bulan. Perubahan pada diri Gagah membuat Gita merasa asing dan hampir tak mengenali kepribadian kakaknya. Konflik demi konflik pun tak terelakkan. Semakin Gagah mencoba menjelaskan perubahan yang ia alami, semakin kuat pula Gita membentengi dirinya dan menolak semua alasan kakaknya. Mama sesekali menjadi penengah, namun gesekan kian memanas dan berujung pada tekanan batin yang dahsyat baik pada Gagah maupun Gita.

Perubahan diri Gagah inilah yang menjadi akar dalam film ini. Gagah mencoba berubah menjadi lebih baik, menurut dia, namun harus dihadapkan pada protes keras adiknya yang punya konsep sendiri tentang kebaikan yang asyik. Menurut saya metamorfosa atau perubahan perilaku merupakan tema abadi yang selalu relevan dengan hidup manusia. Semua orang harus bergerak, harus berupaya aktif untuk mengubah dirinya menuju titik yang lebih maju, yang lebih baik.

Namun seperti Gagah yang ditentang Gita, setiap bentuk perubahan harus siap dikonfrontasi oleh orang lain atau pihak luar. Inilah tema besar yang ingin diangkat Helvy yang dengan apik divisualisasikan oleh Firman Syah selaku sutradara KMGP.

Penokohan dan alur

Ketika film dibuka dengan narasi suara Gita, saya segera menduga bahwa Gita memiliki karakter yang kuat. Dan benar memang, di sepanjang film ini Aquino Umar sangat berhasil membawakan peran Gita yang periang, tomboi, agak manja, cenderung sinis tetapi playful. Apalagi saat ia harus sering beradu argumen dengan Gagah yang kian memperkuat sosoknya. Ekspresi muka, kata-kata, hingga bahasa tubuhnya sangat padu dan mantap dalam menyampaikan sosok Gita yang keras kepala.

Hamas Syahid (Gagah) tampaknya cukup bisa mengimbangi kebawelan dan protes adiknya. Tidak tampil wow, tapi cukup berhasil, setidak-tidaknya berkembang dari video saat dia mengikuti casting film ini. Mungkin ada yang merasa persahabatan mereka tampak kurang dekat, lantaran tak ada pelukan adik-kakak atau sentuhan fisik lainnya. Namun harap diingat, memfilmkan novel bermuatan Islami menjadi bentuk visual tentu punya kesulitan tersendiri. Bila dalam wujud teks tokoh-tokoh bisa digerakkan sesuai keinginan penulis, namun dalam film tokoh-tokoh harus dibatasi oleh nilai-nilai yang diusung oleh film tersebut. Dengan demikian memang tak mudah menggambarkan kedekatan adik-kakak atau pasangan dalam wujud visual.

Wulan Guritno yang memerankan Mama tak perlu diragukan aktingnya. Ia mampu menciptakan chemistry untuk menjangkau kedua anaknya dalam kasih sayang yang kokoh namun tegas. Jam terbang memang sangat menguntungkan. Akting Wulan membuat konflik Gita dan Gagah semakin hidup terutama didukung oleh Aquino yang tampil sangat menjanjikan. Mathias Mucus dan Nungki Kusumastuti yang berperan sebagai orangtua Yudi juga tampil utuh, melengkapi akting Masaji (Yudi) yang sedikit canggung.

Yudi sebagai mystery man yang kerap muncul di bus atau angkutan umum sebenarnya karakter yang sangat unik. Sayang sekali dakwah yang ia sampaikan terlalu commanding lewat bahasa yang kurang membumi, paling tidak bagi penumpang yang disasarnya. Saya amati dia hampir selalu setengah berteriak saat berorasi sehingga artikulasinya kadang tak jelas sehingga maknanya pun tidak maksimal. Andaikan bahasanya dikemas lebih bersahabat dengan gaya yang lebih ramah, tentunya tokoh ini akan semakin menghidupkan film KMGP. Yudi kentara sedikit gamang saat berorasi di atas panggung bersama Shireen Sungkar. Bisa dimaklumi, barangkali pesan besar tentang pembebasan Palestina menjadi kekuatan yang terlalu meluap untuk disampaikan lewat kata-kata yang bernas. Namun lagi-lagi teriakan membuat artikulasi dan makna ucapannya menjadi tidak efektif dalam menyampaikan pesan.

/3/

Hampir dua pertiga film ini mengisahkan pergulatan batin Gita dalam menyikapi perubahan kakaknya Gagah. Cerita memang terlihat rumpang atau agak missing ketika Gagah mengalami metamorfosa yang begitu cepat. Penonton seolah-olah menyambut Gagah yang baru sebagai tokoh yang muncul tanpa konteks sehingga metamorfosa dirinya kemungkinan memuskilkan adegan-adegan berikutnya. Mengenai lompatan cerita ini, saya patut menduga Helvy dan Firman Syah sengaja menerapkan Save the best for last. Melihat ending-nya yang menggantung, layak diprediksi akan ada lanjutan sekuelnya yang akan membuka semua tabir yang masih menyelimuti benak penonton. Cerita dibuat open ending agar penonton (yang belum baca bukunya seperti saya) menebak kelanjutan semua tokoh lalu meneruskannya dalam benak mereka masing-masing. Atau, mereka akan penasaran dan dengan sabar menunggu semuanya tersingkap pada episode lanjutan. Who knows?

Saya perlu akui ini memang bukan film yang sempurna, masih perlu penyempurnaan di sana-sini. Sebagai proyek yang didanai lewat crowdfunding atau dana patungan, bisa dimaklumi mungkin proses transformasi dari buku menjadi film tidak berjalan cukup lancar. Boleh jadi saat dana terkumpul, lalu dilakukan shooting, dan begitu seterusnya. Penulis skenario tentu tak mudah menerjemahkan buku Helvy yang kadung fenomenal dengan banyak pembaca menjadi film yang ambisius. Maka bila ada beberapa scene yang terlihat lepas atau terkesan tempelan–seperti kedatangan Mama ke Rumah Cinta–itu mungkin bagian dari kerumitan menyatukan fragmen-fragmen dalam waktu yang terbatas. Atau Yudi yang terlihat membantu proses evakuasi korban kebakaran dan mencoba menolong seorang ibu Kristiani yang suaminya tengah pergi ke gereja. Sayang sekali adegan ini hilang begitu saja tanpa ujung.

Untunglah, sinematografinya cukup bagus untuk kelas film yang semuanya dikerjakan sendiri. Walau keindahan Ternate belum banyak tersaji, namun angle dan perpindahan antarscene sudah cukup menghibur mata saat menonton. Film ini diselamatkan oleh akting Aquino Umar yang sangat ciamik serta tema besar yang melatarinya. Adegan faoprit kami adalah pendirian Rumah Cinta dan penanaman tumbuhan bakau di permukiman kotor yang sangat inspiratif. Ini langkah konkret: peduli sesama sekaligus peduli lingkungan. Plus, iringan musik yang dikerjakan Dwiki kian menghidupkan film dari ketegangan demi ketegangan.

Metamorfosa yang mempesona

Menutup tulisan ini, saya mencatat dua hal penting yang kami bawa pulang selepas menonton KMGP. Pertama, metamorfosa Mas Gagah yang punya pesona tersendiri. Mengapa? Sebab perubahan dirinya mampu mengubah masyarakat sekitar, setidaknya bagi tiga preman dan berdirinya Rumah Cinta untuk memberdayakan masyarakat. Saya berharap bila dilanjutkan, Rumah Cinta akan menjadi pusat cerita berikutnya. Kami tergugah untuk menebarkan cinta seperti Gagah, memberi yang mampu kami berikan, dalam bentuk apa pun.

Kedua, konsistensi atau istiqamah. Konsistensi ini gampang diucapkan namun sukar dikerjakan. Hal-hal sederhana kerap mudah dilakukan di awal namun sulit dirawat menjadi kebiasaan. Apa pun itu, saking kadung mudahnya sampai membuat pelakunya abai untuk terus mengerjakan. Istiqamah adalah PR utama saya pribadi, juga istri. Bagaimana bisa konsisten menulis untuk berbagi, menjaga komitmen, memilihkan tontonan yang baik, dan yang paling penting (dan berat) adalah istiqamah menjadi teladan yang baik untuk anak-anak kami.

Dan inilah sekali lagi relevansi film ini: kami ingin agar kedua buah hati kami meneropong langsung perilaku Gagah yang mempesona walaupun sesaat mungkin sulit dicerna. Nah, bila Sobat belum nonton, film ini cocok banget buat tontonan keluarga. sarat nilai kebaikan dan steril dari muatan yang merusak.

Akhirnya, melihat behind the scene (BTS) KMGP berikut, layak diduga akan muncul lanjutan KMGP jilid dua sebab Nadia belum tampil, juga Ternate belum banyak dieksplorasi. Menyaksikan rekaman BTS film berikut membuat saya tercenung bahwa menggarap film, apalagi film adapatasi, tidaklah mudah. Banyak perangkat, pihak dan sarana yang terlibat. Jadi ide/kreativitas dan pendanaan harus berjalan sinergis.

Sebagai wujud kepedulian pada pendidikan di tanah air terutama di Indonesia bagian timur, mari kita luangkan waktu untuk menonton film ini. Setidak-tidaknya dengan menyebarkan tautan tulisan ini, hehe. 🙂

Happy watching, guys!

18 Comments

  1. Alurnya yang lompat-lompat membuat film ini terlalu tidak utuh dan nanggung. Berbeda dengan film bersekuel lainnya.
    Saya juga setuju dengan pendapat tentang Yudhi. Ceramahnya di bus tak menyentuh karena bahasanya yang begitu dan mimiknya juga nggak dapat. 🙂

    Like

    1. Iya, Mas, betul yang Mas sampaikan. Sebagai film perdana yang dikerjakan keroyokan, memang belum sempurna dan mengadaptasi film dari buku jelas bukan perkara gampang ya. Semoga Yudi nanti saya perankan, eh, maksudnya di sekuel berikutnya Yudi tampil lebih memukau.

      Like

      1. Mas Rudi jadi Yudi sih tinggal mengganti R dengan Y. Kalau Masaji kan kebanyakan yang harus diubah. *melantur*: D

        Like

  2. Sejujurnya, saya nonton film ini karena penasara dengan banyaknya pembahasan soal ini berseliweran di timeline. Dan setelah menontonnya, saya hanya bisa beri nilai 5 dari 10 untuk penggarapannya. Kalau dari sisi isu yang diangkat, bolehlah diapresiasi agak tinggi. Semoga bagian keduanya nanti tidak terlalu mengecewakan ya Mas Rudi.. 🙂

    Like

    1. Aaamiin, seperti sudah tuliskan, Da. Memang masih ada kekurangan di sana-sini, belum sempurna. Semoga harapan kita menguat di sekuelnya ya. Ga sabar nunggu tanggal rilisnya 🙂

      Like

  3. Tahun 2006 film adaptasi novel best seller ini sempat digarap oleh Anneke Putri tapi gagal rampung karena masalah dana. Pemeran Mas Gagah waktu itu seorang hafidz Quran belasteran Indo-Mesir.

    Aku pengen bgt nonton film ini, tapi ragu klo hrs ke bioskop krn anak2ku pada gk betah duduk lama nonton pilem 😑

    Like

    1. Ada juga sutradara kondang dan PH besar mau handle film adaptasi ini, Mbakje. Tapi ditolak Helvy sebab adegan keperbihakan Palestina harus dibuang. Ya akhirnya patungan deh.
      Anak-anak suruh jagain ayahnya aja Mbakje hehe 🙂

      Like

      1. Oh gitu ya? Yaaa… gk seru ah nonton sendirian. Lagian Minggu lalu sebenarnya diajak nobar gratis sama ayahnya dibayarin Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI). Krn KMGP ini jg kerjasama dg BSMI 🙂

        Like

Tinggalkan jejak