Sok Pakar Berpotensi Makar

Dalam sebuah simposium atau diskusi panel, sejumlah pakar biasanya dihadirkan untuk menyampaikan pandangan atau komentar sesuai kepakaran mereka. Karena sudah pakar, maka ucapan atau pendapat para pembicara itu layak kita cerna dan perhatikan.

Namun belakangan ini, seiring mencuatnya pamor berbagai media sosial di jagat maya, didukung dengan kebebasan berpendapat, muncullah begitu banyak pakar dadakan. Merekalah orang-orang yang begitu instan merespons banyak isu nasional maupun global dengan kata-kata yang meyakinkan (bahkan agresif) dan seolah mencerminkan kepakaran mereka. Segala bidang mereka babat; semua topik mereka libas.

Saya salut pada semangat dan minat mereka yang luas cakupannya. Namun bila ditilik lebih saksama, kalimat-kalimat yang ditulis pada kolom komentar atau status tidak semerta-merta menggaransi bahwa mereka adalah pakar sejati. Tengoklah biodata dan basis ilmu mereka. Periksa latar belakang dan pengalaman mereka.

Segera jelaslah bahwa tidak semuanya betul-betul pakar atau ahli dalam bidang yang mereka komentari. Sering terjadi, mereka tak enggan saling merendahkan, melecehkan, bahkan merundung (bully) lawan yang tidak sepaham. Terjadilah perang antara para “pakar” yang heboh dengan adegan saling menjatuhkan dan membela pendapat masing-masing hingga mengagungkan tokoh atau pemimpin mereka bila itu menyangkut tokoh.

Lucunya, kepakaran palsu juga merambah ke ranah privasi. Hal-hal yang harusnya menjadi rahasia personal tak jarang diintervensi oleh para komentator yang sok tahu tadi. Mereka tak sadar telah menjadi pakar karbitan dengan berlagak memahami semua masalah pribadi orang lain.

Mereka tak canggung menilai kehidupan keluarga, pola hidup, gaya makan, bahkan hati orang lain. Saking sibuknya menjadi pakar tentang urusan dapur orang lain, mereka terlupa pada dirinya sendiri yang mungkin tidak lebih baik dari orang-orang yang mereka komentari.

Orang bikin status happy, dibilang pamer. Pasang status sedih, dibilang lebay. Status malam minggu sendirian, disewotin kenapa enggak buru-buru cari pacar. Padahal yang jomblo itu menikmati hidupnya apa adanya. Semua kondisi dikomentari.

Padahal menjadi pakar mengenai diri sendiri sangatlah penting. Menyelami jiwa dan hati sendiri jauh lebih signifikan. Bila ini yang ditempuh, kita akan jauh lebih produktif. Menata diri, memperbaiki langkah. Namun bila kita sibuk mencampuri urusan orang, dengan berlagak menjadi pakar yang serbatahu, maka jangan salahkan siapa-siapa jika akhirnya justru makar yang terjadi.

8 Comments

  1. Wujud eksistensi saja mungkin Rud, biarkan saja namanya juga demokrasi. Tinggal kita memilah mana yang layak kita pandang itu baik… hehehe

    Like

    1. Iya, boleh saja kok berpendapat, Mbak Yuli. Cuma jangan sampai saling merendahkan atau mengintervensi urusan pribadi orang lain yang belum tentu kita ketahui kondisi sebenarnya.

      Like

  2. Saya sih pedomannya, biasanya tong kosong nyaring bunyinya. Kalaupun dia berkompeten tidak perlu dengan cara merendahkan…siapapun dan apapun.

    Like

Tinggalkan jejak