Fierce Look: Tatapan Nanar Pelanggar Lalu Lintas

Mengakhiri bulan Agustus lalu, Cheri L. Rowlands menantang para narablog WordPress untuk menurunkan tulisan bertema Fierce. Saya tertarik menulis dengan pancingan kata ini karena ada pengalaman yang setiap hari saya temui dan relevan dengan muatan makna kata fierce. Dalam bahasa Indonesia, fierce dipadankan dengan sengit, galak, ganas, atau garang. 

Deskripsi kata seperti itu bisa ditemui hampir setiap hari di jalan raya. Para pengendara motor ataupun pengemudi mobil yang mengambil lajur berlawanan dengan pengguna jalan lain adalah contoh nyata penggunaan kata fierce. Tingkah mereka jelas melanggar lalu lintas karena melawan arus dan berpotensi menciptakan bahaya bagi pengguna jalan lainnya.

Eh, galakan die!”

Namun jangan terkejut bila mereka diingatkan. Kebanyakan mereka akan menampakkan muka sangar, garang, dan ganas saat mendapat peringatan–bahkan pun saat peringatan itu disampaikan dengan santun. Orang Betawi bilang, “Eh, malah galakan die!” Itulah tatapan nanar. Sebentuk pembenaran dan pertahanan untuk mengelak bahwa mereka telah salah.

Ironisnya, memang di kota saya bila ada pelanggar semacam itu, tak banyak orang yang akan melawannya. Jadi bila kita sendirian, lebih baik diam dan melaju ketimbang berhadapan dengan wajah beringas si pelanggar. Kendati nurani berontak, kita hanya bisa mengecam atau menggerutu demi menghindari percekcokan di jalan yang berpotensi mengganggu ketenteraman semua pihak.

f.jpg
Gambar dari pbs.twimg.com

Tak jarang, kita memang lebih enak memilih seolah tak tahu agar tidak terlibat masalah lebih jauh, termasuk saat ada yang menegur para pelanggar–lalu kita melaju saja tanpa mendukungnya. Entah apa yang tersimpan dalam benak atau kepala para pelanggar itu. Jelas-jelas tindakan mereka berbahaya, baik bagi dirinya dan terutama bagi pengguna jalan yang lain. Tapi mereka mengotot seolah berada di atas angin.

What a fierce look! Tatapan nanar itu terus berlanjut–tak pernah merasa itu sebuah kesalahan. Atau sebenarnya sadar itu salah, namun enggan memperbaiki dan egonya tak mau mengalah. Para pemilik knalpot motor yang langsung menghantam muka itu juga termasuk dalam kategori ini. Saat dipelototi atau diingatkan, mereka kerap lebih galak dibanding kita yang benar. Padahal pilihannya itu jelas melanggar UU lalu lintas.

Jika perilakunya terus meresahkan orang lain, lalu apa gunanya mengaku sebagai makhluk beragama? Saya jadi teringat kisah seorang kiai yang terhambat hisabnya lantaran seutas tusuk gigi. Bagaimana jika paspor ke surga kita bakal terancam dibatalkan gara-gara tatapan nanar padahal jelas kita yang bersalah? Itu kalau kita bakal masuk surga….

14 Comments

  1. Kalau sesama pengendara mobil susah mau pelotot-pelototan, Mas. Pernah pas jalan malam, mobil di belakang udah ya nyalain lampu jauh, ditambah nyalain tanda mau duluan. Silaunya minta ampun di spion.

    Liked by 1 person

  2. saya tidak bisa membayangkan sopan santun berlalulintas 10 tahun mendatang. Mengapa? karena para pelanggar lalu lintas tersebut dengan santainya membawa anak, secara tidak langsung mengajarkan aturan yang salah tentang jalan raya kepada anaknya….. Anak pasti merasa sah-sah saja melakukannya, wong dulu juga gpp….

    Liked by 1 person

  3. Iya banyak yg aneh tatakramanya di jalan. Pernah aku stop di lampu merah, motorku diseruduk dari belakang. Pengemudinya tanpa rasa bersalah malah balik menyalahkan, “Lha mbaknya berhenti og.” Kujawab sambil nunjuk lampu lalu lintas, “Lha kan lampunya merah, mas, masa harus kuterobos?”

    Liked by 1 person

  4. Ini sering banget Mas ditemuin. Pas masih tinggak di Jakarta dulu udah umum deh. Palingan suami cuma geleng2 kepala. Alhamdulillah sekarang tinggal di kota kecil yang nggak terlalu padat, jadi lalu lintasnya juga enak banget. Palingan ketemu ibu2 yang sein ke kiri beloknya ke kanan *eh :p

    Liked by 1 person

Tinggalkan jejak