Stop Mendramatisasi Keadaan!

Dalam bukunya 100 Ways to Happiness, Dr. Timothy J. Sharp mengakhiri bukunya dengan kisah tentang putranya yang saat itu masih berusia lima tahun. Dalam bahasa kita sehari-hari, percakapan mereka secara bebas kira-kira berlangsung sebagai berikut.

“Tadi ngapain aja, Mas?” tanya Pak Tim pada putranya yang baru pulang main.

“Tadi main di taman sama Henry dan Max, Yah.”

“Asyik ga mainnya?” tanya Pak Tim lebih lanjut.

“Lha kenapa enggak, Yah?” jawab si anak dengan sedikit tanda tanya, kenapa ayahnya mengajukan pertanyaan seperti itu.

o
Gambar dipinjam dari http://cheqbook.com/

Overkomplikasi aka Dramatisasi

Pak Tim terkejut oleh respons anaknya, lalu ia tertawa. Bingung oleh reaksi sang ayah, si anak kembali berujar, “Lha kenapa juga Yah ga asyik mainnya?!”

Sebagai seorang psikolog, Pak Tim segera menyadari bahwa putranya, sebagaimana anak-anak lain, selalu menganggap segala situasi sebagai peluang untuk bersenang-senang. Hal ini berbeda dengan orang dewasa yang punya kecenderungan untuk menganggap sesuatu menjadi lebih kompleks ketimbang kondisi sebenarnya.

Kita kerap mendekati sebuah masalah atau keadaan dengan pola pikir yang rumit. Dengan kata lain, kita mendramatisasi kondisi yang ada dengan berbagai pemikiran menakutkan bahkan sebelum memahami masalah tersebut. Coba kita renungkan saat kita terakhir menghadapi masalah yang kita anggap rumit dan enggan kita tangani–ternyata berakhir jauh lebih mudah melampaui ketakutan kita.

Petakan masalah, analisis semua elemen yang berkaitan, beserta opsi solusi yang mungkin bisa diambil. Sesekali kita perlu berpikir layaknya anak kecil berusia lima tahun.

Contoh lain misalnya saat kita hendak menawarkan produk berupa barang atau jasa kepada calon pembeli. Hati sudah keok duluan karena kita diserang bayangan ketakutan dan drama kegagalan. Dramatisasi keadaan semacam ini turut menggerogoti kepercayaan diri kita sehingga presentasi yang harusnya berjalan lancar menjadi musibah.

Atau bisa juga yang terjadi adalah sebaliknya. Presentasi berjalan normal dan calon pembeli itu menyukai tawaran kita sehingga berakhir pada kesepakatan jual-beli.

Betul kata Pak Tim, kebahagiaan tidak lahir dari keberhasilan kita menyelesaikan masalah-masalah besar di dunia. Kebahagiaan adalah kondisi pikiran yang kita pergunakan untuk menangkal masalah-masalah itu

Dan semua itu bisa dimulai dari pola pikir yang sederhana, penuh dengan ekspektasi yang positif. Jadi stop mendramatisasi keadaan!

16 Comments

  1. Mungkin itu sebabnya ada orang dewasa yg cepat terlihat tua ada yg awet muda. Bisa jadi krn yg satu selalu rumit mikirnya sedangkan yg lain sederhana.

    Liked by 1 person

  2. Sejak kecil aku sering pada kondisi mendramatisir keadaan. Bagaimana kalau begini, kalau begitu. Khawatir terus. Bahasa Jepangnya Shimpaisho. Dan kelihatannya menurun pada anak bungsuku, sehingga aku harus meyakinkan dia bahwa, apapun harus dicoba dulu dan hilangkan rasa khawatir itu. Sesekali aku iri padanya yang mempunyai orang yang membantu menghilangkan kekhawatirannya. Karena dulu semua harus kuhadapi sendirian.

    Like

    1. Terima kasih untuk sharing ceritanya, Mbak Em, terutama istilah Jepang untuk gejala ini. Dalam kadar tertentu, kahawatir sebenarnya boleh-boleh saja asalkan tidak berlebihan sehingga melemahkan kepercayaan diri. Semoga si bungsu selalu kuat dan mantab melangkah ya Mbak….

      Like

  3. Judulnya itu, drama sekali! Mengundangku berlari… terbirit-birit ke sini.
    Lalu akupun terinspirasi…
    Stop dramatisasi, teruskan menginspirasi!
    Good job, good job!

    Liked by 1 person

Tinggalkan jejak