Ingat 3 Hal Ini Kalau Kita Dilanda Perasaan Iri

image

SAYA MENGAKU. Awal bulan ini saya dirundung kesedihan. Sedih karena kehilangan kesempatan. Kesempatan untuk menghadiri perhelatan bergengsi di Nusa Dua, Bali.

Terus terang saya iri melihat teman-teman narablog yang terbang ke Bali secara gratis untuk menyaksikan dan menyemarakkan peluncuran sebuah smartphone seri terbaru yang dibesut oleh pabrikan Taiwan. Sebut saja saya lagi baper, hehehe. Begitu kata orang zaman sekarang.

Rasa baper kian menjadi-jadi begitu tahu setiap undangan ternyata dihadiahi satu ponsel pintar keren tersebut–tepat sesuai dugaan saya. Sungguh beruntung dan bahagia para undangan, termasuk para sobat narablog yang kebanyakan saya kenal. Begitu gumam saya.

Baper boleh saja

Rasa iri atau baper sejatinya alamiah, elemen bawaan manusia. Namun tentu tak boleh dibiarkan tanpa kendali. Rasa ingin memiliki sesuatu atau dorongan merasakan suatu pengalaman hebat yang dialami orang lain tidaklah keliru, kecuali bila perasaan itu tumbuh menjadi dengki dan benci kepada orang-orang yang kita iri.

Saya pernah menulis tentang rasa iri di sini dan di sini. Saya sempat membahas pengertian iri dengan membandingkan definisi dari bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang ternyata berbeda muatan. Silakan klik kedua tulisan untuk membacanya.

Nah, menyambung dua tulisan itu, berikut saya tampilkan tiga poin yang mesti kita ingat agar rasa iri bisa direm. Alih-alih berubah menjadi dengki, rasa iri itu semoga mampu kita ramu menjadi energi yang produktif dengan cara mengingat tiga hal berikut.

Kerja ekstra

Saat melihat teman-teman narablog terpilih untuk berpartisipasi dalam peluncuran ponsel di atas, saya segera menyadari bahwa blog mereka memang layak mendapat apresiasi berupa undangan istimewa tersebut.

Setelah saya screening para narablog yang lolos, mereka memang memiliki portfolio yang mumpuni sehingga patut diganjar privilese untuk menginap di Bali. Singkat kata, mereka adalah narablog yang punya ‘pengaruh’ yang berpotensi membantu tersebarnya promosi ponsel yang baru saja dirilis lewat blog mereka. Berbeda dengan blog saya yang sepi, haha.

Dengan kata lain, mereka telah berjuang dan bekerja keras untuk sampai pada titik di mana blog mereka dihargai. Mereka terbukti konsisten menulis dan menunjukkan komitmen untuk memberi manfaat melalui blog yang mereka kelola.

Dalam bahasa bule, they are going the extra mile. Saat saya menulis satu post dalam seminggu, mereka rutin menurunkan satu tulisan setiap hari. Saat saya sudah pede mengelola satu blog secara reguler, mereka getol mengampu dua tiga blog yang moncer di Google Analytics. Pokoknya mereka sudah bekerja lebih dibanding orang-orang yang tidak lolos.

Maka mulai sekarang, bila kita merasa iri pada kesuksesan orang lain, coba stop dan berpikirlah, “Sudah sekeras apa kita bekerja?” Atau bila sudah bekerja keras, komponen mana lagi yang bisa kita tambah dengan inovasi? Orang-orang yang sukses dalam segala hal selalu lahir dari kerja keras atau ekstrakreatif.

Relativitas

Setiap kali seorang teman mendapatkan nikmat lalu saya dilanda perasaan iri, saya segera menenangkan diri lalu berujar lirih, “Kenikmatan bagi dia belum tentu jadi kenikmatan bagiku. Hal yang tampak baik itu belum tentu baik pula untukku. Setiap orang punya kondisi kehidupan dan kebutuhan yang berbeda, maka nikmat yang diperoleh pun spesifik menurut kepentingan mereka.

Dengan berpikir demikian, saya menjadi tenteram. Kebahagiaan toh relatif. Apa yang bikin orang lain gembira belum tentu berdampak sama pada saya. Dengan pola pikir semacam itu, saya membayangkan bahwa kanal atau saluran kebahagiaan beragam jumlahnya, sehingga rezeki orang lain tak perlu mengusik ketenangan hati saya.

Prerogatif

Bila langkah pertama dan kedua tidak mujarab menyembuhkan rasa iri, cara ketiga ini selalu manjur–paling tidak bagi saya. Kiat ketiga ini walau terbilang pasif namun sesungguhnya mengandung aksi pikiran yang aktif. Saya memperlakukannya seolah mantra penjinak iri. Yang saya rapal diam-diam dalam hati.

Saat saya bilang mantra, tentu bukan merujuk pada mantra dalam pengertian umum seperti azimat atau ritual tertentu. Ini adalah sebuah potongan ayat dari Al-Quran yang kali pertama saya dengar dari seorang guru hampir 20 tahun yang lalu. Mantra di sini maksudnya saya cepat-cepat mengingatnya saat perasaan iri menyergap seketika.

Sependek memori saya, penggalan frasa ini diulang beberapa kali dalam Al-Quran, namun hanya satu tempat yang saya catat, yakni dalam Surah Ali ‘Imran/3: 74. Bunyi ayat secara lengkap sebagai berikut.

“Dia menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah memiliki karunia yang besar.”

Pesan seorang guru belasan tahun masih terekam kuat. Bahwa Allah punya prerogatif untuk memilih siapa yang diberi rahmat. Entah berupa kendaraan mewah, rumah megah, pekerjaan bernilai miliaran rupiah, anak-anak cerdas nan bikin bangga, kehidupan keluarga yang tampak harmonis tiada cela, liburan superwah dan lain sebagainya.

Adalah hak Allah sepenuhnya untuk menyeleksi siapa yang dapat apa. Pada saat kita tak menemukan alasan untuk bersyukur, coba ingat ayat ini. Ketika saya gagal memadamkan rasa iri, saya mengondisikan hati untuk menyerap frekuensi ayat ini. Bahwa saya pun sebenarnya sudah mendapatkan rahmat dalam bentuk lain sebagaimana hal baik yang membuat saya iri pada orang lain.

Recap

Begitu rasa iri mendera, saya segera merenung. Oh, orang itu memang telah berupaya lebih ketimbang saya. Dia punya trik dan inovasi tertentu saat bekerja/berkarya. Dia telah melakukan hal ekstra.

Bila iri masih menggejala, saya ingatkan diri, Rud, Rud, belum tentu kau butuh hal itu walau kau amat menginginkannya. Menurutmu itu mungkin dahsyat dan ideal kau miliki atau rasakan, tapi apa iya pasti baik buat kamu? Kan kebutuhan masing-masing orang berbeda. Belum tentu juga hal itu baik bagi orang yang menerima, sebagaimana belum baik juga buat kamu. Jadi tak perlu mengiri.

Kalau perasaan iri masih eksis, saya langsung mendesis, Ingat ayat yang dulu kamu pelajari kan, Tuhan memilih menurunkan rahmat pada orang-orang yang Dia pilih. Itu privilese yang Tuhan kasih tanpa perlu kau pahami. Pada titik ini, semua mencair. Ego meresap dalam penerimaan. Dengan kesadaran bahwa setiap orang pada dasarnya telah menerima privilese dari Tuhan. Hanya saja bentuknya berbeda, berbeda timing-nya. Fokus kita pada nikmat orang lain membuat kita terlupa pada nikmat yang kita terima sendiri.

Baper atau iri, boleh. Tapi harus dalam kendali.

26 Comments

  1. antara belum maqomnya dan bukan rezeki ya mas.

    paling sulit dan sungguh sulit itu ketika iri diiringi dengan dengki. tertawa saat yang diirikan jatuh dan meraung saat dia yang diirikan melambung.

    Liked by 1 person

  2. Kemarin itu semuanya seliweran di temlen selama 3 hari, dan saya bahkan melewatkan kesempatan mengisi formulir pendaftarannya. Adudududu… gimana gak baper. Tapi gak keterusan sih, karena balik lagi.. itu mah udah rejekinya

    Liked by 1 person

  3. Saya pun termasuk yang baper kok mas, haha.
    Tapi saya memang sengaja tidak mengisi form karena kalaulah misalkan terpilih pun, akan sangat berat untuk saya terbang ke Bali meninggalkan bocah kecil di rumah.

    Semoga kesempatan lain hadir lagi di moment yang baik dan tepat juga ya mas, Amiin.
    Bapernya di cukupkan sekian, haha.

    Like

  4. Kok kita sama sih mas Rud, aku malah sampe manyun 2 hari ngeliat mereka semua ngeksis di IG, tapi ya mau gimana lagi toh memang yang dipilih ke Bali itu 96% blogger dan Youtuber kelas kakap..
    Tapi sekarang sih udah ikhlas banget, barangkali kalau udah lulus sekolah bisa dapet undangan begituan..
    Btw, tp mas Rudi ini lebih rajin dari aku loh.. kalau mas Rudi memposting artikel seminggu sekali, kalau aku sih paling mentok sebulan ada 3 artikel.. hehehe

    Like

  5. Setuju …
    Ini hal yang wajar … kita manusia biasa
    Saya tau ini bukan hal yang mudah untuk mengelolanya …
    Namun jika kita mau berpikiran positif, saya rasa kita bisa menangani hati kita lebih baik

    salam saya Kang

    Like

  6. Keren ulasannya, aku selalu ngefans gaya menulismu, mas 🙂

    Dan, memang benar, apa yg kita anggap ‘wah’ ketika mlihat org lain menerimanya blm tentu baik buat kita, krn Allah sdh menakar segala sesuatu. Thaks udah saling mengingatkan mas 🙂

    Liked by 1 person

    1. Iya, Prit, boleh jadi perlakuan yang menurut kita ‘berbeda’ itu juga lantaran disebabkan kebaikan penerimanya. Mungkin teman kita pelaku kejujuran, atau ahli sedekah dll., yang tidak pernah kita ketahui dan menjadi penyebab dia menerima privilege dari Allah. Semoga bermanfaat.

      Like

  7. Aku pun sempet baper haha. Tapi ya gitu karena udah tau juga, ga bisa ikut karena masih punya bayi. Yauwis, mencoba berpikir positif. Barangkali suatu saat ada rezeki yang lain 🙂

    Like

  8. Halo Mas, udah lama saya nggak ninggalin jejak disini. Selama berjumpa lagi….Sukses seseorang itu serperti fenomena gunung es, kita cuman liat atasnya aja yang indah tapi nggak liat kedasarnya betapa usaha yang dilakukan seseorang itu mungkin lebih berdara-darah dari yang kita lakukan. Saya selalu ingat pepatah sunda, rejeki mah tos dipincukkan, moal pahili. Rejeki saya belum tentu cocok dengan rejeki mas, juga sebaliknya. Mungkin rejeki saya sambelnya lebih banyak justru akan menjadi penyakit untuk orang lain. (rejeki sudah dibungkusin, nggak akan ketuker)

    Like

Tinggalkan jejak