Jangan Hentikan Langkah Ketika Dilema Melanda

ketika-dilema-melanda-1Bagaimana kalau saya bilang dilema itu perlu? Ya, meskipun kita jadi bingung bukan kepalang, harus ambil keputusan terburu-buru, tapi kehadiran hal dilematis itu perlu. Dan bagaimana kalau saya bilang dilema dalam hidup itu malah wajib ada? Ya, walaupun kita mesti berpikir keras, menimbang banyak plus minus sebelum memilih, sibuk konsultasi sana-sini, namun dilema membuat kita terlatih menyusun skala prioritas dan, yang lebih penting lagi, bertanggung jawab dalam menjalani konsekuensi sebuah keputusan yang tidak selalu indah. Tidak selalu indah? Ah, masak! Jangan-jangan itu cuma soal sudut pandang saja.

Seperti kisah saya yang didera dilema beberapa tahun silam, sebelum dan sesudah menikah. Semua orang tahu, dilema tidak pernah kita nantikan. Semua orang paham, memilih satu di antara dua hal yang sangat penting—pada waktu genting—bukanlah perkara mudah. Begitulah saat saya diterima bekerja di sebuah penerbit buku umum di kawasan Cimanggis setelah mengikuti serangkaian tes dan wawancara. Saat itu saya masih tercatat sebagai karyawan tetap di penerbit buku sekolah di Bogor. Masalah muncul karena calon istri juga bekerja di perusahaan yang sama. Konsekuensinya, salah satu dari kami harus mengundurkan diri.

Siapa yang Resign?

Memutuskan siapa yang harus berhenti sungguh pelik. Jika saya keluar dari perusahaan lama dan mengambil pekerjaan baru, belum tentu saya cocok dan betah dalam kultur kerja kantor penerbit yang baru. Konon, tekanan dan beban kerjanya cukup berat, jauh melebihi kantor yang lama. Begitu menurut kabar yang saya dengar. Sementara saya punya kondisi medis yang boleh jadi tidak mampu mengimbangi produktivitas kerja yang lebih dinamis. Apalagi santer kabar beredar bahwa saya akan mendapat promosi setelah diadakan perombakan divisi belum lama ini. Tapi kalau kabar burung belaka, gimana?

Nah, kalau calon istri yang berhenti, maka ada soal lain yang jadi pertimbangan. Selain gajinya sudah cukup besar saat itu karena ia termasuk pegawai senior, mencari pekerjaan baru bagi dia rasanya akan relatif sulit mengingat karyawan baru biasanya diharapkan masih berusia di bawah 30 tahun sementara dia sudah melewati angka itu. Bila keluar dan menganggur tanpa bekerja lagi, tentu kasihan karena ilmunya jadi tak terpakai—apalagi rutinitas bekerja setiap hari selama lebih dari 5 tahun tentu telah menyatu dalam irama kehidupannya.

Maka dengan berat hati, setelah menimbang ini dan itu, sayalah yang berhenti. Saya mengundurkan diri dan menyambut pekerjaan baru yang cukup jauh: 2 jam dari rumah dengan mengendarai motor karena tak ada jalur kereta KRL ke sana. Kabar yang pernah saya dengar rupanya benar. Kantor baru ini punya metode dan gaya bekerja yang berbeda dengan kantor lama—meskipun sama-sama bergerak di bidang penerbitan. Bila di kantor lama saya fokus pada tugas sebagai editor naskah, maka di kantor yang baru ini saya dituntut belajar banyak hal. Selain tugas utama menyunting teks buku agar enak dibaca dan layak diterbitkan, saya harus mengakrabkan diri dengan software desain isi buku—sesuatu yang saya kenal sepintas lalu di penerbit sebelumnya.

Keterampilan Baru

Keterampilan ini patut dimiliki editor dengan tujuan mempercepat proses pracetak dan mendukung kebijakan paperless karena minim printing menggunakan kertas sebelum menjadi file final dan siap dicetak di mesin percetakan. Lambat laun bisa saya ikuti, dan praktik paperless work ini memang sangat bagus karena selain mengurangi biaya juga ramah lingkungan. Editor dan desainer buku berkomunikasi lewat jaringan lokal antarkomputer dan bisa menyunting naskah langsung di file yang disepakati. Pekerjaan memang bisa berjalan lebih cepat karena tak perlu tatap muka dan menghabiskan waktu berjalan menghampiri divisi lain untuk berkomunikasi.

Di kantor baru, editor juga rajin bertemu langsung dengan penulis untuk membahas naskah yang akan diterbitkan. Keliling Jakarta sampai nyasar pun saya pernah, hehe. Lumayan capek dengan tugas tambahan, tapi semuanya menjadi pengalaman yang mengesankan—terutama bertambahnya jaringan pertemanan dan kenalan. Di kantor lama, bagian editorial nyaris tidak pernah bersentuhan langsung dengan divisi percetakan. Nah, di kantor baru kami juga berkunjung ke percetakan untuk belajar mengalkukasi tebal halaman yang efektif, ongkos cetak, dan soal percetakan lainnya.

Resign Lagi?

Sebulan setelah menikah, dilema kembali melanda. Ritme bekerja seperti itu nyatanya tidak kompak dengan infeksi saluran kencing yang sudah lama saya derita. Bila berhenti, saya akan kehilangan pendapatan namun tak lagi tersiksa oleh jarak tempuh dan beban kerja yang berat. Namun jika bertahan, rasanya tak elok sering-sering izin lantaran sakit sementara masih digaji selayaknya karyawan normal. Karena pertimbangan kondisi fisik itulah, akhirnya saya memutuskan berhenti bekerja. Meskipun hanya bertahan selama setengah tahun di kantor baru, namun banyak pelajaran yang saya petik. Bila di kantor lama saya dididik menjadi editor, maka di kantor baru ini saya disiapkan menjadi penerbit karena dikenalkan dengan sisi luar-dalam dunia penerbitan, termasuk menganalisis peluang dalam bidang ini.

Dengan berat hati, atasan melepas saya. Setelah berhenti, saya masih mengerjakan order penyuntingan maupun penerjemahan—dua pekerjaan yang saya geluti selama tidak bekerja kantoran. Tentu semuanya saya jalani dengan sistem freelance. Saya rasakan bekerja sebagai freelancer adalah gaya yang paling cocok dengan kondisi kesehatan saya karena bisa disesuaikan dengan skedul dan materi naskah yang dipilih. Pada saat yang sama, istri saya masih bekerja di tempat lama. Setelah keguguran dua kali, pertengahan tahun 2009 istri mengandung dan melahirkan putra pertama kami awal tahun 2010.

Resign Jilid III

Semua berjalan normal, alhamdulillah, kecuali satu hal yang akhirnya mengganjal. Menjelang habisnya masa cuti melahirkan, kami belum juga mendapatkan pengasuh bayi lucu ini. Ternyata memang tak gampang mencari asisten, baik untuk mengasuh bayi maupun mengurus rumah tangga. Idealnya, kami bisa memboyong tenaga dari kampung—nyatanya, itu tak semudah menulis status di Facebook, hehe. Kadang ada yang mau, tapi kurang mumpuni. Ada yang mumpuni, tapi tak mau. Ada yang mumpuni dan mau, tapi kami tak mau, karena bayarannya terlalu mahal. Harap maklum, meskipun order lumayan lancar, pengeluaran harus tetap diperhatikan.

Maka datangnya dilema jilid berikutnya. Jika istri tetap bekerja, maka bayi kami entah bagaimana nasibnya karena saya pun belum mumpuni merawat bayi kecil yang masih meminum ASI. Kami sempat membeli breast pump sebagai bekal menyetok ASI saat istri pergi bekerja sementara bayi bersama saya di rumah. Namun merawat bayi di tangan lelaki, ditambah hidup jauh dari orang tua, sama sekali bukan permainan untung-untungan  yang bisa dianggap enteng. Tetap banyak hal perbayian yang belum saya kuasai sebagai lelaki yang tak punya insting keibuan. Betul tidak?

Dengan tekad bulat, istri akhirnya tetap pergi bekerja hari itu. Ya, untuk pamit dan mengundurkan diri dari pekerjaan yang lama dia tekuni. Sangat berat, tentu saja, tapi keputusan sudah dibuat. Maka pilihan itu kami sepakati sebagai bagian dari ikhtiar terbaik untuk mengasuh dan mendidik anak sendiri. Jangan tanyakan soal rezeki, tentu saja panik. Tentu khawatir sebab kami sama-sama tidak punya pekerjaan tetap yang selama ini kami gantungkan sebagai sumber penghasilan.

Sebagai manusia biasa, ketakutan tentu pernah menghampiri, tapi kami usir sebab kami yakin Tuhan telah menyediakan rezeki untuk anak kami itu melalui kami. Jadi tak ada alasan untuk terus mencemaskan soal makan apa esok hari, atau bagaimana nanti. Cari rezeki itu sebenarnya mudah karena sudah dijamin Yang Maha Kuasa. Kita tinggal berusaha sesuai kemampuan. Yang sulit adalah mensyukurinya setelah kita mendapatkannya lantaran merasa kurang, kurang, dan kurang.

Momentum Wingko

Lengkap sudah kenekatan kami. Suami istri tidak bekerja dengan seorang bayi yang tentu juga banyak kebutuhannya. Tapi alhamdulillah, kebutuhan tercukupi–sama seperti kami masih sama-sama bekerja kantoran. Malah kadang rezeki datangnya keroyokan, lebih banyak saat kami masih bekerja pagi hingga sore. Saya dan istri bergantian mengerjakan proyek editing maupun penerjemahan. Dibarengi belajar merawat bayi sendirian melalui buku dan sumber-sumber lain.

Saat pekerjaan freelance menipis, seorang kawan menawari kami membuka lapak di sebuah bazaar sekolah SD swasta tak jauh dari rumah kami. Karena harganya terjangkau, kami ambil meskipun masih bingung apa yang akan kami jual. Waktu tak banyak, keputusan harus cepat. Akhirnya kami memilih wingko sebagai produk untuk ditawarkan. Ibu sering membekali kami dengan oleh-oleh wingko setiap kali kami mudik dari Lamongan, Jawa Timur. Tahu kan bahwa wingko adalah makanan khas dari Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan?

Setelah belajar melalui telepon dan sms dari ibu, wingko pun kami garap. Bentuknya masih belum seragam karena tanpa cetakan. Belum rapi seperti wingko kami saat ini. Nah,tiga hari di stan bazaar kami berhasil menjual sekitar 300 pcs dan menyisakan sedikit yang akhirnya diborong oleh tetangga yang anaknya sunatan. Lega bukan main karena debut dagang ini kami anggap cukup sukses. Setelah itu, kami tetap memproduksi wingko namun berdasarkan pesanan.

wingko
Mau jolla-jolly yang legit?

Karena lebih sibuk mengerjakan order editing dan terjemahan, maka wingko tidak terlalu digarap. Selain itu, kemasan yang waktu itu masih alakadarnya, ditambah promosi yang terbatas, membuat jolla-jolly berjalan di tempat. Oiya, jolly-jolly adalah nama merek yang kami pilih untuk wingko buatan kami. Pesanan sesekali kami kerjakan, lalu vakum hingga tahun 2012 ketika kami pindah rumah. Di sinilah wingko mulai kami garap serius, baik dari volume produksi maupun kemasannya.

Setiap hari kami membuat wingko dan mendistribusikannya di toko-toko yang disepakati berdasarkan sistem konsinyasi. Perlahan-lahan jolla-jolly mulai dikenal seiring pembeli bertambah dan saya turut menjadi sponsor dalam beberapa kontes sobat bloger. Bahkan dari Internet pula kini kami memiliki konsumen loyal yang setiap bulan selalu memesan dalam jumlah ratusan buah. Ini berkah buat kami. Bila dulu masih bekerja, entahlah apakah kami akan menggeluti bisnis kuliner seperti sekarang–meskipun baru bisa dibilang merangkak.

Buku (ber)cerita

Menjadi pengangguran otamatis melecut kami untuk terus berpikir agar memperoleh pendapatan. Nah, di penghujung tahun 2010, kami punya ide untuk menerbitkan buku cerita. Tergagaslah 10 judul buku dengan tujuan mengembangkan karakter anak-anak. Kenapa buku? Karena dunia ini yang sudah lama kami geluti sehingga kami tahu luar-dalam penerbitan. Setelah dikalkulasi plus-minus proses penerbitan, akhirnya kami memilih menerbitkan buku sendiri dan bukan menyerahkannya kepada penerbit mayor. Waktu itu belum sebanyak sekarang penerbit indie.

Konsekuensinya, kami harus mendirikan usaha penerbitan. Prosesnya cukup cepat. Dengan dana yang kami kumpulkan, pengerjaan buku pun dimulai. Semuanya dikerjakan secara lepas atau freelance, mulai dari sampul, tata letak isi, hingga ilustrasi atau gambar kartun. Setelah buku selesai, kami menggandeng distributor untuk memasukkan buku kami ke toko buku-toko buku. Apresiasi buku karya istri ini lumayan bagus. Ada bahkan sekolah yang meminta 10 judul sekaligus sementara kami belum cukup dana untuk memproduksi 10 judul sekaligus. Jangan salah, menerbitkan buku warna itu sangat mahal loh.

Tahun 2012 kami susul dengan judul buku kedua pada seri yang sama. Inilah buku cerita terakhir karena dibutuhkan dana cukup besar untuk melanjutkannya. Mengingat dana menjadi isu besar, kami pun beralih ke mode penerbitan indie atau self-publishing. Tahun 2013 penerbit kami mulai menggarap  judul demi judul buku pelanggan hingga kini mendekati 100 judul. Kami sangat puas karena setiap judul kami kerjakan dengan hati gembira sesuai passion dan minat kami. Menengok ke belakang, kami akhirnya percaya diri menjadi penerbit karena dulu saya memilih pindah kerja ke penerbit baru yang lebih menantang meskipun akhirnya tidak bertahan namun menyisakan banyak pelajaran.

Dilema = Peluang

Menutup tulisan ini, saya ingin tegaskan bahwa hidup itu pasti bergelut dengan masalah, seberapa pun skalanya. Ada masalah rutinitas pekerjaan, masalah dengan rekan kerja, masalah keluarga, soal mencari nafkah, masalah sosial dan lain sebagainya. Pada suatu titik, kita pasti akan dihadapkan pada dua atau tiga pilihan sekaligus yang sulit diputuskan. Sama-sama enggak enak, atau mungkin sama-sama enak pun tetap membutuhkan pemikiran.

f

Adalah naif jika berdoa kepada Tuhan untuk tidak diberi masalah. Tidak mungkin. Yang ada adalah kita harus meminta agar bisa kuat menghadapi setiap masalah, terutama soal-soal yang dilematis dan membutuhkan eksekusi keputusan yang cepat. Kita meminta agar dipandu menuju pilihan terbaik–walaupun yang terbaik kadang tidak indah di awalnya. Kita memohon agar setiap pilihan yang kita ambil akhirnya mampu mendewasakan kita, memperkaya pengalaman batin kita, dan mengantarkan kita sebagai pribadi yang banyak bersyukur.

Saat dilema melanda, lalu keinginan atau pilihan kita ternyata kurang menyenangkan, jangan mengeluh. Carilah ke ‘dalam’ untuk menelisik hikmah atau pelajaran penting. Selalu ada. Selalu ada. Ketika dilema mendera, jangan hentikan langkah. Tuliskan plus-minusnya di atas kertas, diskusikan dengan orang-orang dekat, minta pertimbangan dari tokoh atau orang yang kita yakini, dan tentu saja meminta kepada Tuhan.

Masalah adalah peluang, begitu yang pernah saya baca dalam sebuah buku. Benar memang, kalau tak pernah dihadapkan pada masalah, mungkin kita tak akan mempelajari suatu ilmu atau keterampilan baru. Kalau tak pernah didera dua pilihan yang berat, barangkali kita tidak akan menggali potensi diri yang sebenarnya kita miliki namun belum tergali bila tidak menghadapi masalah itu.

8 Comments

Tinggalkan jejak