Bu Chad Tak Lagi Meneror Kami

SEBUT saja namanya Bu Chad. Di Hari Ibu saya menulis tentang seorang ibu. Hebat kan? Apanya yang hebat, sekadar menulis sepotong post yang garing gini aja sudah bangga. Ibu Chad sama dengan Bu Louis yang kuceritakan tempo hari. Sama-sama seorang ibu, sama-sama pejuang kehidupan. Berbeda agama, tapi satu semangat untuk keluarga.

Tapi jangan memuji dulu Bu Chad kalau belum pernah diterornya. Tentu berlebihan kalau menyebutnya teroris, apalagi pengertian teroris yang kerap kita dengar di media. Paling tidak, istrilah orang yang selama ini diteror. Bukan selama ini, tapi selama sebulan terakhir. Kami gunakan kata ‘teror’ karena kedatangannya ke rumah sering tak terduga dan begitu agresif.

Teror pagi

Biasanya datang pagi dan langsung membuka pagar sendiri tanpa aba-aba. Tiba-tiba sudah di depan pintu dan mengucap salam. Datang berderap-derap, pulang sangat diharap–itulah gambaran sosok Bu Chad. Kehadirannya bikin istri girap-girap (Jawa: ketakutan). Datang hampir setiap pagi, saat saya mengantar anak-anak ke tempat mengaji, itulah yang bikin istri jadi emosi.

Bukan kali ini saja dia datang mengunjungi kami. Tinggal di kampung tepat di sebelah kompleks, tak heran bila langkahnya cepat hingga di depan pagar kami. Datang ingin dibantu, tentu saja itu maksudmu, wahai Ibu Chad! Kami bantu selagi mampu, biasanya karena butuh uang lantaran suaminya tukang becak yang minim pendapatan. Sebulan terakhir becaknya rusak sehingga sang suami berhenti kerja sementara. Pekerjaan suaminya tak perlu kita bahas ya.

Nunggak gaji manajer

Kali ini anaknya yang di SMK tak mau lagi bersekolah. Sudah nunggak uang SPP dan lain-lain sampai sangat besar nilainya. Dia malu karena belum mampu. Ibu ayahnya tak kuasa. Tukang becak tak beroperasi karena rusak. Ibu Chad datang memohon pekerjaan. Kami tak ada. Biasanya kami bantu dengan uang sembako untuk dua hari.

Kali ini kami tak bisa bantu sebab nilai tanggungan anaknya di sekolah sungguh aduhai mirip gaji manajer di kota kami. Lalu bagaimana cara menghentikan terornya? Setiap hari datang menerobos pagar yang sudah berkarat itu? Pasti ada cara, dan ide itu datang dari saya. Iya, saya. Kami minta syarat-syarat, lalu kami serahkan datanya kepada sebuah lembaga amil zakat–masih di kawasan kecamatan yang sama.

Walau tak diberi garansi, Bu Chad sangat happy. “Kami akan serahkan dan semoga diberi kemudahan. Tapi tak ada jaminan,” kata istri meniru ajaran saya. Dengan santun disampaikan maka si ibu manggut-manggut mendengarkan. Jumlah yang besar mungkin lumayan dibantu bayar separuhnya. Bu Chad pamit tanpa diusir, walau kami tak akan melakukannya.

Dasar Kang Hasan

Dua minggu lebih tak ada kabar dari Kang Hasan. Kang Hasan orang yang menangani survei dan pengabulan permohonan. Saya belum ketemu dia, hanya berkontak lewat pesan saja. Kadang pertemuan hanya mengundang pengeluaran karena harus beli makanan, hehe. Tak ada kabar juga dari lembaga itu, sementara Bu Chad tak sabar terus bertanya kepada istri.

Dua hari lalu saya tiba di kampung. Menjenguk ibu karena sudah kangen. Bukan untuk Hari Ibu loh karena Bu Chad juga enggak pernah merayakannya kok. Kalau tak percaya, nanti aku usulkan agar dia meneror kalian. Hari itu pula istri menelepon, menceritakan kegembiraan. Ya kegembiraannya mendengar kabar dari Bu Chad. Ternyata sudah disurvei dan seluruh tanggungan si anak akan dibayar lunas. Bukan hanya sebagian tapi semuanya. Kang Hasan oh Kang Hasan, kenapa tak kau balas itu pesan lalu diam-diam kau kabulkan pengajuan Bu Chad yang tertekan?

sharing-is-caring
Gambar dari optimizareplus.ro

Bu Chad tak sanggup menyembunyikan kegirangannya. Anaknya akan kembali bersekolah lagi, cita-citanya bisa terkabul nanti. Semoga, kudoakan, mari kita doakan. “Entah dengan apa harus kubalas jasamu Bu,” begitu kata Bu Chad kepada istriku, apakah sudah mirip dengan percakapan sinetron? Padahal istriku senang kini terbebas dari terornya dan aku sedih tak dihargainya. Apakah karena aku enggak merayakan Hari Ibu di tempatmu, Bu Chad?

Bunyi yang kau kenal

Aku gembira, sungguh wow rasanya. Bu Chad kini tenang, tapi tetangganya tidak. Anaknya punya kasus lebih memprihatinkan. Selain sakit kronis, juga ada tunggakan. Dan sepertinya Kang Hasan akan kembali direpotkan. Tak apa, itu tugasnya. Tugas saya kan cuma memberi ide dan menulis biar dipuji kawan-kawan. Kabarnya, beberapa tetangga kampung akan dibikinkan usaha pemberdayaan yang menghasilkan. Produktif gitu deh biar tidak terus menjadi beban.

Jadi kalau ada Bu Chad, larilah… Kalau ada kasus seperti Bu Chad, jangan kau tolak, jangan menghindar. Ia menangis karena tak mampu. Dia sudah membersihkan dapur yang banyak kecoak di rumah tetanggaku dan pulang dikasih 50.000. Demi anaknya agar bisa sekolah tanpa malu. Tak ada beras tak ada sembako. Terimalah, lalu kasih ide syarat-syarat seperti aku. Terus, terus, kontaklah Kang Hasan. Kalau belum kenal, atau kejauhan, carilah lembaga yang lebih dekat. Terserah apa namanya. Mereka akan bantu.

Minimal dalam perjalanan ke kantornya, kalian akan bertemu bus atau truk yang bisa membunyikan klakson: … [TAHU KAN SUARANYA?]

 

*gaya bercerita edan masih terinspirasi si Pidi Baiq yang pede banget

 

7 Comments

  1. Memang susah untuk menolak orang seperti Bu Chad. Kebesaran hati kita diuji.
    Anak teman saya berhenti kuliah semester kemaren. Semester ini kami berusaha membantu membayarkan spp-nya. Bersama kita bisa.

    Like

  2. awal-awal tulisannya kok mirip banget sama Pidi Baiq, keren banget mas! 😂
    semoga makin banyak orang yang membantu bu chad-bu chad lainnya ya, asal tidak sampai diteror aja sih… 😅

    Like

Tinggalkan jejak