Pulang ke Kotaku

pulang

PULANG KE KOTAKU, ada dua tangkup roti di dalam tasku. Tapi tidak seperti dulu, setiap sudut kini terasa asing dan menakutiku. Terhanyut aku dalam luka tak terperi. Seiring langkahku, hanya lara dan resah berkecamuk–di bawah terik matahari, nanti kalau sudah siang.

Pulang ke kotaku, bukan pulang ke kotamu. Naik kereta api, tapi udah enggak pakai tut tut tut. Mana mungkin aku akan menawarimu untuk turut? Memang ini kereta jurusan Surabaya, tapi tidak balik ke Bandung. Jangankan cuma-cuma, pakai bantal pun harus sewa. Sekali lagi, aku tak berani mengajak kalian untuk lekas-lekas naik. Selain keretanya tidak berhenti lama, bangku-bangku sudah penuh oleh penumpang.

Sepanjang perjalanan dalam kereta, musik dangdut koplo mengiringi–sungguh mengganggu. Kanan dan depan itu penumpang asal Lamongan. Mereka penjual pecel lele dan nasi uduk di Jakarta dan Ciledug. Omset kini turun, jadi keuntungan pun surut. Banyak pesaing, katanya. Dulu lumayan, sekarang lumanyun.

Di Stasiun Tegal aku turun, bukan kota tempat tinggalku. Cuci muka, solat, dan makan roti bekal kesukaanku. Terasa hambar sebab tak ada anak istriku. Hidupku dulu pernah begini, dan kenapa kini terulang lagi. Sendiri meluncur ke kotaku.

Di kota ini aku turun, waktu subuh masih jauh. Jemputan belum datang, mata kupejamkan. Ingin kutunggu hingga azan, tapi petugas mengusirku walau tidak dengan kejam. Di luar stasiun nyamuk-nyamuk bergumam di telingaku, sambil sesekali mengeroyok lelaki berjenggot ini yang sedang pulang ke kotanya.

Mata terbuka, jemputan tiada. Melangkah ke sana, ke tukang Nasi Boran yang mengumbar tatapan. Makan seporsi walau masih belum kenyang. Sayup-sayup kudengar seorang imam membaca ayat Quran. Kulirik jam, harusnya belum subuh. Tapi ini jam standar waktu Bogor Kota Hujan. Jawa Timur lebih cepat beberapa bagian.

Setelah membayar, kaki menuju ke masjid biru. Agak jauh, tepat di depan lampu merah. Ada tugu Adipura yang ku tak tahu maksudnya. Bukan itu yang bikin aku kecewa. Kudorong pintu, tapi tak terbuka. Jemaah sepi, pintu dikunci. Sudah pada pulang, mungkin sekarang menyantap nasi boranan.

Kutelepon adikku, lalu kutunggu. Gelap seperti selimut raksasa. Ada orang menyapu jalan, ada orang jogging bersama teman. Beberapa remaja (mungkin anak jalanan) tidur pulas di serambi masjid yang gelap. Nyamuk-nyamuk tak peduli siapa yang digigit.

Seperti kota yang asing. Kini berkembang dan tak lagi peduli padaku. Siapa aku siapa kamu, adakah kalian tahu? Kadang jawaban hanyalah rangkaian kata yang menyakitkan. Pulang ke kotaku, lalu kutulis ceritanya di blogku. Padamu, ya padamu saja yang mau membacanya. Apakah kalian akan kembali ke kampung halaman?

6 Comments

Tinggalkan jejak