Rasain Lu!

IBU DAN KAKAK tak kuasa menyembunyikan keterkejutan saat mendapati saya dengan kumis melintang ala Wak Doyok. Padahal dahulu saya tiada berkumis. Lain halnya dengan seorang teman kuliah yang lama tak bersua lalu bertemu di Bogor dalam kondisi berbeda. Badannya yang dahulu kurus karena jarang/kurang makan kini tampak kokoh berisi bahkan cenderung gemuk.

Dua contoh itu memperjelas betapa hidup kita enggak bisa selalu sama. Semua berubah, setiap hal beralih rupa. Gedung yang dulu kuat menjulang lambat laun kusam dan melemah akibat waktu dan cuaca. Apa yang kita miliki sekarang suatu hari akan kita lepaskan, bahkan diri kita sendiri. Tak ada yang begitu-begitu saja.

image

Itu pula yang kami rasakan setelah pindah rumah. Ke daerah yang jauh dari Bogor meskipun masih di Pulau Jawa. Kondisi yang berbeda menciptakan reaksi tak terduga. Cuaca Lamongan yang panas segera membuat kami berfantasi masih tinggal di Bogor yang sering diselimuti kabut. Hujan turun tak kenal waktu.

Yang paling mendesak adalah air. Di Bogor air berlimpah, baik dari tanah maupun aliran dari PDAM. Tak hanya volumenya yang besar, kualitasnya pun jauh lebih unggul dibanding air di rumah kami sekarang. Di Lamongan kami masih menggunakan air alami yang dipompa dari tanah lantaran layanan PDAM belum tersedia.

Anak-anak sempat ragu sewaktu akan mandi karena air di bak terlihat keruh kekuningan meskipun bila dilihat ternyata bersih. Mereka mungkin membayangkan jernihnya air Bogor yang segar dan berlimpah. Belum lagi bila berpadu dengan sabun, air ini tak mampu menghasilkan busa yang memadai. Sesekali air kadang terasa agak pedih atau tak nyaman di kulit badan.

Ya, inilah kondisi nyata di Indonesia. Tapi yang salah adalah saya, sebab tak mampu menghargai keberlimpahan air sewaktu di Bogor dulu. Tak bisa bersyukur atas situasi yang lebih makmur. “Rasain, Lo Rud!” sergah saya pada diri sendiri. Dulu kau sia-siakan, kini kau hemat-hemat dan pertahankan. Entah air, entah kesempatan…. Rasain kamu!

14 Comments

  1. Kayanya airnya kaya di Jambi deh. Jernih tapi kekuningan karena tanah cenderung berlumpur. Udah gitu sedikit berminyak, habis mandi kulit masih terasa licin. Aku kalo ke Jambi jerawat selalu makin banyak, mungkin salah satunya faktor air ini.

    Btw, Lamongan yang kudengar sangat maju, Mas. Terutama saat dipimpin sama bupati yang pinter bahasa Mandarin dulu itu.

    Like

    1. Iya mirip begitulah, Mas. Tapi kalau air PAM ya lumayan mendingan. Lamongan memang relatif maju Mas saat dipimpin Pak Masfuk. Termasuk Persela yang makin moncer. Aku malah kurang paham soal kepiawaian beliau berbahasa Mandarin. Yang jelas, saat kepemimpinan beliau, pelajaran mandarin memang sangat digalakkan.

      Like

  2. Loh om belalang pernah di lamongan? Iya wilayah Tuban lamongan Bojonegoro akirnya itu nengandung kapur. air tanahnya gak bisa jernih. Pasti ada putih putihnya.

    Iyup betul, hidup selalu bergerak selalu berubah. Tinggal gimana kita menyikapinya.

    Like

    1. Iya, Mas Azzet. Sekarang menetap di kampung halaman agar leboh dekat dengan ibu. Supaya gampang makan klothok, hehe. Maturnuwun, aamiin, monggo mampir….Salam balik dari Kota Lele!

      Like

Tinggalkan jejak