Tentang Gaji Guru Honorer dan Kisah-Kisah Miris yang Melingkupinya

selamat hari guru

Terdorong untuk mengisi waktu dan meraup penghasilan tambahan, beberapa bulan lalu saya iseng mencari lowongan mengajar di kota tempat saya tinggal sekarang. Lowongan yang cocok dengan profil saya tentu saja mengajar secara paruh waktu tanpa ikatan kepegawaian yang ketat sebab saya masih ingin menggeluti aktivitas menulis sehari-hari yang hasilnya lumayan.

Setelah menjelajah sejumlah situs lowongan di Internet, muncullah satu posisi yang menarik: mengajar bahasa Inggris di sebuah kursus yang konon cukup terkemuka di kota ini. Job desc atau beban tugas dan kualifikasi tak masalah, kecuali dua poin yang agak bikin galau, atau mungkin baper(?). Bukan, bukan, soal usia yang sudah mepet, hehe.

Entahlah apakah kegalauan saya beralasan mengingat saya tinggal di kota kecil yang tak punya satu pun mal atau supermarket besar. Pertanyaan pertama adalah seputar gaji atau kompensasi bulanan dari lembaga tersebut. Sebagai lelaki berkeluarga, wajar bila upah bulanan menjadi poin penting untuk saya pertimbangkan. Besar gaji yang ditawarkan untuk posisi full-time tersebut tak jauh berbeda dengan nilai fee mengerjakan dua atau tiga kali tulisan berbayar di blog ini.

Kekagetan tersebut muncul sebab posisi yang akan saya emban adalah full-timer yang mensyaratkan kehadiran setiap hari di kantor dari Senin hingga Sabtu dengan standar jam kerja umum. Bisa dibayangkan bila saya melamar dan diterima di sana, maka waktu saya bakal tersedot habis lantaran tugas mengajar bukan perkara gampang karena kewajiban menyiapkan bahan, menyusun lesson plan dan aneka bentuk pengajaran kreatif agar siswa tak bosan.

Dengan kata lain, jika saya bekerja di sana, waktu atau kesempatan menulis atau mengelola blog bakal minus atau bahkan pupus sama sekali disebabkan tenaga dan pikiran yang tercurah penuh di sana—walaupun ini kondisi relatif.

Dengan bekerja penuh waktu, saya harus memilih antara mengajar dan menulis sementara gaji bulanan hanya sebanding dengan 2-3 tulisan berbayar dengan fleksibilitas waktu yang berbeda. Bekerja kantoran berarti keterbatasan mengunjungi ibu kapan saja terlebih saat ada acara keluarga yang tentunya harus mengajukan izin dan sebagainya.

Dengan menjadi freelancer, pendapatan minimal setara dan bahkan bisa lebih besar ketimbang mengajar selama enam hari dengan ikatan waktu yang ketat. Mungkin masih bisa menulis atau mendesain isi buku, namun tenaga dan daya pikir tentu berkurang drastis di sela-sela bekerja.

Menyedihkan: 100 ribu rupiah sebulan

Melihat nominal kecilnya gaji yang diitawarkan, saya pun mengajukan keheranan kepada adik saya Zee (yang menjadi guru di sebuah MI) saat mengunjungi ibu. Saya tak tahu pasti apakah standar saya yang terlalu berorientasi ke Bogor ataukah memang para pekerja di kota kami mampu mencukupi segala kebutuhan dengan nilai serendah itu. Berdasarkan hitungan di atas kertas, nominal gaji tersebut hanya cukup untuk makan selama sebulan, belum termasuk uang transpor, bayar tagihan wajib ini-itu, kebutuhan anak (jika punya), dan sebagainya.

Alih-alih menyajikan kalkukasi matematis (karena dia guru matematika), Zee mengamini rendahnya bayaran itu dan menawarkan konsep barokah sebagai pendidik. Untuk soal terakhir ini, saya tak bisa memungkiri bahwa guru memang dilingkupi atmosfer keberkahan sehingga ada saja keajaiban rezeki untuk menutupi setiap kebutuhan mereka. Namun keyakinan pada keberkahan, ditambah embel-embel mulia pahlawan tanpa tanda jasa, seharusnya tidak menutup mata publik terhadap kebutuhan riil para guru yang perlu ditutup dari upah jerih payah mereka mengajar.

Diskusi berlanjut saat Zee menceritakan kisah seorang teman karibnya yang cukup miris. Sebut saja Zu, sahabatnya semasa SD yang kini tinggal sekampung juga. Zu telah lama menikah namun belum juga dikaruniai keturunan dan itu tentu saja menjadi ‘masalah’ tersendiri di kampung yang segala sesuatu cepat diketahui. Atas dorongan punya momongan, Zu lalu berikhtiar lewat seorang wanita yang dipercaya bisa membantu kehamilan. Entah lewat pijat atau metode semacamnya.

Setelah beberapa waktu terapi, perut Zu pun membesar yang berarti dia sedang berbadan dua. Singkat cerita, diadakanlah syukuran 4 bulanan atas kabar gembira tersebut. Namun tak lama berselang, kehamilan itu sirna entah ke mana. Menurut kabar yang beredar, wanita pemijat itu penipu belaka yang tak bisa membantu proses kehamilan. Entah sudah di-USG atau belum menjelang syukuran itu.

“Kenapa tidak periksa dulu aja ke dokter? Zu dan suaminya sama-sama diperiksa dulu agar diketahui di mana masalahnya,” usul saya mendengar cerita Zu.

“Mana ada duit, Mas?! Bayaran suami Zu aja Cuma 100 ribu per bulan!” tangkis Zee.

“Memang kerja apa, kok kecil banget?” selidik saya keheranan.

“Guru honorer, Mas. Sudah sekolahnya jauh, beban mengajar kadang banyak, eh bayarannya kecil banget.” Zee mulai terharu.

“Itu mah mana cukup, buat beli bensin aja dong!” ujar saya menanggapi.

“Ya, entahlah. Zu juga ngajar di SD sini, tapi ya gitu statusnya masih kayak suaminya. Bayaran kecil.”

Dada saya bergemuruh, bingung bersikap; hanya terheran-heran betapa ada kisah sepasang guru non-PNS yang begitu miris bayarannya. Angka yang sungguh jauh dari gaji lowongan yang pernah saya incar, bahkan dibanding fee satu kali menulis blog post. Ada pun Zee adik saya masih terbilang mendingan karena sudah menjadi guru tetap di yayasan tempat ia mengajar.

Meskipun gaji bulanan tak bulat 400 ribu rupiah, namun ada insentif inpassing guru swasta dari pemerintah yang dicairkan secara berkala—walau sering telat. Sekolahnya pun hanya 10 menit dari rumah dengan berkendara motor yang berarti hemat ongkos.

LEBIH MENYEDIHKAN: BERUJUNG ANAK MENINGGAL

Ternyata kisah miris Zu bukan satu-satunya yang menyedihkan. Seorang kawan bloger di Jawa Tengah juga mengalami hal yang sama. Hanya saja ia menjalaninya dengan enjoy dan santai—walau tentu saja mau jika honor dinaikkan. Salut betul sama Diyan Ika, guru honorer bergaji 300 ribu yang tak bosan merancang kegiatan menarik berdasarkan tuntutan Kurikulum 2013 padahal tugas semacam itu jelas tak mudah. Butuh biaya dan tenaga.

Namun saya tak menangkap pendar keluhan dalam blog post atau status di akun Facebook-nya. Guru honorer, atau dikenal juga dengan guru wiyata, di sekolahnya ternyata ada beberapa. Mereka senang mengajar dan lebih senang lagi saat guru yang telah tersertifikasi turut menciprati dengan rezeki dari gaji dobel mereka. Ika jelas-jelas menyukai anak-anak sehingga aneka aktivitas mengajar dia nikmati betul-betul meskipun tentu gembira bila ada perbaikan besaran honor.

Masih di Jawa Tengah, namun berbeda kabupaten, ada kisah lain dari istri seorang sobat bloger, Mas Eko. Menurut rangkaian cuitan di Twitter, ia menuturkan bahwa istrinya dahulu mengajar di dua sekolah dasar sebelum akhirnya berhenti karena harus tombok. Dengan upah 100 ribu dari satu sekolah dan 200 ribu dari sekolah lainnya, itu tentu kurang dibanding biaya susu formula sebsar 400 ribu.

Dari situlah ia kemudian memutuskan berhenti demi mengasuh anak-anaknya secara langsung setelah 6 tahun mengabdi. Kabarnya dia kini menekuni bisnis rumahan yang nilainya justru lebih besar dibanding honor mengajarnya dulu.

Dalam cuitan berikutnya, Mas Eko menceritakan kisah kawan istrinya yang juga berprofesi sebagai guru tak tetap. Kisah yang tragis, mungkin bisa dibilang begitu. Sebut saja namanya De. Sudah belasan tahun mengabdi sebagai GTT namun tak juga diangkat sampai saat ini. Kasus De agak kompleks karena ia harus LDR alias berjauhan dari suami demi pilihannya dengan harapan suatu hari bisa diangkat. Bahkan hingga punya anak pun mereka tinggal berjauhan.

Tragedi pertama, sang suami meminta bercerai. Keluarga mereka kandas. Dengan statusnya sebagai janda muda beranak satu, De pun tetap mengabdi sebagai guru dari pagi hingga siang. Kesibukannya mengajar menyebabkan sang anak harus dititipkan pada orangtuanya. Karena orangtuanya juga harus cari uang, maka waktu mau tak mau mesti dibagi. Tragedi kedua pun terjadi. Anak tersebut mengalami gangguan dalam pertumbuhan, didera sakit, dan akhirnya meninggal dunia.

Betul kata Mas Eko, memang tragedi demi tragedi itu bukan disebabkan oleh kesibukannya mengajar walau masih bisa dicarikan benang merahnya. Seandainya De dulu memilih berhenti dan mengasuh anaknya sendiri, bisa jadi perceraian tetap terjadi dan anaknya tak terselamatkan. Namun setidak-tidaknya sang anak telah mendapatkan perhatian penuh sehingga penyesalan tak berkepanjangan. Ini memang kisah tragis guru GTT walau tak mengelaborasi nominal upahnya.

Beberapa waktu lalu ada yang membagikan status tentang demo para pengajar yang menuntut kenaikan standar upah. Sebagai manusia biasa, saya tak menyalahkan aksi tersebut meskipun sejumlah pihak memandangnya kurang etis seolah-olah guru kurang tulus saat memilih profesi mengajar dan menerima upahnya yang ternyata kecil. Saya terus terang tak punya solusi tentang upaya peningkatan taraf hidup para pendidik yang belum sejahtera tersebut, seperti Zu atau De, atau kisah lain yang mungkin lebih tragis.

Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah bahwa guru merupakan salah satu aset terbesar kemajuan bangsa. Bukik Setiawan, praktisi pendidikan dan penulis buku Anak Bukan Kertas Kosong, pernah menulis bahwa peranti terpenting dalam kemajuan siswa bukanlah fasilitas lengkap atau canggih, melainkan guru yang kreatif sebab ia bisa menggagas beragam ide demi perkembangan anak didiknya sesuai keadaan yang mungkin terasa terbatas dan minim.

Selamat Hari Guru Nasional! Terima kasih kepada para guru atas ketulusan mereka dalam mendidik anak-anak, dalam membesarkan mimpi dan menabuh semangat bercita-cita. Mereka memang pahlawan yang tak perlu tanda jasa, namun jelas bahwa jasa-jasa mereka tak layak hanya dihargai ucapan terima kasih belaka.

18 Comments

  1. Kalau denger cerita isteriku, jangankan guru wiyata seperti dirinya dan temennya yang kemudian cerai dan anaknya mati, bahkan yang sudah PNS pun tiap kali gajian tombok. Isteri berulang kali menceritakan seorang teman mengajarnya di salah satu SD Negeri, yang tiap kali gajian malah minus, gak nerima uang sepeser pun, karena sepanjang bulan utang di koperasi. Jadi begitu gajinya turun langsung dipotong untuk bayar utangnya tersebut. Ada juga guru yang demi menghemat pengeluaran bersepeda ke sekolah, padahal jarak rumah ke sekolah naik sepeda motor saja bisa lebih 10 menit.

    Memang, tak semuanya berkisah sendu. Adik kandung isteriku suami-istri guru SD, dan syukur banget keduanya sama-sama lolos sertifikasi. Bisa kredit rumah, beli mobil second, sepeda motornya lebih dari dua, tiap bulan masih bisa bantu cicilan kredit motor mbak, beberapa kali bantu keuangan ibunya, atau beliin baju keponakan seperti anak-anakku.

    Like

  2. Ya guru ya dosen nasibnya ga jauh beda kok. Kalo bukan krn panggilan jiwa udah dari kapan taun aku tinggalin. Semoga kedepan kehidupan dan kesejahteraan para guru dan dosen lebih diperhatikan pemerintah ya

    Like

  3. Aku baru tau ternyata di jaman serba mudah kayak gini, upah guru ada yang 100ribu perbulan. Itu nyaris kyk uang jajan perhari anak-anak sekarang. Wow.

    Like

  4. Sedih ya… Di daerah saya, gaji guru honorer juga sangat rendah. Padahal tugas mendidik siswa/i bukan perkara mudah. Apa karena terlalu banyak sarjana pendidikan? Ah saya gak paham

    Like

    1. Sebenarnya sarjana jurusan apa saja tiap tahun banyak dihasilkan oleh universitas kita Mbak, baik swasta maupun negeri. Masalahnya mungkin kurang tertib pengelolaan dan transparansi dana pendidikan.

      Like

  5. Saya lulusan PGA, Kangmas, jadi banyak di antara teman-teman saya lulusan sekolah guru tersebut yang jadi guru. Saya tak bercerita teman-teman yang akhirnya jadi PNS, tapi teman-teman yang statusnya masih jadi guru honorer di madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar, sungguh sedih saya, Kangmas, bila mendengar cerita soal gajinya.

    Liked by 1 person

  6. yang buat saya miris hal seperti ini terjadi juga dgn gaji dosen, sudah gajinya dibawah standar kewajaran malah ada yang 2/3 bulan baru gajian padahal universitas negeri berlabel agama (ironis). dan yang pasti tentu hal ini akan berimbas pada kualitas guru itu sendiri.

    Like

  7. Bener banget pak, penghargaan buat guru masih minim di negeri kita, apalagi dibanding dg tanggung jawab mereka sbg yg digugu & ditiru.
    Btw boleh nanti dishare pengalaman ttg menghasilkan dari blog nya pak 🙂

    Liked by 1 person

  8. Yupz…. begitulah…
    dan kebetulan saya juga wiyatabhakti, tapi bukan guru. Saya OPS..

    Kalau dilihat dari gaji, jujur saya merasa sangat kurang.
    Dengan gaji di bawah UMR plus berbagai potongan 😦

    Mesti pintar-pintar mencari pendapatan dari sumber lain… termasuk ngeblog ini…

    Semoga Pemerintah MAMPU mensejahterakan tenaga wiyatabhakti di nusantara ini…

    Tulisannya inspiratif bos 🙂

    Like

Tinggalkan jejak