Seorang Remaja yang Sangat Ingin Menyantap Mi Instan (2)

pop mie
Gambar dari bliblidotcom

Begitu satu cup mi instan tandas, tampak bulir-bulir keringat di wajah Dimas. Senyum pun terbit di bibirnya tanda bahwa ia puas dan mungkin kenyang. Saya katakan ‘mungkin’ karena maklumlah orang Indonesia konon belum akan kenyang kalau belum digelontor dengan gerombolan beras matang alias nasi, hehe. 😉

Betul dugaan saya, kira-kira pukul tujuh lewat atau selepas waktu isya, Dimas tampak rungsing. Duduknya tak nyaman dan sesekali berdiri lalu berjalan ke arah bordes, melongok ke luar, kemudian balik ke tempat duduk. Dua orang ibu yang duduk di sebelah depan saya akhirnya bersuara.

“Kenapa, Nak? Masih lapar ya?” tanya ibu yang satu.

“Iya lapar kali. Kasiaan koe, Nak!” ujar ibu yang lain.
Mereka sebenarnya ingin berbagi, namun bekal makanan yang mereka bawa telah ludes saat prosesi makan malam menjelang magrib.

“Wah, makanan kami juga udah abis!” celetuk Mas asli Madura yang sebelumnya menghibahkan air panas.

Saya tertegun, dan terus terang limbung karena hanya saya yang masih menyimpan sebungkus nasi utuh plus sepotong ayam panggang besar. Saya pribadi sudah tak lapar walaupun tadi tak makan banyak. Namun saya khawatir Rumi tiba-tiba merengek minta makan di tengah malam, mengingat harga makanan di kereta lumayan mahal (dasar ayah pelit, haha).

Setelah menimbang dan timbangannya rusak, saya pun memutuskan mengangsurkan sebungkus beserta sepotong ayam dan bumbu rendang yang asli lezat banget. Saya tak kuasa melihat dia kelojotan dan mondar-mandir akibat serangan lapar. Teringat dulu saat jadi mahasiswa dan menumpang kereta ekonomi ke Semarang, betapa indah bila ada yang kasih makanan gratis.

Tanpa ba-bi-bu, Dimas segera mengambil posisi siap santap. Dia turun dari tempat duduk dan menyantap nasi cs sambil berjongkok dengan kursi sebagai mejanya. Sebagaimana pertemuan saya dengan orang lain, saya tak mau melewatkan kesempatan menimba ‘ilmu’ dari dia.

“Enak kerja di sablon, Dim?” tanya saya menyela sesi santap makannya.

“Ya, enak ga enak, si, Mas,” jawabnya sambil mengunyah sendok, eh, nasi berbumbu rendang. (Saya dipanggil Mas loh, bukan, Om, haha–ga penting bingits)

“Kok gitu?” tanya saya menyelidik.

“Kalo sopir sih enak, Mas. Bayarannya gedean ketimbang kenek. Saya cuma kenek doang.” Dia menjawab dengan mata sayu, tapi tetap semangat menyantap makanan.

“Oh ada sopir dan kenek juga?”

“Iya, Mas. Kenek kayak saya bantu sopir. Sopir enak tuh bayarannya gede.” Lalu dia menyebutkan sebuah angka yang saya lupa.

“Kalo ga ada order nyablon trus gimana?” tanya saya makin mendesak.

“Ya libur, Mas. atau ngerjain apa yang lain,” ujarnya dengan wajah sedih. Ayam panggang sudah hampir habis. Bumbu rendang pun kian tak bersisa, tapi aromanya meruap di kabin penumpang.

Saya kemudian tergoda mengetahui anggota keluarganya. Bila tak salah ingat, ia memiliki enam saudara. Ayahnya bekerja serabutan di sebuah proyek. Ibunya bekerja mencuci dan menyetrika di rumah warga. Dua adiknya (cewek) bekerja di tempat pembuatan kaos kaki. Bila tak salah ingat lagi, tak ada seorang pun yang bersekolah.

Saya terhenyak. Anak gesit dan mungkin pikiran cerdas seperti dia mengapa tak sekolah? Saat saya tanya, dia berhenti sekolah (pada pertengahan SD), lantaran ayahnya sering pindah kerja. Setelah menetap di sekitar Jakarta, ia malas mengurus sekolah lagi. Namun itu tetap tidak bisa dibenarkan sebab pendidikan adalah paspor menuju kesuksesan. Saya percaya itu. Namun saya tak ingin menggurui Dimas yang baru saya temui.

Saya giring dia untuk menyadari pentingnya pendidikan, dalam hal ini sekolah. “Menurut Dimas, kerja di sablon bisa diandalkan terus ga?”

“Enggak sih, Mas.” Dia menjawab sambil meremas bungkus nasi sebelum melesakkannya ke dalam kantong kresek. “Jadi sopir pun masih tak tentu.”

“Jadi?” tanya saya singkat.

“Saya masih berharap bisa lanjut sekolah lagi, Mas.” Gotcha! Perangkap berhasil. Saat mengucapkan itu ia tampak penuh semangat dan tekad yang bulat. Semoga ia benar-benar mewujudkan cita-citanya melalui pendidikan yang memadai, paling tidak di dunia kerja yang kini sangat kompetitif. Memang sekolah tak menjanjikan pekerjaan, namun setidak-tidaknya membuka cakrawala berpikir dan kreativitas.

Setelah tiba di stasiun yang saya tuju, Dimas membantu kami menurunkan barang-barang. Satu kardus peuyeum dan tas berisi pakaian. Dimas tak henti berterima kasih atas nasi bumbu rendang dan ayam panggang itu. Saya juga mengucapkan terima kasih karena dia sudah mau diajak mengobrol.

Pop Mie sudah disantapnya, semoga ia kini sedang lapar ilmu dan sibuk menekuni studinya di suatu tempat. Atau sekurang-kurangnya menambah keterampilan untuk membekali masa depannya.

Kabulkan ya Allah. Aamiin.

9 Comments

Tinggalkan jejak