Ini sebenarnya kisah yang terjadi sekitar tiga tahun lalu saat kami masih tinggal di Bogor. Kala itu kami mudik ke Jawa dengan menumpang kereta. Kami maksudnya adalah saya dan si sulung Rumi. Seperti biasa, perjalanan di atas kereta selalu menyenangkan bagi dia. Pemandangan sekeliling tak luput dari komentarnya. Kondisi kereta yang relatif lapang membuatnya leluasa bergerak ke sana kemari. Bahkan saat telah kembali ke Bogor pun ia tak henti menceritakan keasyikan menumpang kereta api.
Namun bukan kisah Rumi yang saya hendak ceritakan. Tepat di depan saya duduk seorang remaja dengan penampilan santun dan good looking. Sebut saja namanya Dimas. Saya memperkirakan usianya belasan tahun dan tengah menempuh kuliah. paling tidak penampilannya menyiratkan dia anak kampus.
“Mau ke mana, Dik?” Saya membuka percakapan.
“Ke Surabaya, Mas,” jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Kuliah ya?” cakap saya lebih lanjut.
“Bukan, Mas. Kerja.”
“Oya? Kerja di mana?”
“Di tempat sablon.” Dia masih santun sambil nyengir.
Ternyata belakangan saya ketahui dia didera kelaparan hebat. Dia bertolak ke Surabaya dari Jakarta untuk mengantar tantenya. Namun mereka terpisah di gerbong yang berbeda. Mereka membawa beberapa cup Pop Mie, namun tak membekali diri dengan air panas. Walhasil, saat sore menjelang–ketika semua orang membuka bekal makanan bungkus–ia hanya menggigit jari.
Oleh istri saya dibekali dua bungkus nasi padang dengan lauk terpisah. Ada sepotong ayam bakar besar plus bumbu rendang yang sangat nikmat. Ketika semua orang menyantap bekal makanan, saya pun membuka sebungkus nasi untuk menyuapi rumi, sambil sesekali menyendok untuk saya sendiri. Potongan ayam bakar itu saya cubit sedikit untuk melengkapi sajian makan malam. Sebungkus nasi pun tandas. Namun bumbu rendang masih tersisa cukup banyak dan ayam bakar juga cukup besar teronggok.
Dimas terlihat mondar-mandir dari tantenya untuk mengambil wafer guna memadamkan kelaparan. Sembari menikmati makanan ringan itu, ia sempat mengangsurkan satu bungkus kepada Rumi. Rumi menerimanya dengan gembira–dan langsung melahapnya.
Lalu kru KA yang menjual Pop Mie dan kopi pun melintas.
“Pak, boleh beli air panasnya aja?” tanya Dimas penasaran.
“Wah, enggak bisa. Harus sama Pop Mie-nya,” ujar petugas yang menenteng termos dan segepok kopi sachet dan Pop Mie.
Dimas mendengus kecewa. Lalu penumpang asal Madura menawarkan air panas dari termosnya. Air itu sedianya dipergunakan untuk menyeduh bubur untuk putri balitanya. Dimas pun gembira dan segera melesat untuk mengambil Pop Mie dari tantenya di gerbong lain. Saat Pop Mie telah berkepul dan siap disantap, dia pun lahap betul menikmatinya. Lumayan, kelaparan sedikit reda.
Bersambung ke Seorang Remaja yang Sangat Ingin Menyantap Pop Mie (2)
Baca malam-malam dan saya jadi ingin pop mie. Hehehe… Jadi ingat dulu pernah beli air panas di bandara buat menyeduh pop mie 😀
LikeLike
Iya, Mbak. Kalau sedang bepergian mah sedap banget makan pop mie ya, hehe. Kebayang deh mahalnya beli apa-apa di bandara.
LikeLike
Kenapa kru kereta itu pelit ya. Kalau saya krunya akan saya kasih gratis gak usah beli. Baik sekali penumpang asal Madura itu.
LikeLike
Mungkin sudah ada aturan begitu kali Mas, entahlah. Memang baik hati penumpang asal Madura itu.
LikeLike
Kru kereta itu kok gitu banget sih? Air panas aja lho. Mungkin dia bingung buat laporan, soalnya dia nggak mungkin laporin penjualan air panas kan. Terus, kenapa nggak inisiatif kasih gratis aja coba? Mungkin dia pengen begitu, tapi bayangin kalo info ini nyebar dan banyak yang minta air panas ke dia. Hehehehe.
LikeLike
Hehe, tahun itu belum zamannya bikin viral. Coba sekarang, bisa sewot kalau mendadak terkenal.
LikeLike
ini pertanyaan yang sama oleh suami saat naik kereta. Ga boleh… enak aje cuma beli air panas.
LikeLike
Heran juga saya, kan bayar bukan gratisan.
LikeLike