Perempuan Penembus Kabut

penembus kabut

Adakah yang lebih epik ketimbang wanita yang mengalirkan keringatnya demi kesejahteraan keluarganya? Bukan hanya epik, sejumlah sosok perempuan yang saya potret berikut juga apik sebagai bukti bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Walau saya akui menceritakan kisah perjuangan wanita pada masa apa pun sering dilanda kekhawatiran bahwa catatan-catatan semacam itu tidak pernah cukup untuk melukiskan heroisme mereka.

Kendati mereka tak pernah menuntut agar disebut heroik atau fenomenal, pun juga tak menghendaki kepahlawanan mereka dirayakan dengan selebrasi penuh gengsi, sepuluh wanita sederhana namun keren berikut ini akan mengonfirmasi bahwa perempuan adalah sosok yang kuat; betapa saat embun belum sempurna membasahi rerumputan, ketika pendar kabut masih betah mendekap pagi–mereka telah mengayuh roda kehidupan menuju titik yang mereka yakini. Bukan hanya demi terpenuhinya kebutuhan ekonomi, tetapi juga mempertegas integritas sebagai makhluk yang punya kreativitas.

1.  Penjual bubur sumsum

Sewaktu masih tinggal di Bogor dan memproduksi wingko setiap hari, saya sering berjumpa ibu ini saat menunggu antrean kelapa diparut di tukang kelapa langganan. Tidak selalu berjumpa karena saya lebih sering belanja kelapa pada malam hari agar pasokan bahan tetap segar.

Saat akan memarut kelapa pesananku, ibu tersebut hampir selalu meminta air kelapa untuk diminum di tempat. Ah, segaaar! Sedangkan kelapa parut yang ia beli dipergunakan sebagai bahan santan untuk bubur sumsum yang ia jual. Tak banyak yang kami percakapkan selain mata saya yang bersirobok dengan panci dagangannya yang selalu kosong karena ludes diborong pembeli.

Luar biasa semangat ibu ini, usianya setengah baya namun masih produktif berkarya–mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Pagi-pagi betul ia meninggalkan rumah ketika ibu-ibu lain masih sibuk memasak di dapur. Dengan langkah mantap dia tenteng panci berisi bubur tanpa terkendala oleh dingin pagi selepas Subuh.

2. Penjaja kopi dan teh

Masih di tempat yang sama, yakni di Pasaranyar Bogor, saya kerap melihat seorang ibu penjual kopi yang selalu tampak semringah saat mengantarkan kopi ke lapak-lapak penjual. Karena ia selalu tampak gesit ke sini dan ke sana, saya tak pernah berkesempatan mengobrol untuk mengulik lebih jauh.

Lagi pula, obrolan singkat yang bersifat mengulik saya khawatirkan malah mengganggu aktivitasnya menyajikan kopi dan teh kepada pembeli. Berbeda dengan ibu pertama penjual bubur sumsum yang membuka percakapan sendiri. Usia mereka sepertinya tak terpaut jauh, sama seperti semangat yang membara.

3. Tukang roti keliling

Suatu pagi–ketika gelap masih tebal menyelimuti wilayah Cimanggu Permai Bogor–saya terseok mengantar motor mogok ke bengkel. Di sanalah kulihat seorang ibu yang mengendarai motor untuk menjajakan roti di gang-gang demi keluarga yang mungkin belum menyiapkan sarapan. Pemandangan baru tentu saja sebab biasanya aneka merek roti dijual oleh pengendara lelaki dengan memutar rekaman woro-woro.

Pernah sekali kubeli roti dari ibu ini dan saat kutanya apakah ia berjualan roti menggantikan suaminya, ternyata bukan. Sehari-hari ia memang berkeliling di kompleks perumahan untuk meraup rezeki lewat roti. Wow, salut!

4. Pembuat martabak mini

Kalau wanita ini saya kenal karena setiap hari beliau menitipkan kue bikinannya untuk saya bawa ke toko-toko. Usianya paling tua di antara wanita penjual yang pernah saya temui di Bogor. Asal Medan, Bu Louis tak mau tinggal diam meskipun anak semata wayangnya sudah diterima bekerja di salah satu operator terbesar di tanah air.

Seperti pernah kuceritakan di sini, Bu Louis membuat martabak manis berukuran mini dengan topping cokelat dan keju parut. Rasanya paling enak dibanding bikinan produsen lain–terbukti! Setiap pagi kami berjumpa di lapak kue yang kami stok lalu berjumpa lagi seminggu kemudian untuk menyetorkan hasil penjualan dari toko-toko. What a powerful woman!

5. Penjaja nasi uduk

Saat tinggal di Cimanggu City, suara wanita ini amat kami kenal dan sering kami tunggu untuk lewat di depan rumah karena nasi uduk bungkusnya. Selain nasi uduk, ada pula aneka gorengan murah meriah–juga ketan kukus yang lezat. Donat gula putihnya pun sangat digemari anak-anak. Ternyata ibu ini tidak membuat sendiri alias menjajakan produk olahan orang lain.

Apa pun judulnya, dia hebat lantaran setiap selalu menopang tampah berisi dagangan di atas kepalanya sejak pagi buta hingga nasi dan kue habis. Berjalan kaki menyusuri setiap blok dan jalanan kompleks, semangatnya layak ditiru.

6. Penjaja pecel Madiun

Ibu ini lebih garang karena mengayuh sepeda ontel alih-alih mengendarai motor untuk menjajakan dagangannya. Pecel Madiun yang ia jual bukan hasil olahannya, melainkan produksi orang lain. Lontong, sayur, bumbu pecel, dan gorengan yang ia bawa dalam keranjang di belakang menjanjikan keuntungan sehingga layak ia tawarkan dengan penuh semangat.

Mulai pagi hingga panas matahari begitu terik, ia kayuh sepedanya kuat-kuat seolah tak ada yang lebih penting ketimbang senyum pelanggan setelah menyantap pecel bawaannya. Segar, gurih dan pedas–semua bercampur jadi satu!

7. Penjaja alat kebersihan

Di kota bandeng-lele belum lama ini saya mendapati seorang ibu muda tengah berjalan menyusuri panas jalanan raya seolah penat lantaran barang yang ia bawa. Ada keset, sapu, lap, dan kain pel panjang yang ia angkut di atas punggungnya. Membayangkannya pun sudah berat, apalagi benar-benar mengangkat semua itu entah ke mana untuk dijajakan kepada calon pembeli.

Tak ada kata menyerah bagi dia walau tak punya sepeda untuk dikayuh atau motor untuk dikendarai. Langkah kaki dan kemauan kuat adalah sumber daya yang tak boleh disia-siakan. Bekerja untuk keluarga sangat mulia dan terhormat ketimbang meminta-minta. Sejak pagi hingga entah ia menawarkan dagangan dari pintu ke pintu.

8. Penjaja nasi jagung

Ketika menunggu istri berbelanja di pasar tradisional dua minggu lalu, saya tertegun melihat seorang ibu yang memarkir sepedanya tak jauh dari tempat parkir motor. Bumi asyik memerhatikan motor saat kulihat ibu tersebut menawarkan produknya kepada setiap pengunjung yang masuk ke area pasar.

Di belakang sepedanya terpasang sebuah keranjang kecil berisi beberapa bungkus barang. Ternyata itu nasi jagung–biasanya dengan lauk ikan asin dilengkapi urap. Bagi penggemar nasi jagung, tentu tak elok melewatkannya. Penolakan demi penolakan tak menyurutkan tekadnya untuk mendapatkan uang. Ia tawarkan terus sampai akhirnya ada yang mau membeli.

Ia jarang terlihat di pasar ini sehinggaa kemungkinan pedagang musiman yang berkeliling dari pasar ke pasar dengan mengayuh sepedanya.

9. Penjaja gorengan yang sudah renta

Baru dua hari lalu istri bercerita soal wanita sangat tua yang menjajakan dorengan di depan SPBU tempat kami biasa mengisi bahan bakar. Demi menghargai semangatnya yang berkobar, istri akhirnya membeli gorengan cukup banyak meskipun batuk sedang melanda di rumah.

Saat meninggalkan SPBU, nenek ini menawarkan lagi gorengannya seolah-olah istri belum membelinya. Sepertinya beliau sudah pikun sehingga tak mengingat pembeli yang sama–ditambah faktor penglihatan yang sangat berkurang.

10. Penjual aksesori dan mainan

Ibu ini selalu mangkal di depan sekolah si sulung dengan sepedanya yang tampak kelelahan menahan beban berat barang dagangan. Ada banyak aksesori anak-anak juga mainan yang ia bawa di atas setang sepedanya. Selain itu, masih terdapat kompor dan alat pemanggang untuk menggoreng telur seperti cilor.

Baunya menguar saat ia menggoreng telur begitu saya tiba untuk menjemput si sulung. Wajahnya selalu tampak gembira dengan celetukan khas emak-emak membincangkan kebutuhan sehari-hari dengan para ibu lain yang menunggu anaknya. Pernah kudengar bahwa ia terpaksa menitipkan anak balitanya di tempat penitipan agar ia bisa berjualan dengan leluasa dari sekolah ke sekolah.

Sebuah keputusan yang sulit tetapi jelas tidak mudah kita nilai sebagai orang luar. Faktanya baik ia maupun sembilan wanita tadi telah membuktikan bahwa semangat mencari nafkah tak pernah pudar meskipun sumber daya terbatas. Mengeluh hanya akan bikin suasana keruh. Tirulah mereka, meninggalkan rumah sejak pagi, menembus kabut demi kehidupan keluarga yang lebih baik.

Sudahkah kita mengeluh hari ini? #Eh

6 Comments

  1. Kisah nyata yg luar biasa tentang bagaimana mengais rezeki yg halal demi menghidupi keluarga.
    Saya belum mengamati perempuan-perempuan model dalam tulisan ini yang saya temukan juga di Sukabumi.

    Salam,

    Like

  2. Wanita-wanita super, ibu-ibu luar biasa. Jadi inget ibuku jaman masih di Palembang. Kami belum pada bangun, Ibu sudah berangkat ke pasar untuk belanja sayuran, dilanjutkan keliling dari rumah ke rumah. Baru pulang sehabis jam delapan. Kami masuk sekolah siang, jadi masih ada waktu untuk bertemu Ibu sebelum ke sekolah. Untunglah, sekarang Ibu sudah lebih enak perekonomiannya. Nggak harus berjualan sayur lagi.

    Like

Tinggalkan jejak