Menjangkau Tangis Imam

Ramadhan tahun lalu, entah pada malam keberapa, shalat tarawih berjalan seperti biasa dipimpin imam tetap dengan suara dan bacaan yang bertenaga. Jemaah dari berbagai sudut kota memenuhi Masjid Namira dan mengikuti rakaat demi rakaat dengan hikmat. Kira-kira setelah tarawih berlangsung separuh, selepas surah Al-Fatihah, Ustaz Haris sang imam meneruskan bacaan dengan sepotong surah panjang sebagaimana biasanya.

Suaranya yang powerful dan membahana di antero masjid bukan hal baru bagi para makmum. Kemampuan menyambung setiap ayat dalam rangkaian hafalan yang kuat tak perlu lagi dipertanyakan sebab ia seorang hafiz. Namun malam itu berbeda. Ustaz ramah bertubuh subur tersebut menyihir segenap hadirin melalui bacaan ayat yang mendadak terhenti dan dilanjutkan sesenggukan bahkan tangisan penuh emosi hingga beliau tergugu.

Walau paham artinya

Ruangan yang semula memang sudah hening seolah menemukan puncak keheningan akibat tangisan yang pecah seketika itu. Saya yang masih dalam posisi bersedekap tak kuasa bertanya-tanya apa gerangan yang membuatnya tergagap-gagap dalam tangisan ketika membaca ayat tersebut. Ya, fokus dan konsentrasi saya selama shalat memang masih parah—begitu mudah buyar oleh pengaruh internal dan eksternal.

Saya boleh jadi memahami terjemahan ayat yang ia baca, namun hanya sebatas ‘tahu’ dalam tataran semantik dan belum mampu menjangkau esensi tangisan imam. Makna kata per kata dalam ayat yang ia baca mungkin sudah familier bagiku, tetapi jelas bahwa dibutuhkan kemampuan nonlinguistik untuk bisa ikut terbawa dalam eskalasi emosi yang ia alami. Dalam hal ini, pemahaman mendalam di luar teks ayat membentuk penghayatan yang berujung pada ekstase bacaan.

namira

Saya pikir itu juga mungkin yang terjadi pada Bu Sukmawati yang beberapa waktu lalu berpendapat lewat puisinya bahwa kidung lebih merdu dibandingkan suara azan. Komposisi kalimat dalam azan memang tampak sederhana dan maknanya mudah dihafalkan. Namun pengetahuan soal arti kata-kata barulah sebatas permukaan dan belum mencapai hakikat azan yang sebenarnya. Selain seruan bagi muslim untuk shalat berjemaah, azan menyimpan kalimat-kalimat pengesaan Allah, penghambaan makhluk pada Tuhan, kesaksian keislaman, dan cita-cita meraih kemenangan sejati. Namun sekali lagi, ini baru pokok gagasan yang butuh elaborasi lebih jauh untuk dapat melahirkan pijar keimanan.

Saya sendiri sering abai terhadap panggilan bernama azan. Ketika sibuk bekerja, pekerjaan terasa tanggung dan akhirnya saya memilih shalat di rumah alih-alih bergegas ke masjid. Ah, yang penting shalat wajib tetap ditunaikan, walau di rumah—begitu bisik setan mengipasi. Belum lagi kalau berada dalam perjalanan. Ah, nanti, nanti. Mungkin seperti saya Bu Sukma mengalami sudah mencapai level arti tapi belum meraih konteks signifikansi dari sebuah panggilan bernama azan. Tahu artinya namun belum sampai pada lapis signifikansi azan sesungguhnya; bagaiman derajat azan dalam agama Islam.

Belum lagi kalau di lingkungan beliau ternyata para muazin yang mengumandangkan azan adalah orang-orang sepuh dengan lafal yang belepotan dan suara awut-awutan. Alih-alih terpanggil menuju masjid, kumandang semacam itu malah menyiksa telinga sehingga mengantarkan beliau pada kesimpulan bahwa kidung nyatanya jauh lebih merdu didengar ketimbang seruan ilahi itu. Kalau ini kasusnya, bukankah kita perlu menjadikannya sebagai otokritik agar azan benar-benar bisa menebarkan gema surgawi yang memesona setiap telinga untuk mau mendekatinya?

Bulan Ramadan ini kami bersyukur diberi kesempatan kembali mendengarkan kemerduan suara Ustaz Haris di Masjid Namira yang sedang naik daun. Tapi lebih dari itu kami sangat berharap ayat-ayat suci yang berkumandang di antero semesta benar-benar akan menyentuh hati kami yang hitam dan berdebu, pengap dan gelap. Saya teringat ucapan—atau boleh jadi sindiran—seorang guru asal Maroko puluhan tahun silam tentang hal serupa. Di negaranya orang yang shalat tak jarang berlinang air mata, sungguh berbeda dengan pemandangan di Indonesia saat orang seolah tak tergerak oleh energi shalat atau malah bercanda selama shalat.

Seiring bilangan usia bertambah, sudah saatnya kami bekerja dan berdoa untuk lebih memberdayakan seluruh indera dan kemampuan fisik demi mencapai emosi dan semangat setiap ayat dalam kitab suci; tidak hanya kami baca, bukan hanya kami hafalkan. Sehingga kami tak cuma bengong ketika imam pecah dalam tangisan.

8 Comments

  1. Ya Allah tersindir aku yg akhir2 susaah bgt bisa khusuk shalatnya, hiks. Semoga lepas Ramadhan ini lebih baik lg ibadahku.
    Btw aku jd mupeng berat nih pengen shalat di Namira

    Like

  2. Hidayah masuk Islam maupun hidayah Ilmu atau hikmah setelah masuk dalam Islam memang hanya dari Allah subhanahu wa ta’ala.

    Kadang memang kita bisa menemukan sesuatu yang menggetarkan hati sehingga mendekatkan kita pada Allah ta’ala. Apabila belum, it’s totally fine. Selama kita masih beriman. Fakta bahwa Mas Rudi menulis mengenai hal ini menandakan bahwa your heart is in the right place.

    True story. I cried once during a Maghrib prayer after seeing the Last Jedi on the cinema. I remember interpreting the movie’s storyline in a way that reminded me of Allah azza wa jalla. It was totally random! Haha…

    Kadang ada surah yang maknanya membuat kita terharu. Itu tergantung kecenderungan kita. Kalau kita suka sedekah, mungkin akan terharu dengan ayat mengenai sedekah. Kalau kita sangat dekat dengan orang tua, mungkin akan terharu denga ayat-ayat terkait orang tua. Jika sudah ada ayat atau surat “favorit”, kadang kita akan terharu saat membaca atau saat mendengan imam membacanya. Kadang juga kita biasa saja. And it’s perfectly alright when nothing happens. You’ll “get it” the next time round. In syaa Allah.

    Semoga Allah memberikan Mas Rudi kemudahan untuk memperoleh hikmah, ilmu, dan khusyuk. Aamiin yaa Rabbal’alamiin.

    Baarakallhu fiikum.

    Like

Tinggalkan jejak