Bullying Paling Kejam

Bu Ratna mengaku dipukuli, kita bersimpati. Dia mengaku berdusta, ramai-ramai kita cerca. Dia bersalah, kita sempurna. Dia figur publik, kita wong cilik. Dia berbohong, kita melolong. Dia membuka aibnya, kita simpan kebusukan sendiri. Dia berdusta, kita kecewa. Dia memalukan, kita sempurna tiada tandingan. Rombongan pendukung menyesalkan, kelompok seberang menyerang. Bu Ratna bersandiwara, kita penonton bagai sutradara.

Begitulah perihnya terkibuli. Dicurangi kawan mungkin terasa sakit. Dikalahkan lawan juga sering terasa pahit. Dihina dan diremehkan orang lain, tentu saja pedih. Didera kegagalan dalam berbagai hal, entah bisnis, hubungan, lomba, sungguh sedih aduhai perih.

Tapi tiada yang lebih menyakitkan selain mengkhianati diri sendiri. Yaitu ketika bertindak tak sesuai hati nurani, saat berbuat melawan nilai-nilai yang kita yakini. Kemenangan, popularitas, prestise, dan kehormatan mungkin sukses kita raih, tapi apalah artinya bila setiap malam, setiap hari, setiap detik kita terus dihantui oleh rasa bersalah. Waswas oleh serangan endapan norma dan anasir positif yang bersarang dalam diri.

Uang, jabatan, gengsi, dan keberlimpahan materi boleh saja kita kuasai, namun semuanya hampa, kosong, tak berarti sebab kita dikejar oleh hantu nurani—karena kita tak bisa lepas dari diri sendiri. Gemuruh tepuk tangan dan banjir pujian bertahan hanya sesaat, sebab saat kita sendirian kita kembali dirundung oleh pengkhianatan yang pernah kita lakukan atau malah tengah kita langgengkan tanpa sepengetahuan orang.

bully

Sungguh tersiksa, aduhai merana, ketika melakukan hal-hal yang menyenangkan—tetapi jauh di lubuk sanubari kita sadar itu bertentangan dengan idealisme, berseberangan dengan muatan agama, berlawanan dengan pola asuh kebaikan yang selama ini kita serap dari orangtua. Betapa mengerikan siang malam diteror oleh pembelotan atas integritas yang kita agung-agungkan di lisan tapi diam-diam kita hancurkan demi nama baik dan kenyamanan.

Bu Ratna bersalah, mungkin akan dipenjara. Bukan lagi dikenal sebagai ratu panggung yang memesona, tetapi jago ‘sandiwara’ yang kita lekatkan selamanya. Adapun kita, tetap begitu mulia, mungkin akan terus selamat setidak-tidaknya di dunia. Namun adakah yang lebih kejam selain di-bully oleh diri sendiri?

12 Comments

  1. Sebenarnya saya gak ngikutin soal bu RS. Buka FB buat share link doang,abis itu ya udah. Urusan rumah no.1.
    Jadi, ketika teman2 bikin soal RS asli nggak nyambung. (Bahkan singkatan RS ini pun, saya nggak tau. Eh, nonton videonya pun belum)
    Kayaknya baru kemarin apa, saya ngerti status2 teman2 itu. Kadang ketinggalan berita gak enak, tapi klo dipikir2 lagi, lebih enak gak ngomongin orang.

    Saya ngerti arti dibully diri sendiri, saya pernah menjalani itu, lelah rasanya.
    Semoga bangsa ini menjadi yang beradab, berakhlak baik.

    Like

  2. Iya, orang dewasa semua mendadak menjadi hakim paling benar memberi contoh bagi yang muda bully itu dibenarkan menyedihkan

    Like

  3. yang kasihan para netizen beramai2 membully anak dan menantu bu RS di komentar instagram. Kasihan sekali.

    Ada yang berbohong, kemudian mengaku. Ada yang berbohong, tidak mengaku. Ada yang kemudian meminta maaf dan ada pula yang tidak. sungguh kejam

    Like

Tinggalkan jejak