Menimbang Masa Depan Air dan Ketahanan Pangan

Setiap mengunjungi ibu di kampung, selalu ada cerita yang mengapung. Mulai dari dinamika bertetangga, tayangan televisi, hingga isu-isu nasional tak luput beliau ceritakan. Dari sekian curhat yang pernah beliau angkat, keluhan kali ini menjadi salah satu momen yang sangat emosional. “Panen kali ini mengecewakan. Biasanya ibu dapat 61 karung gabah, tapi sekarang cuma 50 karung.” Kalimat itu meluncur begitu saja, wajahnya lurus memandang ke arah teras walau suaranya jelas menyiratkan kepedihan tak berbatas.

“Lho kok bisa?” tanya saya singkat sebagai wujud kepedulian tanpa bermaksud mendramatisasi keadaan.

Dengan menoleh sekejap, ibu berujar, “Enggak tahu. Banyak pohon padi yang gabahnya kopong. Sudah disemprot obat, tetap enggak ada isinya padahal batangnya masih bagus.”

“Wereng?” tukas saya semakin singkat.

Potong leher bikin geger

“Bukan, enggak ada wujudnya. Orang bilang itu potong leher. Kayak dari dalam gitu penyakitnya,” jawab ibu serius. Ekspresinya menunjukkan ini kali pertama potong leher menimpa pertanian di kampung kami. Namun suaranya perlahan terdengar lebih kompromistis, “Ya mungkin memang segini rezeki kita kali ini.”

Padi menguning tidak menjamin panen memuaskan akibat perubahan iklim.

Meskipun para petani menerimanya sebagai ujian dari Tuhan, hama potong leher ternyata terjadi akibat perubahan iklim. Menurut cybex.pertanian.go.id, hama potong leher atau dikenal dengan neck blast terjadi akibat jamur Pyricularia oryzae yang tumbuh subur karena padi dilimpahi gempuran air hujan yang ekstrem.

Kasus lain dampak hama potong leher yang bikin geger ditemukan di Tuban, kabupaten yang bersebelahan dengan Lamongan. “Potong leher itu paling banyak ditemui kalau musim hujan. Disebut potong leher karena bagian bawah padi bagus, tapi bagian atasnya menguning dan tidak ada isinya,” ujar Kardi, salah satu petani dari Desa Patihan, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban sebagaimana dikutip di bloktuban.com. Ia mengaku hasil panennya menurun hingga separuh dari 8-9 ton per 1 hektare menjadi 4 ton saja. Ini tentu saja lebih memprihatinkan dibanding sawah ibu yang panennya hanya merosot sekitar 20%.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa rentang musim penghujan dan kemarau telah mengalami anomali yang berdampak pada munculnya bencana alam seperti banjir bandang dan longsor. Bahkan desa saya di Lamongan kota yang tak pernah disambangi banjir nyatanya harus kebanjiran bulan April 2020 silam akibat hujan dengan intensitas sangat tinggi dan memaksa kami mengungsi.

Perubahan iklim dan masa depan genting

Secara umum, perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2001). Sementara PBB merumuskan perubahan iklim sebagai perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Perubahan ini bisa terjadi secara alami, tetapi bisa juga disebabkan aktivitas manusia yang menjadi pemicu utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil (seperti batubara, minyak, dan gas), yang menghasilkan gas rumah kaca.

Perubahan iklim harus menjadi sorotan dan mendapatkan perhatian bersama karena dampaknya sangat kita rasakan, yakni terganggunya keseimbangan alam. Rusaknya planet bumi lambat laun akan menghancurkan kehidupan para penghuninya, termasuk manusia yang punya andil paling besar dalam merusak atau merawat alam.

Jika kita tak segera mengambil langkah aktif untuk mengendalikan aktivitas-aktivitas tanpa batas, maka tinggal tunggu waktu saja masa depan manusia akan pupus. Kalau tak ada gerakan konkret, sekecil apa pun, untuk menghentikan pola hidup yang menghancurkan alam, niscaya kehancuran ras manusia semakin bisa diprediksikan.

Selain ancaman berbagai virus, misalnya Covid-19, akibat keserakahan kita dalam mengonsumsi dan mengeksploitasi alam, kita sebenarnya terancam oleh kelaparan akibat perubahan iklim yang tak terelakkan. Tragedi panen yang membuka tulisan ini jelas menunjukkan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan turunnya produktivitas sawah sebagai sumber daya yang selama ini kita andalkan.

Dalai Lama mempertegas ancaman ini dalam sebuh kutipan yang sangat populer:

Peace and survival of life on earth as we know it are threatened by human activities that lack a commitment to humanitarian values. Destruction of nature and natural resources results from ignorance, greed, and lack of respect for the earth’s living things. 

Kutipan itu mengingatkan bahwa masa depan planet dan kita sebagai penghuninya ditentukan oleh kesadaran kita untuk menjaga sumber daya dengan dasar cinta kasih, bukan keserakahan dan sikap meremehkan atas komponen alam lainnya. Jadi keputusan ada di tangan kita sendiri: mau terus eksis atau rela terkikis?

Melestarikan air

Jika pilihan pertama yang kita ambil, kita mesti sadar tentang pentingnya koeksistensi di bumi sebab kita sangat bergantung pada alam dalam pemenuhan berbagai kebutuhan. Bukan hanya asupan makanan, bahkan benda-benda berbasis teknologi canggih pun kita rakit dari kekayaan alam.

Contoh paling mudah adalah kasus yang menimpa ibu saya dan para petani di sekitar Lamongan seperti Kardi. Menurunnya panen padi disebabkan oleh hama potong leher akibat berlimpahnya air yang mengguyur tanaman penghasil beras itu. Curah hujan tinggi dan anomali adalah dampak perubahan iklim yang tak terkendali. Jika hasil panen terus merosot, maka stabilitas pangan kita ikut terancam dan masa depan manusia dipertaruhkan.

Air yang berlimpah bisa menjadi masalah, banjir di kompelsk perumahan.

Fenomena ini membuat saya merenungkan pertama-tama tentang air sebagai sumber daya paling penting bagi manusia untuk bisa bertahan hidup selain udara. Faktanya air telah menjadi komponen yang mengandung ambivalensi. Di satu sisi ia sangat dibutuhkan untuk menopang ketahanan pangan yang kita butuhkan. Kita bisa kerepotan mencari air bersih saat ia langka seperti terjadi pada tahun 2018 silam di kota kami. Sementara di sisi lain kehadirannya kerap merepotkan saat jumlahnya berlimpah dalam bentuk banjir atau menggenangi persawahan.

Namun dengan perspektif yang tepat, air sebenarnya tak perlu dipandang secara dilematis. Jika direnungkan dengan saksama, air hakikatnya sangat berguna bagi kita, hanya saja berbeda waktu berbeda pula tingkat manfaatnya. Ketika kita punya akses memadai pada air bersih, kita bersyukur sebab kebutuhan vital bisa terpenuhi. Namun ketika air menjadi banjir, kita diingatkan bahwa ada yang salah dengan manajemen lingkungan. Apakah itu akibat akumulasi sampah, ataukah perubahan iklim yang menyebabkan hujan terhempas bebas dan melimpah?

Di sinilah #TeamUpforImpact dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Kita tak bisa bekerja sendirian, harus bersinergi dengan pihak lain penuh keterikatan. Kini semakin banyak komunitas bermunculan yang peduli pada isu-isu lingkungan. Ini bagus sebagai pilar yang akan berjalinan agar tugas menjaga planet bumi semakin ringan.

Pohon trembesi jadi solusi

Inilah yang dikerjakan oleh seorang pemuda bernama Samsul Arifin. Bersama komunitasnya Green Star Nusantara (GSN) pemuda asal Desa Sumberagung Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro ini berusaha menghidupkan air di lahan bekas tambang migas yang tandus. Langkah konkret yang mereka ambil adalah menanam pohon, dalam hal ini trembesi.

Pohon trembesi menjadi sahabat bumi. (Foto: Youtube Satu Indonesia)

“Tanaman untuk mengatasi perbaikan oksigen dengan menyerap gas CO2 terbagus dan punya daya simpan air yang bagus itu salah satunya adalah trembesi.”

Trembesi dipilih sebab selain mampu memulihkan kualitas oksigen yang sempat memburuk di Bojonegoro akibat penambangan masif juga karena pohon ini dapat memperbaiki sumber mata air bersih. Sumber-sumber itu hilang menyusul hilangnya pohon-pohon penyangga padahal pohon tersebut menyimpan cadangan air. Pohon besar hilang karena lapuk dan tumbang akibat faktor usia tetapi ada juga yang ditebang oleh manusia.

Dengan langkah kecil yang telah dimulai sejak tahun 2010 ini Samsul dan teman-teman kini mampu mengembalikan mutu udara untuk bernapas di lahan bekas tambang dan menginspirasi komunitas lain untuk melakukan hal serupa. Karena memiliki pembenihan sendiri, komunitasnya menggratiskan permintaan dari komunitas apa pun tanpa syarat rumit, cukup didasari komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Pemilik irigasi mudah dapat istri

Inisiatif yang dibangun oleh Samsul adalah gerakan positif berdasarkan kesadaran bahwa #UntukmuBumiku karena bumi mesti dipelihara sebab telah memberi dan diharapkan terus memberi manfaat bagi manusia sehingga tak ada alasan untuk merusaknya. Samsul bergerak dengan meminjam spirit Suku Samin di Bojonegoro dan Blora yang dikenal punya kepedulian besar pada lingkungan dan kemandirian (self-sufficiency) yang kokoh.

Embrio yang dibesarkan oleh Samsul bersama teman-temannya menegaskan tentang pentingnya air bersih bagi kehidupan manusia sehingga berbagai cara kreatif harus ditempuh agar ketersediaannya tidak langka. Tindakan Samsul mengingatkan kita pada para petani dari suku Marakwet di Kenya yang sangat menghargai air.

Sungai Embobut sebagai sumber kehidupan (Foto: marakwetheritage.com)

Wilhelm Östberg, seorang antropolog dari National Museum of Ethnology Stockholm, menuturkan bahwa pada tahun 1970-an pemilik saluran air identik dengan memiliki istri. Kala itu akan dibuat jalur irigasi dari Sungai Embobut untuk memasok air ke area persawahan, empat sekolah, dua gereja, klinik, pasar, dan rumah-rumah yang dulewati jalur tersebut.

Whoever has a channel has a wife,” begitu ujar Östberg memaklumkan keyakinan di sana. Siapa yang memiliki saluran irigasi, ia dianggap punya potensi kemakmuran sehingga daya jualnya sebagai lajang meningkat. Punya irigasi ibarat punya binatang ternah yang bisa memikat hati perempuan. “Perempuan menghendaki tempat dengan sumber air, yaitu tempat di mana mangga bisa tumbuh subur,” pungkas Östberg.

Saatnya menghemat air

Kisah ini dinukil oleh Brian Fagan dalam bukunya berjudul Elixir: A Human History of Water. Kendati ditulis dalam perspektif sejarah, Brian menggali khazanah dari berbagai bangsa dan keyakinan di dunia tentang bagaimana air dirawat dan dihormati. Sebagaimana judulnya, Elixir, buku ini memperkuat posisi air dalam peradaban manusia yang tak mungkin terpisahkan, ibarat nyawa kehidupan.

Bagaimana status air bagi manusia?

Brian membagi tiga babak hubungan manusia dengan air. Pertama adalah ketika air masih langka sehingga dianggap sakral pada banyak budaya. Babak kedua adalah era Revolusi Industri ketika kecerdasan manusia memungkinkan mengangkut air ke mana saja sebagai komoditas, bahkan ke wilayah yang sangat tandus sekalipun.

Babak ketiga adalah masa yang kita hadapi saat ini: ketika sumber air kian menipis sementara populasi dunia nyaris mencapai 9 miliar jiwa. Inilah saatnya kita harus menghemat konsumsi air akibat sikap boros kita selama ini yang menganggap air sebagai sumber daya tak terbatas padahal bukan. Hubungan manusia dengan air bukan melulu tentang perubahan iklim tetapi juga menyangkut inovasi teknologi yang mestinya bisa dikendalikan oleh keyakinan agama atau budaya.

Memperkuat ketahanan pangan

Fenomena potong leher yang menimpa petani pada panen belakangan ini mau tidak mau mengingatkan saya untuk memikirkan tentang ketahanan pangan di masa depan. Menurunnya produksi pertanian tidak mungkin hanya diatasi dengan mengandalkan pestisida yang sebenarnya berbahaya atau dengan terus-terusan mengimpor beras demi memasok ketersediaan pangan.

Perubahan iklim dan makin sempitnya lahan pertanian akibat tuntutan perumahan tak ayal berdampak pada menurunnya produksi pangan yang akhirnya memicu kenaikan harganya di pasaran. Jangan sampai kita hanya bergantun gpada beras sebab krisis pangan bisa terjadi kapan saja jika kita tidak melakukan sesuatu.

Selain memperbaiki mutu bibit dan perawatan tanaman padi yang selama ini masih menjadi makanan pokok berupa beras, kita bisa mempertimbangkan alternatif lain untuk mendapatkan pangan yang tetap bergizi tetapi terjangkau harga atau murah biayanya.

Singkong yang menolong

Singkong bisa jadi sumber karbohidrat pengganti beras. (Foto: jovee.id)

Sebut saja ubi kayu atau singkong yang bisa jadi alternatif karbohidrat pengganti beras. Singkong bisa diolah menjadi aneka kudapan lezat, mulai dari singkong keju, getuk lindri, ketimus, jemblem, tiwul, dan tape lezat. Singkong juga bisa diolah menjadi aneka mi dan kulit pangsit.

Belum lagi kulitnya yang bisa dibuat jadi keripik gurih nan lezat. Nah, yang lebih unik ampas ubi kayu ternyata dapat diolah menjadi pasta seperti macaroni, ravioli, fettucini dan spageti. Salah satu dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian (FTIP) Unpad, Dr. Marleen Sunyoto, telah meneliti ampas ubi kayu selama sembilan tahun untuk bisa mengubah ampas singkong menjadi produk turunan berupa pasta yang disebut dengan “pasayu” alias pastra umbi kayu.

Hanjeli tak kalah lezat

Pangan lokal yang juga bisa dilirik untuk memperkuat kedaulatan pangan adalah hanjeli (Coix lacryma-jobi). Namanya mungkin terdengar kurang familier, tapi bagaimana dengan jali-jali atau jelai? Inilah tumbuhan pengganti beras yang dikembangkan di Kecamatan Wado, Sumedang.

Hanjeli atau jali-jali, pangan lokal yang bergizi (Foto: hudu.xyz)

Hanjeli atau enjelai punya tekstur yang kenyal dan rasa seperti kacang ketika dimasak. Agak mirip gandum dengan kandungan nutrisi yang konon mampu menurunkan kadar kolesterol dan menyehatkan jantung. Petani setempat mengolah hanjeli menjadi nasi (nonberas), tepung, kerupuk, teng-teng, rengginang, sereal, daan aneka kue. Selain mudah ditanam, mengonsumsi hanjeli berarti kita ikut membantu menjaga keragaman bahan pangan lokal sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan jangka panjang.

Selain singkong dan hanjeli, kita masih punya ubi, talas, porang, gembili, ganyong dan sebagainya. Bahan pangan ini selain mudah dikembangbiakkan juga bisa diolah menjadi aneka kudapan untuk menggantikan beras yang selama ini keburu menjadi primadona sampai-sampai kita harus mengimpor dengan harga yang kadang dikompromi.

Gizi tanpa beli

Terakhir, Nusantara juga punya aneka daun yang telah puluhan tahun tumbuh di pekarangan atau ladang tapi kerap dianggap sebagai makanan orang miskin. Adalah Hayu Dyah Patria yang tertarik mengangkat khazanah lokal ini sebagai opsi untuk dapat mendapat asupan gizi dari tanaman liar tanpa harus membeli.

Perkenalannya dengan pangan lokal yang bergizi bermula dari Bruguiera gymnorrhiza (lindur) dalam bentuk pati dari bagian biji lindur yang biasa dimakan oleh orang Papua. Sejak saat itu, ketika lulus kuliah, Hayu kian penasaran tentang keanekaragaman hayati di Indoneisa. Ia pun mulai berkunjung ke desa-desa untuk menggali lebih banyak mengenai budaya pangan lokal.

“Dan ketika saya berinteraksi dengan masyarakat saya baru menyadari sesuatu yang tidak saya pernah dengar ketika kuliah, tentang problema gizi di masyarakat. Dan ini berbanding terbalik, di satu sisi Indonesia sangat kaya akan keragaman hayati, bahkan menjadi salah satu negara mega-biodiversity sementara di sisi lain malnutrisi dan kelaparan masih menjadi masalah besar,” kenangnya dalam sebuah wawancara melalui pesan WhatsApp.

Ia memilih dedaunan lokal dengan pertimbangan bahwa masyarakat Indonesia sudah terbiasa meramban (foraging) untuk mencari dan mengonsumsi daun sebagai sayur. Bersama Yayasan Mantasa yang ia dirikan, Hayu semangat mengajak ibu-ibu rumah tangga di Desa Galengdowo Jombang agar mau memanfaatkan tanaman liar sebagai bahan makanan sejak 2009 lalu. Maka mereka tak lagi enggan menyantap krokot, daun racun, tempuyung, legetan, dan daun kastuba.

Daun kastuba dikenal punya kandungan mineral yang tinggi sehingga bagus untuk badan. Sedangkan krokot mengandung senyawa pendongkrak seperti asam lemak Omega-3 yang mendorong agar sel otak anak bisa berkembang optimal. Hayu tertarik mengampanyekan pangan lokal ini juga karena perkembangbiakannya sangat mudah tanpa perawatan khusus sehingga untuk mendapatkannya nyaris tanpa biaya. Dan itu bisa menjadi solusi bagi warga menengah ke bawah yang tetap butuh asupan gizi, terutama anak-anak.

Kesimpulan

Berangkat dari musibah pertanian berupa hama potong leher kita belajar tentang pentingnya air sekaligus bahayanya benda cair ini jika tidak terkendali. Kendali itu ada di tangan kita sebab perubahan iklim jelas akibat perilaku yang salah dan oleh karena itu bisa kita hindari.

Dari kisah hasil panen yang menurun akibat curah hujan tinggi dan semangat pemuda untuk menghidupkan sumber air bersih seperti Samsul atau kiprah Hayu yang ingin berkontribusi dalam kampanye gizi demi kemajuan negeri, kita tentu saja tak ingin ketinggalan untuk ikut ambil peran.

Bukan soal kecil atau besar andil yang kita berikan, melainkan kesanggupan untuk mau beraksi sekarang juga sesuai kemampuan dan keadaan yang relevan. Dengan power dan kondisi saat ini, siapa pun bisa bergerak untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang tak boleh dibiarkan semakin ekstrem. Saatnya #TeamUpforImpact agar target dan manfaatnya lebih cepat tercapai dengan berjalan bersama. Termasuk kamu, BBC-Mania!

Sumber bacaan:

18 Comments

    1. Betul, Mbak Nurul. Bukan cuma bikin gerah atau banjir aja tapi yang lebih penting mengancam ketahanan pangan masa depan kita. Yuk makkin peduli dengan emisi dan langkah penyelamatan lainnya.

      Like

  1. Begitu beragamnya pangan nusantara. Tapi mengapa para petinggi negeri lebih gampang mengimport daripada memberdayakan sumber daya karunia Allah swt untuk bumi Indonesia?

    Di import ada cuan. Cukup orang lain yang mengerjakan, diri para oknum dapat bagian untuk memperkaya diri, keluarga, dan genk. Dan modal untuk kawin lagi.

    Lama tak jumpa. Semoga tetap sehat di jaman endemi.
    Selamat menunaikan ibadah shaum, kang.

    Like

    1. Sangat disayangkan memang, Da. Pangan alternatif cuma jadi slogan belaka tapi niraplikasi terutama di kalangan petinggi negeri atau dewan terhormat. Habis bagaimana, mengimpor bisa mengalirkan cuan lebih besar padahal potensi lokal masih sangat kaya.

      Salam sehat selalu Uda Alris. Masih di Ambon atau balik ke Sumbar?

      Like

  2. Mauk akal peribahasanya si Ostberg. Ketahanan pangan kita memang harus dikuatkan. Ketersediaan air bersih juga harus terus diupayakan agar kita bisa terus hidup nyaman di muka bumi ini.

    Like

    1. Betul, Kak. Orang-orang lokal sebenarnya punya kearifan unik dalam merawat lingkungan, termasuk suku Marakwet di Kenya ini. Kalau emas terus yang ditambang, apakah ada jaminan air akan lestari tanpa upaya serius mengusahakannya?

      Like

  3. Malah baru kalau ada tumbuhan hanjeli, kayaknya nikmat banget tuh yng udah mateng. Indonesia emang banyak tersimpan tanaman pangan ya…, tapi udah terbiasa nasi..biasanya yang lain cuma dijadiin makanan camilan..

    Like

    1. Iya, Kak. Hanjeli bisa jadi opsi pangan lokal bia kita enggak bergantung pada beras. Yang penting mau berupaya agar perubahan iklim bisa ditekan dampaknya dengan pola dan sikap hidup sehat.

      Like

  4. Duh seneng banget sm artikel ini, meski panjang aku sangat menikmati baca sampe akhir. Apalagi aku sendiri tuh sudah pernah tinggal di daerah yg tergantung banget juga sm air dan panen gabah

    Like

    1. Terima kasih, Kak Ruli, sudah mau mampir dan membaca tulisan ini sampai tuntas. Semoga ikut menggugah kesadaran tentang dampak perubahan iklim yang tak terelakkan. Jangan sampai produksi pangan menurun karena kita pongah terhadap perubahan pola cuaca yang ekstrem.

      Like

  5. air menjadi sumber hidup, sangat dibutuhkan bagi makhluk hidup namun dengan kebutuhan yang berimbang. Kelebihan air juga menjadi bencana. Sungguh kita harus hidup selalu seimbang agar semuanya bisa tumbuh subur

    Like

  6. Sebagai orang yang hidup di desa, soal panen yang menurun itu sering banget dengarnya. Bapakku sendiri nanam jagung dan akhirnya dipanen lebih dulu karena terserang penyakit. Belum lagi air yang kadang gak ngalir, tapi kalau hujan bisa banyak. Perubahan iklim makin terasa. Saatnya kita peduli agar bumi kita lebih sehat

    Liked by 1 person

    1. Nah, kan, terasa betul dampak perubahan iklim bagi petani di pedesaan. Bukan cuma hujan panas tak teratur, tapi juga menurunnya produksi pertanian yang membuat petani bingung karena mereka bergantung sebagai sumber pendapatan.

      Like

  7. Suka banget sama artikelnya nggak bosen deh bacanya mulai awal sampai akhir karna isinya daging semua yaa. Bumi yang semakin menua sudah sepantasnya kita jaga dan lindungi.

    Like

    1. Sepakat, Kak. Bumi kita makin menua, jangan dibebani dengan perilaku pongah. Sebaliknya harus bikin hal-hal nyata walaupun kecil agar terhindar dari petaka akibat perubahan musim yang makin menggila.

      Like

  8. Iya nih makin ke sini rentang musim kemarau dan penghujan semakin mengalami anomali, ya. Sudah gak berlaku hujan sampai awal bulan aja 🙂
    Btw banyak hal sebenarnya ya Mas yg bisa kita lakukan untuk melestarikan air. Contoh-contoh di atas sangat inspiratif.
    Terima kasih artikelnya yang sangat bagus 👍

    Like

    1. Iya, Mbak DK. Makin tak teratur dan kacau pergantian musimnya. Bencana alam sangat mungkin akibat kesembronoan tindakan kita dalam menyia-nyiakan sumber daya alam yang kaya.

      Like

Tinggalkan jejak