Ketika Pohon Kers Ditebang: Mengikhaskan Sesuatu Hilang

menebang pohon kers

Pohon kers, atau orang biasa menyebutnya pohon keres, adalah pohon yang lumrah. Bisa tumbuh di mana saja karena ia tahan lokasi dan cuaca. Cara tumbuhnya mudah, pun sangat cepat perkembangannya bahkan tanpa perawatan yang sepatutnya. Tanpa disiram atau dipupuk, pohon ini tumbuh liar dengan subur di banyak tempat tak terduga.

Misalnya, sebatang pohon kers yang ada di belakang saung rumah kami. Saung yang terbuat dari pohon jati dan alasnya dari bilah kamper akhirnya semakin teduh oleh rindangnya dedaunan. Pohon ini semula bercokol begitu saja di dekat boks meteran PDAM, saya biarkan tanpa saya merasa terancam.

Saya menduga semula ada biji kers yang dijatuhkan oleh burung-burung yang kemudian tumbuh hingga mencapai bentuk raksasa. Oke, deskripsi raksasa mungkin berlebihan, tapi setidaknya menggambarkan rasa kewalahan yang saya rasakan saat menumbangkannya di kemudian hari.

pohon kers pohon keres
Pohon kers tumbuh subur di belakang saung, rindang tapi mengancam.

Pohon kers sangat bermanfaat memasok oksigen bagi kami sekeluarga. Panas matahari juga tak langsung menerpa teras rumah seperti dulu. Namun lama-lama saya mengkhawatirkan perkembangan akarnya yang masif di luar kendali. Akarnya menjalar di bawah saung sampai memunculkan beberapa anak pohon.

Saya lantas tak bisa membayangkan bagaimana kalau akar menjalar ke sebelah kanan dan mengguncang tembok pembatas dengan rumah tetangga. Dari situlah rencana penebangan diusulkan. Istri saya meminta agar saya menumbangkan pohon kers yang sudah besar kendati amat disayangkan sebab selama ini keburu diandalkan.

Semula saya bisa memangkas atau merapikan ranting dengan pisau milik sendiri dan sabit milik teman di blok lain. Namun untuk menebang cabang dan pohon utama dibutuhkan alat yang lebih besar, semisal kapak atau golok.

Karena tak ada teman yang bisa meminjami, kami pun beli golok di pasar Induk Lamongan yang berujung pada pisau daging yang cukup besar. Daripada tak ada ya enggak, yang penting pohon kers bisa ditumbangkan.

Dan memang begitulah akhirnya. Selama beberapa hari saya menghunjamkan golok baru itu ke segala sisi pohon, sedikit demi sedikit dengan penuh perjuangan walau jujur kurang ada kesabaran. Entah pada hari keberapa pohon akhirnya berhasil saya tebang–itu pun dengan bantuan tetangga yang pagi itu hendak berangkat kerja.

Namun, sepeninggal pohon kers, ada kesejukan dan keteduhan yang hilang. Rimbun daun dan cericit burung kecil yang kerap hinggap di ranting kini raib padahal sangat kami rindukan. Tapi kehilangan adalah niscaya, jadi kami harus menerimanya.

Sebagaimana sebelumnya tanah di belakang saung adalah kosong, maka ketika pohon kers pergi–menyisakan bonggol hingga akar–maka saya mestinya bisa melepas dengan ikhlas. Saya tak pernah memiliknya jadi tak selayaknya merasa kehilangan. Belajar lagi dan lagi tentang ilusi kepemilikan.

Tinggalkan jejak