“Lebih baik dihapus aja deh tradisi maaf-maafan pas lebaran,” begitu usul seorang warganet di Twitter yang sekarang beralih menjadi X. Alasannya ingin budaya itu dihapuskan adalah, “Karena ga ada gunanya sih.” Lebih lanjut dia bilang bahwa dulu pernah ada orang minta maaf kepadanya tapi enggak tulus. Tidak mau menyebutkan kesalahan spesifik yang perlu dimaafkan.
Akhirnya perdebatan pun bergulir. Banyak yang setuju dan banyak pula yang menyelisihi usulan itu. Alasan yang sepakat adalah sama, sebab mereka yang meminta maaf dianggap tidak tulus dengan tidak menyebutkan kesalahan apa yang dimaksud. Jadi, apa gunanya minta maaf kalau permohonan maafnya tidak menyentuh hati?
Tambahan lagi ada yang berargumen,
“Lagian idul fitri itu artinya bukan kembali suci, tapi perayaan makan-makan.”
Maksudnya, tak ada isyarat untuk bermaaf-maafan selama Idulfitri berdasarkan pengertian frasa Idulfitri yang sudah sangat populer. Ini berbeda dengan keyakinan umum yang seolah mewajibkan maaf-maafan selama lebaran.
Adapun pihak yang tidak setuju dengan usulan penghapusan berkilah bahwa meminta maaf itu bagus dan lebaran bisa jadi momen yang tepat untuk melakukannya. Toh, tidak ada larangan untuk meminta maaf kapan saja kan?
Sepak bola sebaiknya dihapuskan
Pendapat yang berseliweran di medsos tersebut memang tak bisa disalahkan. Setidaknya sebagai bentuk ekspresi kebebasan berpendapat. Tak masalah orang tak mewajibkan bermaafan saat lebaran, begitu juga dengan sebaliknya.
Namun, perlu diingat bahwa manusia ini makhluk yang sering kali butuh momentum untuk melakukan sesuatu. Kita kerap mesti menetapkan tenggat atau deadline untuk menuntaskan sesuatu. Bukti bahwa kita makhluk yang terikat waktu. Adanya target dan skedul membuat hidup kita terencana dan lebih teratur sehingga diharapkan lebih produktif.
Memang tak bisa dibantah bahwa memohon maaf sebaiknya disegerakan tanpa menunggu waktu atau momen tertentu. Namun sekali lagi perlu diingat, tidak semua orang tahan dan kuat untuk memulai permintaan maaf. Itulah sebabnya lebaran dijadikan momen kolektif untuk meminta maaf bersama-sama. Dengan begitu, ada energi positif yang menular di mana-mana untuk mengulurkan tangan, baik untuk meminta maaf atau memaafkan.
Betul bahwa idulfitri berasal dari kata ied yang berarti perayaan dan fitri yang bermakna makan-makan. Apakah ada larangan saat kita makan-makan sekaligus bermaaf-maafan? Mungkin lewat momen bahagia selepas berpuasa kita jadi legawa karena ingin rontok semua dosanya, dalam hal ini dosa kepada sesama manusia.

Bukankah aneh jika menggunakan logika pengusul di awal tulisan untuk meniadakan kegiatan bermaaf-maafan hanya karena ketidaktulusan peminta maaf? Ini sama saja saya mengusulkan sepak bola agar dihapuskan karena saya tidak suka olahraga ini dan ketiadaan manfaat dari rebutan bola tersebut?
Rasanya konyol meminta orang lain menghapus tradisi baik, yakni meminta maaf, hanya karena urusan personal dirinya sendiri yang belum tuntas dengan orang lain yang ia anggap tidak tulus?
Mikir….
